Mohon tunggu...
Faisal Bima Putera
Faisal Bima Putera Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Pembangunan Sepuluh Nopember

Seorang mahasiswa yang penuh rasa ingin tahu dan terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Politik Uang sebagai Salah Satu Penyimpangan Praktik Demokrasi di Indonesia, Mahasiswa Bisa Apa?

7 Juni 2022   09:32 Diperbarui: 7 Juni 2022   09:53 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Sampai saat ini, sejarah telah mencatat kebesaran Bangsa Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga yang ada di dunia tepat setelah Amerika Serikat dan India. Tentu hal tersebut bukanlah suatu prestasi yang sepele, terutama untuk kita sebagai warga negara Indonesia. 

Paham demokratis adalah paham yang sulit diterapkan dan bisa dikatakan sebagai sistem yang tidak semua negara bisa mengaplikasikannya. Melihat keragaman yang sangat besar di Indonesia, menjadi negara dengan demokrasi terbesar ketiga bukanlah kebetulan semata.

Terlepas dari itu semua kebanggaan itu semua, ternyata demokrasi di Indonesia bisa dikatakan cukup jauh dari definisi demokrasi yang sebenarnya. 

Hal tersebut tercermin dalam gejolak masalah-masalah demokrasi yang sering muncul di Indonesia. Jika berbicara mengenai masalah dan ketidaksesuaian sistem demokrasi, pasti terbayang pada saat masa demokrasi terpimpin saat di mana semua keputusan negara diambil oleh hanya satu orang saja, yaitu presiden. 

Namun, jika kita menyadari lebih dalam, kasus pelanggaran dan ketidaksesuaian juga sering terjadi bahkan sampai saat ini. Hal itu menunjukkan bahwa sebenarnya sistem demokrasi Indonesia memerlukan perbaikan agar sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

Sebagai negara demokrasi, dalam menentukan kekuasaan yang berkuasa, Indonesia sampai saat ini menggunakan mekanisme pemilihan umum (pemilu) di mana setiap masyarakat bisa menyalurkan hak dan suaranya untuk menentukan pemimpinnya. 

Di antara banyaknya kasus penyimpangan praktik demokrasi di masa modern ini, yang cukup menjadi perhatian adalah kasus politik uang yang akhir-akhir terungkap, bahkan semakin marak.  

Menurut M. Abdul Kholiq dalam Gustia (2015 : 28) politik uang adalah suatu tindakan membagi-bagikan uang atau materi lainnya baik milik pribadi dari seorang politisi (calon Legislatif/calon presiden dan wakil presiden, calon kepala daerah) atau milik partai untuk mempengaruhi suara pemilu yang diselenggarakan. Jadi politik uang merupakan upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi pada proses politik dan kekuasaan bernama pemilihan umum. 

Politik uang akhir-akhir ini menjadi salah satu aspek yang mendapat perhatian publik. Alih-alih memilih karena hati nurani dan harapan yang besar, masyarakat jutsru memilih atas dasar uang diberikan ke pada mereka. Praktik yang dilarang ini sudah banyak diamankan dan ditindaklanjuti oleh polisi, namun kasus yang tidak terungkap juga tidak kalah banyaknya. 

Polisi biasa mengungkap kasus politik uang dengan skala besar. Padahal praktik politik uang ini sudah mermambah hingga tingkat organisasi masyarakat yang lebih kecil seperti kecamatan, desa, bahkan hingga RT (rukun tetangga) dan RW (rukun warga). 

Apakah kasus yang "kecil" ini bisa dibiarkan begitu saja? Tentu tidak! Negara sendiri disusun atas berbagai hierarki organisasi masyrakat, mulai dari individu, keluarga, RT/RW, desa, kabupaten, provinsi, dst. Tidak ada bedanya antara kasus yang berada di lingkup besar dan lingkup kecil, keduanya sama-sama salah dan berpotensi untuk meruntuhkan identitas Bangsa Indonesia sebagai negara demokrasi. 

Mengapa demikian? Jelas karena proses pemilihan umum sudah tidak berlangsung secara netral sehingga hasil yang ada bisa bersifat semu. Masalah politik uang ini akan secara kontinyu terus muncul dan ada, terutama saat menjelang pesta demokrasi di Indonesia.

Menggali latar belakang adanya politik uang di Indonesia

Saat ini, politik uang bisa dikatakan sudah umum di Indonesia. Meskipun beberapa masyarakat sadar bahwa kegiatan tersebut sebenarnya adalah salah satu bentuk praktik penyimpangan demokrasi di Indonesia, namun tidak sedikit dari mereka yang abai bahkan acuh tak acuh terhadap demokrasi ini. 

Manusia melakukan sesuatu dilandasi oleh suatu motif tertentu, tidak terkecuali politik uang ini. Di bawah ini akan dijelaskan beberapa faktor-faktor latar belakang yang menyebabkan adanya politik uang sampai saat ini.

  • Sifat egois
    Sudah menjadi kodrat bagi manusia bahwa manusia diciptakan dengan rasa egonya masing-masing. Namun, kadang ego ini mengalahkan pemiliknya sendiri, menutupi hati nurani pemiliknya sehingga tidak bisa membedakan yang baik dan yang buruk. Sifat egois juga identik dengan manusia yang ingin segalanya, bahkan sekalipun itu terlihat mustahil. Keinginan dan kebutuhan manusia sangat banyak dan beragam, dan yang menjadi poin utama, keinginan tersebut tidak akan pernah ada habisnya. 

  • Dalam hal ini misalnya kekuasaan. Manusia dengan sifat egonya bahkan kadang rela melakukan cara apa pun demi menggapai suatu posisi tersebut. Mereka menghalalkan segala cara tanpa berpikir apakah cara tersebut bertentangan dengan hukum atau tidak. Terlebih jika mereka memiliki ekonomi kelas tinggi. Praktik politik uang semakin besar peluangnya untuk dilakukan demi menggapai suatu kedudukan.

  • Kurangnya ilmu pengetahuan
    Tidak dapat dipungkiri, ilmu adalah sumber dari pengetahuan. Pengetahuan yang baik akan tercermin dalam tindakan yang baik pula. Kurangnya ilmu mengenai prinsip-prinsip demokrasi dan asas-asas pemilu dapat menyebabkan tindakan politik uang ini dapat berjalan mulus. 

  • Hal ini tidak hanya terjadi pada masyarakat, tetapi juga pemangku kekuasan, dan bahkan calon itu sendiri. Namun, dalam hal ini masyarakat adalah aspek utama yang paling berpengaruh. Beberapa pemangku kekuasaan dan calon yang akan dipilih mungkin sudah mengetahui, tetapi rasa egois bisa menutup hati mereka. Sedangkan rakyat? Sekumpulan orang yang kebanyakan naif tentang hal seperti ini, khususnya mereka yang berada di desa, jauh di luar ibu kota. 

  • Bagi mereka uang yang jelas ada wujudnya lebih penting daripada teori demokrasi belaka yang mungkin sulit untuk mereka cerna. Jika hal ini tidak diwaspadai, maka bisa saja calon-calon yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan kebodohan masyarakat ini untuk membeli suara mereka. Tentu masyarakat tidak terlalu ambil pusing tentang ini, uang menjadi pilihan yang terbaik bagi mereka.

  • Kurang tegasnya hukum dan penegaknya
    Kurang tegasnya hukum dan aparat penegak hukum bisa menjadi salah satu sebab politik uang ini terus berjalan dengan lancar pada praktiknya. 

  • Banyak dari aparat penegak hukum yang ikut dibeli suara dan haknya sehingga lupa akan tugasnya. Mereka tahu bahwa sebenarnya hal tersebut salah, namun karena mereka sudah "dibeli", maka mereka menganggap hal ini wajar saja dan tidak melakukan apapun. Hal ini lah yang menjadi celah sehingga praktik politik uang bisa terus mengakar kuat di masyarakat. 

  • Hukum yang lemah juga menjadikan kasus ini tidak ada habisnya. Tidak ada aksi nyata sebagai penerapan dari hukum tersebut sehingga politik uang semakin leluasa melebarkan sayapnya.

  • Praktik Politik Uang dalam Kacamata Hukum dan Undang-Undang

Telah disebutkan sebelumnya bahwa hukum berserta penegaknya yang lemah merupakan salah satu latar belakang terjadinya politik uang. Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada hukum yang menyoroti akan hal ini. Hukum atas politik uang ini sudah ada, hanya saja penerapannya yang masih memerlukan banyak evaluasi.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengandung pasal yang memuat tentang larangan politik uang dalam penyelengaraan pemilu. Pada Undang-Undang dengan nomor dan tahun yang sama juga terdapat sanksi terhadap calon peserta pemilu yang melakukan politik uang. 

Calon peserta pilkada yang kedapatan melakukan politik uang akan dikenakan  sanksi sesuai Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang bersisi "Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum dengan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya dengan imbalan warga negara Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilihnya, menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga pemungutan suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000 (dua) ratus juta rupiah) dan maksimal Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah). 

Dalam peraturan tersebut ditegaskan bahwa setiap calon peserta Pilkada dilarang untuk
menjanjikan atau memberikan imbalan baik dalam bentuk uang maupun barang yang akan mempengaruhi pemilih. Dalam Undang-Undang tersebut juga mengatur tentang tindakan apa saja yang tidak boleh dilakukan oleh calon peserta terhadap pemilih. Perolehan suara harusnya berlandaskan pada visi dan misi dari calon peserta Pilkada bukan dari imbalan yang dijanjikan. Untuk
itu maka tindakan politik uang dilarang dalam proses pemilihan dan kampanye di Pilkada.

Dalam KUHP BAB V tentang penyertaan tindak pidana tepatnya di pasal 55 diterangkan bahwa (1) (a) mereka yang melakukan, yang memerintahkan untuk melakukan, dan yang berpartisipasi dalam melakukan perbuatan dan (b) mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan cara kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, cara atau informasi, dengan sengaja mendorong orang lain untuk melakukan tindakan, akan dipidana sesuai pidana yang mereka lakukan. (2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya. 

Pada Pasal 149 (1) Barang siapa pada saat pemilihan umum berdasarkan peraturan umum, dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, menyuap seseorang agar tidak menggunakan hak pilihnya atau menggunakan haknya dengan cara tertentu, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratusan rupiah. (2) Hukuman yang sama diterapkan pada pemilih yang dengan menerima hadiah atau janji ingin disuap.

Melihat Dampak Politik Uang terhadap Kehidupan Demokrasi

Melaui uraian-uraian sebelumnya, dapat secara singkat ditarik kesimpulan bahwa politik uang adalah salah satu hal yang tidak bisa dibenarkan secara hukum. Politik uang ini dapat memberikan pengaruh negatif, baik bagi masyarakat maupun calon peserta pemilu itu sendiri. 

Bagi masyarakat, mereka mungkin akan kecewa dan menyesal suatu saat karena keputusan dan kebijakan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, akibatnya mereka hanya terjebak pada suatu sistem politik yang mungkin tidak membawa manfaat bagi mereka. Sedangkan bagi calon peserta pemilu, mereka memiliki risiko akan dikeluarkan dari hak kepesertaannya sebagai calon peserta pemilu atau bahkan dinonaktifkan dan di-black list dalam pemilu selanjutnya. 

Selain itu, pencemaran nama baik dan sanksi pidana adalah hal mutlak yang akan mereka terima jika terbukti melakukan politik uang. Pada intinya, politik uang secara perlahan dapat merusak tatanan demokrasi yang ada di suatu negara, sehingga jika dibiarkan akan memunculkan berbagai permasalahan baru di masyarakat dan dapat merusak mental generasi penerus bangsa untuk mencapai kesejahteraan.

Peran Mahasiswa dalam Mengentaskan Praktik Politik Uang di Indonesia

Mahasiswa dengan salah satu perannya, sebagai agent of change atau agen pembawa perubahan dinilai sebagai potensi yang cukup kuat dalam mengentaskan praktik politik uang di Indonesia.

Sebagai sebagai salah atau sivitas akademika dari universitas, mahasiswa memiliki stigma yang cukup baik di masyarakat. Masyarakat menilai bahwa mahasiswa dengan kata "maha" memiliki jenjang ilmu yang lebih tinggi dan dicap sebagai generasi intelek. Oleh karena itu, peluang ini harus bisa dimanfaatkan untuk menyosialisasikan pengaruh politik uang terhadap kehidupan demokrasi. Tentu saja masyarakat akan lebih mendengar dan memedulikan kita dengan harapan mereka paham dan dapat secara cerdas menolak segala bentuk politik uang.

Sebagai mahasiswa yang memiliki fungsi kontol sosial, teman teman mahasiswa diharapkan dapat menjadi pengawal dalam pelaksanaan hukum oleh aparat dan kualitas hukum itu sendiri. Mahasiswa sebagai kontrol agar aparat hukum bekerja sesuai dengan prinsip dan tupoksinya, tidak menyeleweng dari yang seharusnya. Selaih itu mahasiswa juga berperan dalam menilai suatu hukum agar terus berpihak pada arah kemutlakan demokrasi yang benar.

  • DAFTAR PUSTAKA
  •  
  • I Wayan Febrianto., Ida Ayu Putu Widiati., Luh Putu Suryani. 2020. Analisis Penanganan Politik Uang Ditinjau Dari Undang-Undang Pilkada. Jurnal Interpretasi Hukum. 1: 110-115, https://doi.org/10.22225/juinhum.v1i2.2446.110-115.
  • Hariman Satria. 2019. Politik Hukum Tindak Pidana Politik Uang dalam Pemilihan Umum di Indonesia. Jurnal Antikorupsi INTEGRITAS. 5 (1): 1-14, https://doi.org/10.32697/integritas.v5i1.342.
  • Lina Ulfa Fitriani., L Wiresapta Karyadi., Dwi Setiawan Chaniago. 2019. Fenomena Politik Uang (Money Politic) Pada Pemilihan Calon Anggota Legislaltif di Desa Sandik Kecamatan Batu Layar Kabupaten Lombok Barat. Jurnal RESIPROKAL. 1 (1): 53-61, p-ISSN: 2685-7626.
  • Tedi Erviantono. 2017. Budaya Politik, Uang, dan Pilkada. Jurnal Transformative Universitas Brawijaya. 3 (2): 60-68.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun