Pertanyaannya, bagaimana memanfaatkan lahan pertanian itu untuk mendukung kenyamanan keluarga, dan tentunya anak-anak, untuk mau berkunjung dan betah di Tengkleng Gajah.
Â
Terbesit pikiran, sebagian lahan pertanian itu diubah menjadi kandang kambing yang tentunya kebersihannya harus terus dijaga. Lalu, para pengunjung khususnya anak-anak mendapatkan kesempatan memberikan makanan buat kambing-kambing itu.Â
Dengan konsep seperti ini, Tengkleng Gajah bukan semata resto yang hanya menyediakan menu makanan, tapi juga bisa mejadi tujuan wisata edukasi.
Karena menjadi wisata edukasi, kambing Ettawa lebih tepat menempati kandang-kandang itu. Dengan kambing jenis ini, anak-anak bukan hanya bisa memberi makan, tapi mereka juga bisa memerah susu kambing dan juga memberikan dot susu untuk anak kambing.
Kalau pun lahan pertanian di belakang area parkir itu bukan milik resto, tidak perlu juga untuk memilikinya. Tengkleng Gajah bisa bekerjasama dengan petani pemilik lahan pertanian.Â
Selain melibatkan pemilik pertanian dalam pengelolaan wisata edukasi, mereka pun tak perlu keluar modal besar untuk mengolah dan mengelola lahan pertanian yang dijadikan sebagai wisata edukasi. Â
Kalau ini terwujud, rasanya Tengkleng Gajah akan menjadi resto yang nyaman buat semua usia. Tak berlebihan bila suatu saat, anak-anak akan meminta orang tuanya untuk merayakan ulang tahun di resto itu.
Hujan selama kurang lebih 1 jam mulai reda. Saat kami sudah benar-benar selesai menikmati menu tengkleng, seorang teman bergabung di meja kami. Dan tak lama kemudian, menu yang dipilihnya datang.
Â
"Aku nggak mau repot makan daging yang masih ada tulangnya," kata mas Lutfi sambil menikmati menu sate kambing.Â
Catatan: Tulisan ini pertama kali tayang pada tanggal 27 Oktober 2021 di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H