"Lah karena waktu itu hujan bulan Juni tidak kunjung menguyur tanah mereka. Terakhir hujan bulan Juni itu menguyur tanah mereka empat puluh tahun lalu." Jawab kakek Dahlan.
Aku terdiam sesaat, pikiranku masih terjerambab masuk kedalam kaldera tanya yang membingungkan. Kenapa tidak hujan bulan Mei, atau April, bahkan September. Toh hujan kan sama saja.
"Kenapa tidak hujan di bulan lain, harus huja bulan Juni yang mereka harapi?" Tanyaku lagi.
Kakek Ahmad membaikkan posisinya lalu lanjut berkisah.
Dahulu di kampung yang belum diberi nama kampung teriak hujan bulan Juni, terdapat bendungan besar dengan irigasi yang baik. Puluhan tahun masyarakat di sana bergantung hidup pada bendungan tersebut, mulai dari makan minum sampai mengairi sawah dan ladang mereka.
Naas, suatu kejadian tidak terduga datang. Di suatu pagi di bulan Maret saat aram temaram kian hilang, hujan lebat trun dengan lebatnya, disertai juga dengan badai yang hebat. Tidak butuh lama, hujan bulan Maret itu menghantam semua. Bendungan dan irigasi pun rusak parah.
Disini awal mula penderitaan muncul. Para penduduk juga harus menuai derita yang mendalam saat pemerintah setempat tidak lagi membangun ulang bendungan dan saluran irigasi.
"Kenapa pemerintah tidak lagi membangun ulang bendungan dan saluran irigasi itu?" Tanya memotong pembicaraan.
"Ah kau ini, dengar dulu jangan dulu menyalami apalagi menyusup saat aku sedang berkisah." Kata kakek Dahlan lalu kembali melanjutkan.
Dikarenakan kepala adat tidak lagi menyumbangkan suara politik bagi kontestan politik yang telah membangun bendungan dan irigasi mereka. Mereka membelot, dan akhirnya mereka pun menuai segala kesengsaraan.
"Ah, lagi-lagi suara. Kenapa sih politik lebih identik dengan jual beli suara? Orang yang mengotori politik dengan pikiran mereka yang dipenuhi hasrat itu, seakan tidak pernah berpikir akan jadi apa generasi kemudian yang mencontohi mereka hari ini." Gumamku.