Bahkan khusus anyaman sasag bambu yang biasa digunakan untuk pintu, biasa digunakan melihat adanya orang jahat yang berada diluar, dari bilik pintu. " kalau dari dalam bisa melihat keluar, tetapi dari luar tidak bisa"
Untuk urusan struktur atap rumah, bahan yang digunakan mayoritas rumah panggung kampung naga, terbuat dari anyaman daun tepus(nipah), ijuk pohon aren, hingga alang-alang, sementara bagian lantai rumah terbuat dari bambu dan papan kayu. " seluruh bangunan menggunakan pondasi batu-batuan dengan ketinggian satu meter"
Perilaku masyarakat kampung naga
Masyarakat Kampung Naga berkomunikasi
sehari-hari menggunakan bahasa sunda halus, baik dalam kegiatan upacara adat maupun kegiatan lainnya yang ada di Kampug Naga. Masyarakat Kampung Naga tidak boleh berbicara dengan kata-kata kasar, katanya itu tidak enak di dengarnya dan sangat tidak sopan. Dapat dilihat dari Kampung Naga merupakan Kampung adat yang masih menjaga kebudayaannya, otomatis masih menjaga bahasa sunda yang halus dalam berbicara dengan masyarakat Kampung Naga sendiri maupun berbicara dengan masyarakat di Luar KampungiNaga. Dari Logat berbicara masyarakat Kampung Naga pun berbeda dengan masyarakat di luar Kampung Naga.
Masyarakat Kampung Naga ingin menjaga keaslian budaya mereka tanpa terpengaruh oleh kemajuan teknologi dan informasi di era sekarang. Hal utama yang menjadi prioritas adalah hidup dengan melestarikan adat dari para leluhur Makna kesederhanaan sudah melekat dengan masyarakat kampung adat naga sebagai pedoman hidup. Memilih untuk hidup berdampingan dengan kesederhanaan adalah jalan mereka. Menurut warga Kampung Naga, manusia akan sadar bahwa dengan hidup secara beriringan bisa menghindarkan manusia dari berbuat kerusakan yang bisa merugikan.
Berada di tengah masyarakat global, masyarakat Kampung Naga pun tetap tidak melupakan dunia luar dan dapat bersikap kooperatif dengan masyarakat umum maupun pemerintah. Mereka dapat menerima kemajuan-kemajuan teknologi asalkan tidak bertentangan dengan hukum adat yang dipegang. Adat yang dipegang teguh banyak mengajarkan kepada kesederhanaan, pelestarian lingkungan dan sifat gotong royong yang masih cukup kental. Ini semua hal-hal yang mulai terkikis ditengah masyarakat umum pada masa sekarang ini. Hal demikian memberikan inspirasi untuk mengkaji lebih jauh bagaimana sebenarnya pola-pola komunikasi masyarakat Kampung Naga yang ada sehingga dapat mempertahankan warisan budaya dalam kurun waktu yang cukup lama. Berikut hasil pengamatan tentang pola interaksi sosial masyarakat Kampung Naga serta wawancara dari beberapa narasumber :
* Â Â Â Â Pola Hubungan Antar Sesama Warga
- Mereka mengenal satu sama lain di Kampung Naga, sehingga timbul perasaan saling menyayangi. Menurut Bu Heni, salah seorang warga, "Di Kampung Naga warga hidup rukun dan saling menghargai. Hal ini terbukti  karena tidak pernah terjadi konflik antarwarga." Setiap sore hari ibu-ibu biasa berkumpul bersama untuk berbincang-bincang sambil menunggu suami mereka pulang dari ladang sedangkan anak-anak bermain bersama setelah pulang sekolah. Memang terlihat sepele tetapi kegiatan ini memupuk keakraban antar warga. Sedangkan untuk komunikasi yang membutuhkan penyebaran cepat misalnya untuk pemberitahuan gempa, bahaya, warga meninggal, ingin mengumpulkan massa ataupun memberitahukan waktu-waktu penting (waktu subuh, magrib dan isya), digunakan kentongan besar yang ada di depan masjid agar terdengar oleh semua warga.
- Mereka berkewajiban membantu jika ada yang kesulitan. Prinsip gotong royong juga mereka anut sebagai pegangan hidup masyarakat karena mereka beranggapan bahwa sikap gotong royong merupakan hal paling penting dan utama yang harus terus dijaga dalam berkehidupan. Tidak satu pekerjaan dapat diselesaikan secara individu kecuali dengan bantuan orang lain. Sebagai contoh, dalam acara perkawinan, pembangunan rumah tinggal, perbaikan saluran air, sunatan, ataupun hajat-hajat yang dilaksanakan oleh seseorang. Secara sukarela dan tanpa paksaan masyarakat lain akan turut serta membantu orang yang mempunyai hajat sehingga dapat meringankan beban dari orang tersebut. Tak hanya dalam hal yang menyangkut kesenangan, dalam duka pun mereka tetap membantu. "Bila ada warga yang sakit secara spontan warga akan memberikan pertolongan," tutur Pak Ajat, seorang warga Kampung Naga.
