Kami tiba jam 12-an saat hujan turun mulai deras. Thanks to mas Surgana & mbak Aan yang mengajak bang Adri, mas Husni dan saya untuk menikmati makan siang di Tengkleng Gajah yang menawarkan menu masakan berbahan tulang-tulang kambing.
Saat memasuki area warung yang cukup luas, sebagian pengunjung sudah bersiap-siap untuk berkemas meninggalkan warung. Yang lain, masih menikmati menu jumbo yang ditawarkan resto itu.Â
Mungkin tengkleng kambing yang menjadi menu utamanya tak cocok buat anak-anak. Sepanjang mata memandangi meja dan kursi, memang hanya ada beberapa anak kecil yang ikut menikmati menu yang ditawarkan.
Kami langsung mencari meja yang masih kosong, lalu memilih menu Tengkleng Gajah Original, Tengkleng Gajah Digoreng, dan Tengkleng Gajah Sambal Bawang. Sekitar 15 menit, pesanan kami datang tanpa nasi.Â
Semua pengunjung dipersilahkan mengambil nasi sendiri sesuai porsi masing-masing. Saya mengambil satu centong nasi dan mulai menikmati Tengkleng Gajah Original.
Saat menikmati makanan itu, saya teringat pada cerita sukses bisnis waralaba McDonald's. Dalam Grinding It Out yang ditulis oleh Rak Kroc, kita bisa tahu kalau kunci sukses keberhasilan bisnis waralaba ini bukan semata karena menu masakannya.Â
Ada hal lain yang membuat pengunjung selalu memenuhi restoran itu. Salah satunya karena restoran itu menawarkan suasana yang nyaman bagi keluarga. Bukan hanya untuk para orang tua, tapi juga nyaman buat anak-anak.
Karena itu, tak berlebihan bila beberapa jenis permainan tersedia di McDonald's untuk membuat anak-anak mau berkunjung dan betah berada di sana.Â
Karena kenyamanan yang ditawarkan itu pula lah yang bikin anak-anak ingin merayakan ulang tahunnya di resto itu. Dan para orang tua mungkin tak bisa menolak kalau anak-anak sudah merengek untuk meminta merayakannya di McDonald's.
Sambil menikmati tengkleng dan berbincang dengan teman-teman, pikiran tertuju pada lahan pertanian yang terletak di belakang area parkir mobil Tengkleng Gajah. Lahan pertaniannya masih cukup luas.Â
Pertanyaannya, bagaimana memanfaatkan lahan pertanian itu untuk mendukung kenyamanan keluarga, dan tentunya anak-anak, untuk mau berkunjung dan betah di Tengkleng Gajah.
Â
Terbesit pikiran, sebagian lahan pertanian itu diubah menjadi kandang kambing yang tentunya kebersihannya harus terus dijaga. Lalu, para pengunjung khususnya anak-anak mendapatkan kesempatan memberikan makanan buat kambing-kambing itu.Â
Dengan konsep seperti ini, Tengkleng Gajah bukan semata resto yang hanya menyediakan menu makanan, tapi juga bisa mejadi tujuan wisata edukasi.
Karena menjadi wisata edukasi, kambing Ettawa lebih tepat menempati kandang-kandang itu. Dengan kambing jenis ini, anak-anak bukan hanya bisa memberi makan, tapi mereka juga bisa memerah susu kambing dan juga memberikan dot susu untuk anak kambing.
Kalau pun lahan pertanian di belakang area parkir itu bukan milik resto, tidak perlu juga untuk memilikinya. Tengkleng Gajah bisa bekerjasama dengan petani pemilik lahan pertanian.Â
Selain melibatkan pemilik pertanian dalam pengelolaan wisata edukasi, mereka pun tak perlu keluar modal besar untuk mengolah dan mengelola lahan pertanian yang dijadikan sebagai wisata edukasi. Â
Kalau ini terwujud, rasanya Tengkleng Gajah akan menjadi resto yang nyaman buat semua usia. Tak berlebihan bila suatu saat, anak-anak akan meminta orang tuanya untuk merayakan ulang tahun di resto itu.
Hujan selama kurang lebih 1 jam mulai reda. Saat kami sudah benar-benar selesai menikmati menu tengkleng, seorang teman bergabung di meja kami. Dan tak lama kemudian, menu yang dipilihnya datang.
Â
"Aku nggak mau repot makan daging yang masih ada tulangnya," kata mas Lutfi sambil menikmati menu sate kambing.Â
Catatan: Tulisan ini pertama kali tayang pada tanggal 27 Oktober 2021 di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H