Di tedang, dipukul, dan hantaman bogem mentah mendarat tepat di hidungku. Aku langsung tersungkur tergeletak di lantai, nafasku tiba-tiba terhenti. Dara segarku masih terasa mengalir deras dari lubang telinga juga hidungku. Dada, perut juga tanganku selurunya lebam.
Walau bagitu, mereka tak sedikitpun kasihan dengan kondisiku. Pria hitam dan berbadan kekar mengenakan sepatuh jinggil boat dengan brutal menendangku sekali lagi tepat di pelipis kiriku.
Tubuku mulai terbujur kaku, seorang dari mereka kemudian bergerak merabah hidungku. Sepertinya ia ingin memastikan aku masih hidup atau sudah mati. Jari telunjuknya mengenai tepat ujung hidungku. Terasa dingin dan nafas yang tak lagi berhembus.
"Rupanya Ia suda mati" kata seorang pria.
"Ayo segerah kita seret dia ke dalam semak-semak" kata pria yang lain.
Melihat kondisiku ini, harusnya mereka berbelaskasih kepadaku. Setidaknya menyeretku ke jalan agar orang-orang bisa dengan cepat menemukanku. Sungguh mereka sangat bengis, mereka tega menghajas sampai membuatku tewas, masih saja menyiksaku kemudian menyeretku kurang lebih sejauh dua puluh meter dan membiarkanku sendirian di semak-semak.
Bagaimana jika sebentar nanti aku tak kunjung datang, pasti Istriku sangat cemas atas ketidak hadiranku di acara itu. Acara yang telah ku susun dengan Istri dan anakku untuk merayakan tahun ke tiga anakku.
Aku sudah janji ke mereka untuk datang di awal sore. Sudah begitu istriku akan sangat histeris ketika nanti ada orang menemukan jasadku yang terbujur kaku dan menyampaikan kabar ini kepadanya.
Belum lagi ia menyaksikan tubuhku yang penuh dengan lebam dan darah yang menempel di pakaianku. Ah.. sungguh mereka sepeti binatang buas, atau mungkin lebih dari itu. Sebab sejahat-jahatnya singa tak pernah dengan keji menghukum bahkan membunuh anaknya.
Namun sebelumnya ku ceritakan kepada kalian perihal kematianku, agar nanti jelas ketika di waktu persidangan kasusku kalian bisa mengetahui dengan baik.
Tadjala namaku, orang-orang biasa memanggilku dengan Jal. Aku tinggal di sebuh gubuk reot letaknya di tepi jalan Palaodagai. Istriku bernama caca, sementara anak sulungku yang perempuan bernama Manuru usianya empat tahun, dan anakku yang kecil bernama Fransiska hari ini tepat dia berusia tiga tahun.
Aku berprofesi sebagai wartawan, bekerja di salah satu media cetak. Dari gajiku yang tak seberapa, aku hidudi istri dan dua orang anakku.
Mengenai perihal kematianku, aku juga tak tau jelas apa sebabnya. Namun terakhir ku ingat, aku pernah melakukan investigasi tentang kasus tambang PT Taamou Birahi yang bergerak di bidang perkayuan.Â
Salah satu perusahan yang diketahui tak memiliki izin operasi. Perusahan tersebut diketahui miliki Dhote,salah satu pengusaha kelas kakap di negeri ini. Awalnya aku tak berani mengusut kasus tersebut, sebab berusahan dengan mereka, nyawa menjadi taruhanya.
Seperti yang dialami salah satu rekan ku yang menginvestigasi mereka tiga tahun lalu, dan imbasnya dia tewas di bunuh oleh orang tak di kenal sebab pemberitaannya di media. Kasus kematiannya pun tak di usut tuntas, hanya di biarkan di meja hijau tanpa alasan yang jelas.
Dhote memang pengusahan kelas kakap dan punya bekingan kuat. Lebih jelasnya dia punya orang-orang yang bisa memuluskan perkaranya. Ini karena kasus yang menimpahnya, tak ada penyelesaian yang jelas.
Kendati demikian, demi tuntutan tugas juga untuk membantu para warga atas keluhan mereka, dan menuntaskan tugas rekanku yang tewas terbunuh aku memberanikan diri melakukan investigasi.
Setelah mempelajari data-data, aku bergerak. Sungguh tugas yang berat, pasalnya selama dua bulan lebih waktu ku habiskan untuk melakukan investigasi. Setelah mempelajari dan berapa kali melakukan penyamaran, dan melihat langsung akhirnya aku mampu menuntaskan investigasi itu.
Sebanyak lima berita aku tulis dan mempublikasikan. Setelah berita ke tiga, aku mulai di intimidas dan diancan. Kerap kali aku di incar dan di teror via telpon. Aku menyakini ini adalah orang suruan Dhote. Dan malam itu aku mendapati ancaman saat beritaku yang ke empat.
"Engkau yang telah menyebarkan informasi" kata seorang pria dengan nada tinggi lewat sambungan telephone.
Mendengar kasarnya pria itu berbicara, dengan cepat ku hentikan aktifitas menulisku. "Iya mas, saya orangnya memangnya kenapa mas?
Pria itu dengan nada marah membentak dan mengancam "kau tau apa yang telah kau berbuat, kau berani mengusik dan membangunkan serigala yang sedang tidur." Kemudian mematikan handphonenya.
Saat itu, ruang gerakku serasa terbatas. Sering ku keluhakan kondisi demikian ke pimpinan redaksi namun tak di seriusi. Suatu waktu aku duduk dengan pimpinan media di kedai kopi. Kami berbincang lepas mengenai dunia kepenulisan dan terakhir aku sampaikan kondisi yang aku alami.
"Bang, sejak pemberitaan hasil investigasi mengenai kasus tambang kemarin, sering aku dapat ancaman dan intimidasi".
Mendengar itu, rupanya dia santai mengatakan "ngak apa, Jal. Begitulah jika kita sebagai jurnalis investiasi, nanti sebentar lagi hilang kok orang-orang itu."
Memang begitulah nasib seorang jurnalis investigasi. Terkadang kita membuka tabir secara bersama dan ketika kita tersandung masalah hukum atau sampai membahayakan, pihak media seakan melepas tanggun jawab begitu saja.
Mereka bahkan tidak mengawal sampai ke meja hijau. Seperti halnya beberapa rekanku, sebut saja Komboti, Lekos, dan Jerbos. Mereka tewas dalam tugas namun tak di gubris oleh pimpinan.
Hari-hariku diwarnai dengan teror dan intimidasi. Lelah menghadapi hal demikian namun apalah daya sudah menjadi konsekuensi tugas yang ku jalani.
Malam itu, satu hari sebelum kematianku, saat aku hendak ingin menyelesaikan cerpen tentang kematian seorang pekerja kuli tintah. Ada sepucuk kertas, yang jatuh tepat di atas meja tulis.
Aku dengan cepat meraihnya, ku buka dan ini adalah sebuah ancaman keras "Cepat atau lambat kita pasti bertemu, dan itu sebagai awal dan akhir pertemuan kita".Â
Saat itu aku terdiam, mencoba menafsirkan tulisan yang terterah di kertas itu. Semakin jauh aku menalar, cemas dan takut datang dalam hayalku. Kendati aku selalu keluar dari itu semua dan langsung menulis.
Dan dugaanku di malam sebelumnya benar. Hari ini aku di bunuh dengan bengis oleh mereka tepat di hari ulang tahun anakku yang ke tiga. Aku terbujur kaku di semak-semak belukar, tiga hari lamanya aku terbaring di sini.
Tubuku mulai membusuk, mataku hancur, kulitku sudah mulai terkelupas, para cebong melumit organ dalam tubuhku. Bau busukku menyengat, meraja ke segala penjuru. Mungkin jika bau busukku tak tercium aku masih berlama-lama menanggung derita di sini.
Berita-berita sudah menjarah ke mana-mana perihal kematianku, dan walau sudah membusuk namun aku cepat di kenali, sebab dalam saku celana ada id cart. Laman-laman portal berita ramai-ramai tertulis penemuan mayatku.
Istriku hiteris minta ampun, saat menyaksikan tubuhku yang sudah membusuk. Dia menangis sejadi-jadinhya, dia tak menyangka percakapan tiga hari yang lalu menjadi percakapan terakhir.Â
Saat itu sebelum aku pergi, ku kecup keningnya seraya mengucapkan kata cinta sedang anak-anak aku rangkul dan aku peluk. Saat ini istri dan anak-anak masih menangis dalam duka yang mendalam, istriku menangis menjerit kemudian pinsan dan menangis lagi sejadihnya. Ini takdirku, semoga kau bisa mewujudkan harapan kita bahwa kelak satu dari mereka menjadi Jurnalis hebat melebihi aku.
Pesanku terakhirku kepada kalian "lebih baik hidup meralat dan mati di tangan orang bejat dari pada hidup bergelimang harta dan mati dengan bertabur dosa yang menyengsarakan"
Ternate 23/08/2019 pukul 10:32 wit
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H