- Mereka berkumpul bersama dalam acara rohani ataupun upacara-upacara adat rutin. Untuk ibu-ibu diadakan pengajian rutin setiap hari Jumat sekaligus arisan. Berdasarkan keterangan yang kami dapat dari Pak Risman selaku ketua RT, upacara adat yang rutin diselenggarakan ada enam kali, yaitu pada hari raya Muharam, Maulid, Jumadil, Ibnu Syaban, Syawal dan Dul Hijah. Upacara ini dilaksanakan semua warga Kampung Naga.
- Mereka juga mengikuti perkembangan zaman dan menggunakan media massa seperti televisi dan radio. Walaupun hanya beberapa yang memiliki tetapi mereka menggunakannya bersama. Selain mendapat hiburan, hal ini juga menambah kekompakkan warga karena terjadinya interaksi sosial secara langsung. Biasanya mereka harus men-charge aki atau dinamonya terlebih dahulu karena Kampung Naga tidak menggunakan listrik. Bahkan ada diantara mereka yang pergi ke Kampung Naga luar hanya untuk menonton televisi. Tak hanya itu, untuk memiliki wawasan lebih mereka juga menyekolahkan anak-anak mereka pada sekolah umum yang letaknya di luar Kampung Naga. Memang Kampung Naga sekilas tampak tradisional tapi jangan salah, sekitar dua belas pemuda Kampung Naga mendapat beasiswa dari pemerintah untuk belajar di Jepang dan salah satunya adalah Pak Ucup yang telah kembali. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak buta informasi dan dapat menyimak perkembangan-perkembangan masyarakat lain meski tak memiliki teknologi canggih seperti internet ataupun Handphone.
Konservasi energi kampung naga
Kampung Naga memiliki aturan tersendiri dalam pengonsumsian energi listrik. Masyarakat menghindari masuknya aliran listrik dengan daya yang besar seperti kabel listrik PLN. Penggunaan kayu dan daun sebagai material bangunan di Kampung Naga menjadi alasan utama mengapa hal tersebut dilakukan. Masyarakat menghindari potensi terjadinya kebakaran. Selain itu, masyarakat beranggapan bahwa dengan masuknya listrik akan mengubah gaya hidup yang sederhana dan tidak berlebihan. Gaya hidup berlebihan akan membuat perbedaan di setiap manusia yang pada hakikatnya sama dihadapan Tuhan. Tidak adanya jaringan listrik yang masuk ke dalam kampung membuat penilaian pada aspek ini rendah atau tidak berpoin. Namun, meski dalam standar penilaian GREENSHIP hal ini tidak termasuk hijau, pada prinsipnya justru terdapat nilai-nilai ekologis yang tinggi diterapkan oleh masyarakat. Dari total 109 rumah tinggal yang dihuni, terdapat 9 rumah tinggal yang memiliki televisi dan radio. Artinya, warga tetap membutuhkan hiburan, teknologi dan juga pengonsumsian energi listrik. Namun energi listrik tersebut didapat dari sumber listrik berupa accu (7 rumah) dan solar panel (2 rumah). Daya yang dihasilkan memang tidak sebesar yang dialirkan jaringan listrik, namun inilah yang diharapkan warga agar tidak terus menerus mengonsumsi listrik. Dalam analisis deskriptif dapat disimpulkan bahwa masyarakat Kampung Naga memiliki kontrol konsumsi energi listrik yang tinggi sehingga menambah penghematan listrik negara.
Perihal sampah, masyarakat Kampung Naga telah mampu memanfaatkan sampah yang tidak berguna menjadi peluang usaha yang mampu meningkatkan pendapatan warganya. Upaya penanganan sampah dengan memilah sampah basah (organik) dan sampah kering (anorganik) rumah tangga, dan dilanjutkan dengan proses dekomposisi terhadap sampah organik sehingga menghasilkan pupuk kompos. Sampah dapur diolah menjadi pupuk kompos, sedang sampah-sampah plastik yang masih bisa dimanfaatkan digunakan kembali. Tempat sampah yang terbuat dari bambu diletakkan di dekat rumah dan di tempat-tempat strategis di sepanjang jalan menuju Kampung Naga, sehingga kondisi kampung tetap bersih. Setelah penuh, tempat sampah bisa diangkat dan sampah dibuang di beberapa tempat pembakaran sampah yang sudah disiapkan antara lain seperti di sudut kampung, di tepi jalan, dan di pinggir sungai.