Mohon tunggu...
Faishol Adib
Faishol Adib Mohon Tunggu... Penulis - Profiless

Person without Profile

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Melihat Akmal Menangis

1 November 2021   18:05 Diperbarui: 1 November 2021   18:08 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini sekitar pukul 06:00, aku membuka Hp lalu mengaktifkan sinyal internet. Saat membuka WA, mataku langsung tertuju kepada kode panggilan tak terjawab sebanyak 4 kali. 

Panggilan itu berasal dari Ustadz Kholil, pembimbing Akmal yang saat ini mondok di Pondok Pesantren Amtsilati, Jepara. Panggilan itu datang tadi malam, sekitar pukul 21:30 WIB.
 
Setiap tanggal 25, Akmal punya kesempatan untuk menelpon kami sekitar 30 menit. Bukan sekadar untuk melepas kangen, tapi dia juga akan menyampaikan sederetan permintaan. 

Kebanyakan permintaannya berupa makanan dan jajanan. Nantinya permintaan itu akan kami bawa saat sambangan di awal bulan berikutnya. Selama kurang lebih 30 menit telpon, komunikasi hanya lewat suara karena Akmal tak diperbolehkan mengaktifkan video call.
 
Sekitar pukul 07:30, HP berdering. Ternyata Akmal yang menelpon. Aku pun segera mendekati istri yang sudah terlebih dahulu mengawali komunikasi dengan Akmal. Lagi-lagi suara Akmal terdengar agak serak.
 
“Kenapa suara Akmal serak, kurang minum lagi ya?” tanya istriku.
 
Nggak kok....”, jawab Akmal singkat.
 
Sejak awal mondok 3 bulan yang lalu, suara Akmal memang seringkali terdengar serak ketika menelpon. Pun ketika kami menengoknya. Bukan karena sakit, tapi karena Akmal kurang minum. Bukan karena ketersediaan air minum di pondok kurang, tapi dia memang sengaja minumnya sedikit karena takut ngompol.

Sejak mondok 3 bulan yang lalu, Akmal memang masih ngompol dan dia malu kalau pas ngompol di bully teman-temannya. Biar tidak ngompol dan tidak di bully, Akmal memilih minum air sedikit. Memang dia tidak ngompol, tapi suaranya seringkali serak.
 
“Mama, besok pas sambangan aku dijemputnya malam aja ya...” pinta Akmal di ujung telpon yang hanya bisa kami dengar suaranya.
 
Setiap sambangan, kami hanya punya waktu bertemu dengannya selama 24 jam. Waktu jemputan setiap jam 08:00 - 10:00 WIB atau 20:00 - 22:00 WIB. Sambangan terakhir di awal bukan Oktober, kami memang menjempunya di pagi hari dan kami pun mengantarnya kembali ke asrama pada pagi hari juga di hari berikutnya.

Akmal merasa sedih bila kami tinggal di pagi hari karena dia harus menghabiskan hari itu hingga malam harinya tanpa kami. Tapi bila diantar ke asrama malam hari, rasa sedih itu akan segera hilang karena di malam hari, sejenak kami antar ke asrama, dia akan segera tidur hingga esok paginya.
 
“Akmal, Mama sama Ayah nggak bisa sambangan,” kata Mama.
 
“Iya Akmal, jadwal sambangannya kan tanggal 1-2 November. Itu pas hari kerja. Ayah sama Mama nggak bisa nengok karena harus kerja,” tegasku.
 
Ustadz, telponnya boleh video call ga karena Mama sama Ayahku nggak bisa sambangan? 

Suara di ujung telpon terdengar saat Akmal meminta izin Ustadz Kholil untuk mengaktifkan video call.

Iya boleh 

Ustadz Kholil menjawab dengan singkat.
 
Sesaat kemudian, Akmal mengaktifkan video call. Kami pun bisa melihat satu sama lain. Tapi tak lama kemudian, kami melihat mata Akmal secara perlahan mengeluarkan air mata. Tak ada yang dia ucapkan kecuali meneteskan air mata karena tahu bulan depan kami tak menengoknya.
 
Wajahku yang juga terlihat di layar Hp, sementara kusingkirkan agar Akmal tak bisa melihat.

Melihat Akmal Menangis, Aku pun Ikut Menangis.

“Akmal minta dikirimi paket apa?” istriku mencoba memecah kebekuan.
 
Akmal mencoba menenangkan diri sambil mengusap air matanya dengan lengan bajunya. Tapi, meski air matanya sudah terhapus, dia masih belum bisa mengucapkan apa-apa.
 
“Akmal… kan ada juga teman di pondok yang nggak ditengok tiap bulan,” kataku coba menenangkannya.
 
“Mama, aku nanti dikirimi jaket ya…” katanya mulai menyampaikan pesan.
 
Komunikasi pun kembali cair saat Akmal sudah bisa mulai tenang berbicara, meski wajahnya masih terlihat sembab setelah usai menangis.
 
Melihat Akmal menangis di layar Hp, megingatkanku puluhan tahun yang lalu, tepatnya tahun 1989. Saat itu masih kelas 5 SD, aku mondok di Pondok Pesantren Al-Munawwariyah, Malang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun