Tulisan saya awali dengan menceritakan sedikit kisah salah satu pemimpin Dinasti Umayyah, yaitu Umar bin  Abdul Aziz dan istrinya, Fatimah binti Maimun. Kisah bermula ketika Umar bin Abdul Aziz melakukan reformasi pada era kepemimpinannya dengan bertekad membersihkan negara dari tradisi korupsi pejabat kerajaan atau Negara. Tetapi, satu  hal yang paling dikhawatirkannya adalah istrinya yang berpotensi mengikuti tradisi istri raja atau pejabat sebelumnya yang gemar mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya.
Karena Umar bin Abdul Aziz sudah bulat dengan tekadnya, maka reformasi tersebut juga harus dimulai dari keluarganya. Suatu hari ia memberikan perhiasan istrinya ke "Baitul Mal" (kantor perbendaharaan negara). Manakala Fatimah mengetahui hal tersebut, ia mengkritik apa yang dilakukan oleh suaminya. Tetapi, dengan tegas Umar memberikan pilihan untuk tetap hidup bersamanya atau kembali kepada keluarganya sembari berkata "aku tidak ingin tugas-tugasku direpotkan dengan kesenangan istriku". Pada akhirnya Fatimah memilih pilihan yang pertama dan rela semua perhiasannya diserahkan kepada kas negara.
Dari sepenggal kisah tersebut, selain bisa meneladani jiwa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, teladan juga bisa kita ambil dari keberanian Fatimah binti Maimun untuk hidup bersahaja dan sederhana meskipun suaminya adalah seorang pemimpin besar kerajaan dinasti Umayyah. Justru teladan dari Fatimah binti Maimun ini yang luput diteladani. Bagaimanapun perempuan adalah calon-calon ibu yang akan menjadi sekolahan pertama bagi putra-putrinya. Calon-calon ibu yang mengandung masa depan generasi penerus bangsa.
Cermin Fatimah binti MaimunÂ
Memotret sosok seorang ibu dalam bentuk tulisan bagi saya adalah sesuatu yang tidak gampang. Ibuku adalah seseorang yang memberikan panutan dan mendidik putra-putrinya dengan prilaku. Sehingga mungkin cukup mudah untuk menghitung tindakan-tindakan Ibu. Akan tetapi, justru sulit untuk menerjemahkan apa yang ingin Ibu ajarkan dari contoh prilaku yang diberikan.
Seperti suatu ketika saya menemani Ibu pergi ke warung untuk membeli makanan sahur. Tiba-tiba datang seseorang yang sepertinya memang hidupnya dihabiskan untuk berkelana di jalan, masuk ke warung yang sama untuk membeli makanan. Tetapi, yang ia beli hanya sebungkus nasi putih lalu lanjut berjalan. Ketika pesanan kami sudah selesai dan dibayar, Ibu memintaku untuk ikut mencari orang yang membeli nasi putih tadi. Setelah ketemu dengan orang tersebut, Ibu memberikan lauk kepadanya dan diterima dengan senang hati.
Sesampainya di rumah dan makan bersama, baru ku sadar bahwa lauk yang Ibu berikan kepada orang tadi lebih enak daripada yang ada di depan kami. Tetapi, saat makan sahur bersama tersebut, Ibu tak membicarakan kejadian di jalan itu. Tanpa menasehatiku, ku tahu bahwa ibu ingin memberi teladan untuk selalu memberi. tidak hanya sekedar memberi, apa yang kita berikan juga harus yang terbaik.
Dari satu cerita itu serta masih banyak cerita-cerita bijak lain yang tidak bisa saya tuliskan semuanya, satu hal yang bisa saya gambarkan dari sosok Ibu adalah seorang wanita yang sedang berdiri di depan cermin, dimana bayangan yang muncul dibalik cermin itu adalah sosok Fatimah binti Maimun dengan segala laku kesederhanaan dan kebersahajaannya.
Saya juga yakin bahwa setiap Ibu memiliki cara terbaik masing-masing dalam mendidik dan mengajari putra-putrinya. Begitu juga dengan Ibu pembaca sekalian bukan? Pasti anda memiliki kisah dan pengalaman masing-masing serta hal-hal berkesan ketika saat dididik dan diajari oleh Ibu yang masih diingat sampai sekarang.
Mendidik Indonesia