Mohon tunggu...
Faisal yamin
Faisal yamin Mohon Tunggu... Nelayan - Belajar menulis

Seorang gelandangan pikir yang hobi baca tulisan orang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jalan Lingkar yang Terabaikan

2 Agustus 2021   08:34 Diperbarui: 2 Agustus 2021   08:40 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siang itu, ketika mendengar kabar ada Eksavator dan Tractor melakukan penggusuran jalan di belakang kampung. Semua pun berbondong-bondong kesana, tak terkecuali anak-anak sekolah yang kala itu baru pulang sekolah.

"Ayo kita lihat oto gusur." Ucap anak-anak sembari berlari menuju tempat penggusuran. Mereka seakan terlihat semangat menyaksikan alat berat yang sedang membongkar hutan itu. Ini karena terbilang pertama dan hal baru bagi mereka.

Jika anak-anak bersemangat kesana hanya melihat alat berat itu, lain lagi dengan para bapak dan ibu-ibu yang juga pergi ke sana. Mereka lebih melihat pada antusias pemerintah yang mengabuli keinginan mereka soal pembangunan jalan lingkar yang sudah mereka mimpikan sejak lama.

"Alhamdulillah, pengusuran jalan lingkar pulau Makian sudah dilakukan. Akhirnya akses kita semakin muda." Ujar seorang bapak yang berdiri mengamati tractor mengedus tanah.

Memang sebelumnya masyarakat di kecamatan Makian Barat jika hendak pergi melakukan pengurusan ke Kecamatan Induk, mereka harus menggunakan perahu ketinting untuk bisa sampai ke sana. Karena jarak jarak yang jauh juga tidak ada jalan darat yang menghubungkan satu desa ke desa yang lain untuk di lalui.

Pernah satu waktu dulu ketika saya dan dua orang teman berkesempatan mengikuti lombah cerdas cermat tingkat sekolah dasar, yang di laksanakan oleh pemerintah kecamatan pulau Makian. Untuk sampai ke sana, kami harus berbasah-basah menantang gelombang dengan perahu katinting.

Dengan di buatnya jalan lingkar pulau Makian, merdeka sudah masyarakat disini dari kesengsaraan. Tidak lagi berbasa-basa, atau teriak histeris di laut lepas tatkala perahu di terpah angin dan ombak-ombak.

Eksafator dan tractor itu terus bergerak, membabat pohon dan alang-alang, seketika semua jadi terang. Saking antusianya pengusuran itu, para warga disini merelakan pohon kelapa dan kenari yang masuk pada dena perencanaan pembangunan jalan di robohkan oleh eksavator dan tractor itu.

"Ini penantian yang lama, jadi tidak mengapa, asalkan jalan bisa di bangun." Ujar Diman kala itu.

Ketika kenari dan kelapa di robohkan, anak-anak berebutan untuk memetik buah kenari dan kelapa yang masih mengantung di ranting-rantingnya. Riak suara pun bersahutan, "Wuh kelapa muda eh.", "jangan ambil, ini saya punya." Mereka saling beradu memetik.

Setelah beberapa hari dilakukan penggusuran jalan di belakang desa kami selesai. Pengusuran itu lalu berlanjut ke desa tetangga, kemudian berlanjut lagi dari desa ke desa. Setelah sekitar tujuh bulan lamanya, pekerjaan itu akhirnya dinyatakan selesai.

Gurat bahagia pun terlihat di wajah para masyarakat. Laksana seorang kesatria yang menang perang dari pertempur yang sekian lama dia lakoni. Mereka kini dapat menyaksikan jalan yang lebarnya kira-kira 10 meter itu. Sekali belum dilakukan pengaspalan, jalan darurat bisa membantu dan memudahkan mereka berpergian ke mana-mana.

Tapi jalan tanah tetaplah tanah, dia bisa rusak dengan cepat ketika diguyur hujan lebat. Itulah yang terjadi dua tahun kemudian, jalan itu rusak parah. Musabab rusaknya jalan karena setiap kali mati tidak di buat jembatan penghubung, hanya di timbun sehingga banjir dengan muda mengerusnya. Alhasil, mereka kembali mengidap derita. Kemerdekaan yang di mimpikan hanyalah sepintas lalu.

Lokasi jembatan yang di tumbuhi pohon, dokpri
Lokasi jembatan yang di tumbuhi pohon, dokpri
Banyak keluhan masyarakat pun merebak kemana-mana. Laksana gaharu yang memuntahkan wanginya menyusuri hembusan angin. Keluhan itu disampaikan kepada pemimpin daerah juga para wakil yang ada di parlemen. Tapi tidak cepat, butuh empat tahun barulah keluhan itu di wujudkan.

Jalan lingkar itu mulai di sertu, satu persatu jembatan sebagai penghubung pun dibangun. Walau begitu, ibarat gayung yang di dayung namun perahu tak kunjung menepih. Proyek itu kembali tersendak lama, tidak semua jembatan di bangun. Sedang jalan yang di sertu kembali rusak, sulit bagi warga melewatinya.

"Jika kita melewati jalan di sana, bisa binasa badan kita." Ujar Anyong dalam suatu pembicaraan.

Rerumputan yang tumbuh di badan jalan, dokpri
Rerumputan yang tumbuh di badan jalan, dokpri

Pengakuan yang sama pun disampaikan hampir sebagian warga yang melintas. Mereka juga mengandai jika yang melintas itu seorang hamil maka tidak menutup kemungkinan dia akan keguguran. Mimpi menikmati jalan mulus bak warga kota pun jadi seram. Jika di hitung, proyek pembangunan jalan lingkar itu memakan waktu mungkin sudah lima belas tahun.

Sampai kini proyeknya masih terbengkalai, belum usai di tuntaskan. Entah kapan nantinya baru bisa di tuntaskan. Jalan lingkar pulau Makian yang terbengkalai itu pun dijadikan isu sedap bagi para politisi untuk meraup suara di pulau ini saat unjuk kepal dalam gelaran pesta demokrasi. Para politisi selalu menebar janji manis ke telinga mereka para warga.

"Silahkan pilih saya, jika saya terpilih maka jalan lingkar akan saya bangun." Begitulah bapak Udin meniru ucapan dari salah satu politisi dalam pidato kampanyenya.

Jalan darurat yang di bangun masyarakat desa di atas jembatan yang nyaris ambruk, dokpri
Jalan darurat yang di bangun masyarakat desa di atas jembatan yang nyaris ambruk, dokpri
Hampir setiap momen pesta demokrasi, mereka para politisi selalu mengaung dan menebar janji. Tapi janji itu kemudian terbunuh jika mereka telah berhasil meraih apa yang mereka inginkan. Masyarakat selalu jadi tumbal dan tumbal lagi dari ritual janji mereka. Terbengkalai masih tetap terbengkalai.

Kondisi demikian bukan hanya terjadi di pulau Makian, ada beberapa daerah yang mengalami hal serupa. Mereka tidak punya jalan, hanya tanah yang jadi lintasan mereka. Mereka harus menyalami lautan lumpur untuk sampai ke kampung tujuan. Parahnya lagi, tidak ada jembatan penghubung hingga mereka harus mengunakan rakit demi sampai ke seberang sungai.

                                        ***
Di suatu malam yang dingin, di temani gerimis tipis. Saya dan beberapa teman duduk diskusi persoalan jalan tersebut. Berbagai gagasan dan protes di suarakan. Di akhir diskusi kami, Samsul seorang mahasiswa bertanya ke saya,

"Kemerdekaan kita belumlah merdeka. Merdeka untuk menikmati jalan yang sama dengan kota besar lagi-lagi tertunda. Padahal kita punya wakil, tapi kita tidak pernah di wakilkan. Lantas, wakil kita untuk siapa?"

Mateketen, 26 Juli 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun