4. Mereka juga mengikuti perkembangan zaman dan menggunakan media massa seperti televisi dan radio. Walaupun hanya beberapa yang memiliki tetapi mereka menggunakannya bersama. Selain mendapat hiburan, hal ini juga menambah kekompakkan warga karena terjadinya interaksi sosial secara langsung. Biasanya mereka harus men-charge aki atau dinamonya terlebih dahulu karena Kampung Naga tidak menggunakan listrik. Bahkan ada diantara mereka yang pergi ke Kampung Naga luar hanya untuk menonton televisi. Tak hanya itu, untuk memiliki wawasan lebih mereka juga menyekolahkan anak-anak mereka pada sekolah umum yang letaknya di luar Kampung Naga. Memang Kampung Naga sekilas tampak tradisional tapi jangan salah, sekitar dua belas pemuda Kampung Naga mendapat beasiswa dari pemerintah untuk belajar di Jepang dan salah satunya adalah Pak Ucup yang telah kembali. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak buta informasi dan dapat menyimak perkembangan-perkembangan masyarakat lain meski tak memiliki teknologi canggih seperti internet ataupun Handphone
Kampung Naga memiliki aturan tersendiri dalam pengonsumsian energi listrik. Masyarakat menghindari masuknya aliran listrik dengan daya yang besar seperti kabel listrik PLN. Penggunaan kayu dan daun sebagai material bangunan di Kampung Naga menjadi alasan utama mengapa hal tersebut dilakukan. Masyarakat menghindari potensi terjadinya kebakaran. Selain itu, masyarakat beranggapan bahwa dengan masuknya listrik akan mengubah gaya hidup yang sederhana dan tidak berlebihan. Gaya hidup berlebihan akan membuat perbedaan di setiap manusia yang pada hakikatnya sama dihadapan Tuhan. Tidak adanya jaringan listrik yang masuk ke dalam kampung membuat penilaian pada aspek ini rendah atau tidak berpoin. Namun, meski dalam standar penilaian GREENSHIP hal ini tidak termasuk hijau, pada prinsipnya justru terdapat nilai-nilai ekologis yang tinggi diterapkan oleh masyarakat. Dari total 109 rumah tinggal yang dihuni, terdapat 9 rumah tinggal yang memiliki televisi dan radio. Artinya, warga tetap membutuhkan hiburan, teknologi dan juga pengonsumsian energi listrik. Namun energi listrik tersebut didapat dari sumber listrik berupa accu (7 rumah) dan solar panel (2 rumah). Daya yang dihasilkan memang tidak sebesar yang dialirkan jaringan listrik, namun inilah yang diharapkan warga agar tidak terus menerus
mengonsumsi listrik. Dalam analisis deskriptif dapat disimpulkan bahwa masyarakat Kampung Naga memiliki kontrol konsumsi energi listrik yang tinggi sehingga menambah penghematan listrik negara.
Perihal sampah, masyarakat Kampung Naga telah mampu memanfaatkan sampah yang tidak berguna menjadi peluang usaha yang mampu meningkatkan pendapatan warganya. Upaya penanganan sampah dengan memilah sampah basah (organik) dan sampah kering (anorganik) rumah tangga, dan dilanjutkan dengan proses dekomposisi terhadap sampah organik sehingga menghasilkan pupuk kompos. Sampah dapur diolah menjadi pupuk kompos, sedang sampah-sampah plastik yang masih bisa dimanfaatkan digunakan kembali. Tempat sampah yang terbuat dari bambu diletakkan di dekat rumah dan di tempat-tempat strategis di sepanjang jalan menuju Kampung Naga, sehingga kondisi kampung tetap bersih. Setelah penuh, tempat sampah bisa diangkat dan sampah dibuang di beberapa tempat pembakaran sampah yang sudah disiapkan antara lain seperti di sudut kampung, di tepi jalan, dan di pinggir sungai.
Keunikan lain dari aktivitas pertanian di Kampung Naga terjadi pada masa pasca panen. Petani pantangan membakar jerami. Mereka percaya bahwa kegiatan membakar jerami akan mengurangi kesuburan tanah dan menyebabkan polusi udara. Mereka memanfaatkan tangkai padi untuk pupuk dengan cara menimbun jerami didalam tanah selama satu bulan. Pantangan membakar jerami ini telah diakui sisi ilmiahnya oleh Sereenonchai & Arunrat (2018) yang menjelaskan bahwa membakar jerami di sawah justru akan menyebabkan kualitas tanah menjadi buruk. Hal ini akan berdampak pada kualitas padi yang tumbuh.Padi akan berwarna keruh atau cenderung kecoklatan. Dengan demikian akan menghasilkan nasi yang kurang sehat untuk dikonsumsi. Efek lain yang ditimbulkan dari adanya aktivitas pembakaran jerami adalah polusi udara dan lingkungan. Polusi ini tidak hanya berdampak pada kualitas udara yang dihirup oleh masyarakat, tetapi juga memberikan efek pada temperatur udara yang menjadi lebih panas. Ini akan berdampak pada dehidrasi. Sebaliknya, bila petani tidak membakar jerami di sawah, maka kesuburan tanah akan tetap terjaga sehingga padi akan tumbuh
dengan warna pohon yang hijau segar. Saat menjelang panenpun padi akan kuning keemasan. Manfaat positif lainnya adalah langit akan cerah dan udarapun segar
kesimpulan
Berdasarkan informasi yang telah dipelajari, dapat disimpulkan bahwa Kampung Naga adalah sebuah desa yang terpencil di kawasan pegunungan di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Desa ini memiliki keunikan dalam bentuk kegiatan adat dan budaya yang dipertahankan oleh masyarakatnya, seperti adanya rumah adat yang masih dipakai sebagai tempat tinggal, upacara adat, dan kegiatan-kegiatan sosial yang bersifat gotong royong. Namun, kampung ini juga menghadapi masalah seperti kurangnya akses internet dan transportasi, serta sulitnya akses ke layanan kesehatan dan pendidikan yang memadai. Hal ini menyebabkan sebagian dari generasi muda memilih untuk meninggalkan kampung halaman mereka mencari pekerjaan di kota-kota terdekat. Meskipun begitu, Kampung Naga tetap menjadi destinasi wisata yang menarik bagi wisatawan yang tertarik dengan kehidupan tradisional dan kebudayaan yang beragam. Kampung Naga menjadi salah satu contoh penting tentang bagaimana masyarakat pedesaan yang terpencil masih mampu mempertahankan kehidupan tradisional mereka dan menjaga keindahan alam di sekitarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H