Gurat bahagia pun terlihat di wajah para masyarakat. Laksana seorang kesatria yang menang perang dari pertempur yang sekian lama dia lakoni. Mereka kini dapat menyaksikan jalan yang lebarnya kira-kira 10 meter itu. Sekali belum dilakukan pengaspalan, jalan darurat bisa membantu dan memudahkan mereka berpergian ke mana-mana.
Tapi jalan tanah tetaplah tanah, dia bisa rusak dengan cepat ketika diguyur hujan lebat. Itulah yang terjadi dua tahun kemudian, jalan itu rusak parah. Musabab rusaknya jalan karena setiap kali mati tidak di buat jembatan penghubung, hanya di timbun sehingga banjir dengan muda mengerusnya. Alhasil, mereka kembali mengidap derita. Kemerdekaan yang di mimpikan hanyalah sepintas lalu.
Banyak keluhan masyarakat pun merebak kemana-mana. Laksana gaharu yang memuntahkan wanginya menyusuri hembusan angin. Keluhan itu disampaikan kepada pemimpin daerah juga para wakil yang ada di parlemen. Tapi tidak cepat, butuh empat tahun barulah keluhan itu di wujudkan.
Jalan lingkar itu mulai di sertu, satu persatu jembatan sebagai penghubung pun dibangun. Walau begitu, ibarat gayung yang di dayung namun perahu tak kunjung menepih. Proyek itu kembali tersendak lama, tidak semua jembatan di bangun. Sedang jalan yang di sertu kembali rusak, sulit bagi warga melewatinya.
"Jika kita melewati jalan di sana, bisa binasa badan kita." Ujar Anyong dalam suatu pembicaraan.
Pengakuan yang sama pun disampaikan hampir sebagian warga yang melintas. Mereka juga mengandai jika yang melintas itu seorang hamil maka tidak menutup kemungkinan dia akan keguguran. Mimpi menikmati jalan mulus bak warga kota pun jadi seram. Jika di hitung, proyek pembangunan jalan lingkar itu memakan waktu mungkin sudah lima belas tahun.
Sampai kini proyeknya masih terbengkalai, belum usai di tuntaskan. Entah kapan nantinya baru bisa di tuntaskan. Jalan lingkar pulau Makian yang terbengkalai itu pun dijadikan isu sedap bagi para politisi untuk meraup suara di pulau ini saat unjuk kepal dalam gelaran pesta demokrasi. Para politisi selalu menebar janji manis ke telinga mereka para warga.
"Silahkan pilih saya, jika saya terpilih maka jalan lingkar akan saya bangun." Begitulah bapak Udin meniru ucapan dari salah satu politisi dalam pidato kampanyenya.
Hampir setiap momen pesta demokrasi, mereka para politisi selalu mengaung dan menebar janji. Tapi janji itu kemudian terbunuh jika mereka telah berhasil meraih apa yang mereka inginkan. Masyarakat selalu jadi tumbal dan tumbal lagi dari ritual janji mereka. Terbengkalai masih tetap terbengkalai.
Kondisi demikian bukan hanya terjadi di pulau Makian, ada beberapa daerah yang mengalami hal serupa. Mereka tidak punya jalan, hanya tanah yang jadi lintasan mereka. Mereka harus menyalami lautan lumpur untuk sampai ke kampung tujuan. Parahnya lagi, tidak ada jembatan penghubung hingga mereka harus mengunakan rakit demi sampai ke seberang sungai.