Pada awalnya Jokowi memiliki modal politik yang menjanjikan : elektabilitas tinggi, dukungan Mega-Puan sebagai representasi PDIP, slogan wong ciliki dengan ajaran Trisakti Bung Karno, JK sebagai tokoh berpengalaman, dukungan koalisi tanpa bagi kursi, keberpihakan media dan kedua Kartu KIP-KIS. Dengan modal politik yang cukup menunjang ini seharusnya citra baru Jokowi sebagai "reinkarnasi" Sukarno seharusnya tambah melejit elektabilitasnya. Lalu kemana semua modal politik Jokowi dan apa yang masih tersisa ?.
Awalnya, pada kongres PDIP, Mega-lah yang diberi mandat untuk maju sebagai capres yang diusung PDIP atau setidaknya siapa pun yang maju adalah 100% atas restu Megawati. Dengan berjalannya waktu mendekati masa kampanye legislatif, kelihatan sekali Megawati masih mau maju sebagai capres PDIP. Â Dan saat itu Jokowi sering membantah pencapresannya.
Gerak-gerik Mega dapat kita lihat pada saat itu. Kalaupun pada akhirnya Mega tidak maju karena mengingat usia, maka kemungkinan besar Mega cenderung melahirkan pasangan Prabowo-Puan. Ini sangat wajar, selain perjanjian Batu Tulis dengan Prabowo, Mega memiliki cita-cita bahwa trah Sukarno harus muncul saat ini. Kondisinya memang tidak memungkin untuk mengusung Puan sebagai presiden karena belum matang, tetapi sangat mungkin menggandengkannya dengan Prabowo. Perkiraan lawan politik juga jelas: ical, Roma Irama, Mahfud, JK, dan hasil konvensi Demokrat yang tentu tidak meleset dari Pramono Edhy. Kekuatan sudah dipetakan. Apalagi saat itu posisi elektabilitas Prabowo berada di atas oleh berbagai survei sebelum Jokowi muncul.
Tidak disangka-sangka, entah "by design" atau tidak, dunia maya dan dunia nyata diramaikan dengan para relawan yang mendukung pencapresan Jokowi. Berbagai cara dilakukan mereka untuk meraih simpati atau keberpihakan Mega dalam pencapresan Jokowi. Padahal, tidak tanggung-tanggung JK membantah dan menolak pencapresan Jokowi dengan ucapan : "jika Jokowi jadi presiden bisa hancur negeri ini. Biarkan Jokowi fokus urus Jakarta".
Ketidakberdayaan Mega menolak pencapresan Jokowi buntuh ketika disodorkan hasil survei tentang tingginya elektabilitas Jokowi. Bahkan sampai 92%. Entah dari mana survei ini tetapi sungguh-sungguh ada di web Jokowi. Jika anda penasaran, pakailah pencari google dengan keyword "prabowo-jokowi" maka grafik itu akan nongol mana kala anda memilih opsi "image" di halaman web google.
Mega menjadi tidak berdaya dan kemungkinan besar faksi-faksi di dalam PDIP ikut menekan secara halus agar pencapresan Jokowi diterima Mega.
Perlu diketahui bahwa setidaknya ada tiga faksi dalam PDIP. Para politikus PDIP ini juga dikhabarkan telah membiayai sekitar 50 wartawan untuk mempromosikan Jokowi.
Kita bisa membayangkan bagaimana perasaan Mega saat itu. Bagaimana mungkin ketua Partai bisa disodok dengan sekadar hasil survei. Di pihak lain, Mega tentu tidak mau menerima perpecahan dalam partainya. Namun, Mega masih punya harapan : Puan dicawapreskan !.
Pencapresan Jokowi diumumkan dan Jokowi leluasa berpolitik. Jokowi yang awalnya sering bersama-sama satu mobil dengan Mega, kini menjadi bebas di atas angin. Jokowi lebih sering menemui para sukarelawannya ketimbang berkonsultasi dengan Mega. Bukan hanya itu, gonjang-ganjing pemilihan cawapres menjadi menu media setiap karena kelihatannya Jokowi dan Megawati sudah tidak intens berkomunikasi.
Di kubu PDIP menguat dukungan untuk Puan, tetapi Jokowi sibuk dengan mengulur waktu dan mengumbar inisial cawapres di Media. Semakin hari, drama cawapres ini semakin heboh dan di dalam tubuh PDIP dukungan kepada Puan semakin menguat. Lagi-lagi gaya tekan Jokowi dimainkan. Dikhabarkan bahwa malam-malam Jokowi terbang ke Solo untuk memakai "mulut" walikota Solo menekan Mega. Besoknya, media ramai dengan berita penolakan Puan oleh wali kota Solo. "Jika Puan dijadikan cawapres Jokowi, maka saya tidak akan mendukung capres PDIP dan sekalian keluar dari PDIP", demikian tohokan Rudy, Walikota Solo kepada Mega.
Apakah dalam keadaan kisruh demikian Mega akan ngotot yang ujungnya terjadi perpecahan dalam tubuh PDIP ?. Tentu tidak. Demi utuhnya PDIP, Mega bersedia menelan pil pahit walau pun harus mengelus dada ulang-ulang.
Manuver-manufer politik Jokowi setelah pileg semakin membuat Mega kesepian. Dengan dalih Jokowi harus mengikis isu "capres boneka", Mega dan Puan betul-betul ditinggalkan Jokowi dalam manuver politiknya.
Maka untuk pertama kalinya Nasdem mendukung Jokowi dengan misi mencawapreskan JK. Lalu disusul PKB yang juga ingin mencawapreskan JK. Sedangkan Hanura, datang belakangan karena memang tidak pernah bisa bersatu dengan Prabowo. Tidak heran jika ujungnya ketika deklarasi Jokowi-JK, Mega mengeluarkan kata hatinya yang jujur: "Jokowi... Engkau petugas partai!".
Maka jadilah Jokowi sebagai bulan-bulanan pers dengan tudingan capres boneka dengan olokan: "bungkusnya PDIP, isinya Megawati". Isu ini dibantah sekuat tenaga oleh Mega sendiri, tetapi ceritanya tidak berhenti sampai di situ saja.
Entah apa tujuannya, petinggi Demokrat mengumumkan secara terbuka bahwa SBY rindu sekali bertemu dengan Mega tetapi diharapkan Jokowi dapat menjembatani pertemuan kedua tokoh ini atau tepatnya SBY yang dibenci Megawati selama ini. Ternyata pertemuan SBY-Mega tidak pernah terlaksan sampai detik ini.
Maka bacaan politik masyarakat menjurus pada beberapa simpulan. 1). Megawati tidak mau bertemu SBY, pamor Mega jatuh sampai ke titik nadir. 2). Selain itu, fakta ini semakin mengukuhkan citra Jokowi sebagai capres "boneka" serta 3). sejauh mana Mega dengan gerbong partainya bisa "all out" memenangkan Jokowi terukur sudah. Tangkisan kubu Jokowi saat itu begini : kalau hanya bertemu untuk transaksi kursi, buat apa. Bertepatan dengan slogan yg dibangun Jokowi : koalisi tanpa bagi-bagi kursi.
Suatu hal yang saya tidak pahami juga, Demokrat menawarkan lagi kepada para capres-cawapres untuk mempresentasikan visi-misi mereka di depan DPP Demokrat. Prabowo-Hatta datang, Jokowi-JK tidak datang dengan alasan : "baca saja visi-misi kami di web KPU".
Dari kedua fakta ini betul-betul membuka mata para kaum rasional tentang bagaimana hubungan dan dukungan Mega ke Jokowi-JK serta semakin mengokohnya keyakinan bahwa Jokowi adalah capres "boneka" dengan bungkus Jokowi dan isi Megawati.
Tentu saja perkembangan situasi ini menjadi beban politik bagi Jokowi-JK. Jokowi berusaha mengatasasi citra buruk ini dengan berupaya untuk menghilangkan stempel capres-cawapres boneka ini. Caranya : (terkaan saya) seminim mungkin keterlibatan Mega-Puan dan sesedikit mungkin juga mengungkit masalah idealisme Sukarno yaitu Marhaen dan 3 ajaran Trisakti Sukarno. Padahal awalnya, Jokowi sempat menenteng ajaran trisakti Sukarno dalam tulisannya di Kompas dengan bungkus "Revolusi Mental" yang isinya adalah ajaran trisakti Sukarno.
Sampai disini, modal politik Jokowi berupa dukungan Mega- Puan terkikis di permukaan tetapi dalam hati sudah hilang.
Perjalanan politik nyata dengan basis kekuatan media ini betul-betul membuat Jokowi terhempas dari fisik Mega-Puan dan ajaran Sukarno. Sisanya yang masih ada pada Jokowi-JK tinggallah "bungkusan kosong bernama "Revolusi Mental" dan koalisi suka rela dengan dua kartu sakti Jokwi. Karena segera setelah itu, elektabilitas Jokowi terjun bebas dari 92% tinggal 40% dan terus merosot sampai hari ini.
Harapan Mega-Puan semakin tergerus manakala Jokowi yang diplot mengusung ajaran Sukarno justru secara terdesak Jokowi meninggalkannya dengan sangat kasat mata. Harapan semula bahwa Jokowi kental dengan jargon "Sukarno sentris", kini telah melenceng menjadi "Jokowi sentris".
Amati saja semua slogan Jokowi-JK : Jokowi-JK adalah kita, pemimpin dari rakyat, Muka Ndeso, otak internasional, kartu sehat dan kartu pintar dll. Saya belum pernah menyaksikan dalam semua debat yang saya ikuti Jokowi dan JK menyinggung Marhaen, Sukarno, Trisakti bahkan Megawati sekali pun. Jokowi betul-betul berjalan sendiri dan berbagai survei menemukan dukungan partai pengusung sangat minim dengan skor terakhir hanya 30% yang jauh lebih rendah dari Prabowo yaitu 70%.
Pada titik ini, Jokowi hanya memiliki modal politik yang tersisa yaitu media, JK dan 2 kartu KIS-KIP.
Sebaliknya, Prabowo yang sejak awal merepresentasikan dirinya sebagai Sukarnois mendapat keuntungan dari keterdesakan Jokowi. Â Lihat saja ciptaan musuh bersama Prabowo yang oleh lawan dan khalayak buta politik dijadikan lelucon :" BOCOR". Prabowo mau mengatakan bahwa kita sebagai bangsa sedang menghadapi musuh bersama yaitu "kekayaan kita dirampok" maka marilah kita berjuang lewat memilih Prabowo sebagai pemimpin untuk melawan musuh bersama itu, agar kita bangkit menjadi "Macan Asia".
Pergerakan dan penggalangan dukungan sungguh bangkit dengan energi "musuh bersama" dan tujuan bersama ini. Bandingkan dengan "ganyang Malaysianya"-nya Sukarno. Rupanya, Prabowo juga sangat mengerti ilmu penjualan polis asuransi : bahwa menjual asuransi itu jangan mengedepankan kepentingan penjual tentang manfaat yang dia peroleh dari penjualan ini, tetapi temuilah calon peserta asuransi dengan mengedepankan bantuan demi kepentingan calon peserta itu sendiri. Bukan memakai kata "tolonglah saya" tetapi sering memakai kata "saya mau tolong anda". Jarang sekali Prabowo membicarakan dirinya tetapi sering membicarakan "bocor", "bangkit" dan "macan asia".
Kelihatan jelas dari iklan, slogan dan kampanye Prabowo bahwa dalam persiapan amunisinya adalah settingan : "PRABOWO-PUAN".
Berlanjutlah cerita Jokowi ini yang senjatanya sudah diambil Prabowo dan logisnya simpati Mega-Puan tertuju ke Prabowo. Mungkin ada penyesalan juga. Dengan melorotnya elektabilitas Jokowi, dengan modal koalisi tanpa pamrih ini harus kembali diuji lagi.
Entah apa yang melatari juga, keberpihakan si "raja minyak" Ruhut Sitompul dengan hentakan yang mencengangkan : "saya dukung Jokowi karena dijanjikan menteri oleh Luhut dll. Keberpihakkan saya direstui SBY". Demokrat seolah bergoncang dan akhirnya sepi juga. Persepsi apa yang terbangun ?. Ternyata "koalisi tanpa bagi-bagi kursi itu" hanya bohong belaka. Buktinya Ruhut ditawari kursi menteri. Hilang lagi jualan si kerempeng Jokowi yang bernama "koalisi tanpa bagi-bagi kursi ini".
Entar, bukankah dukungan Ruhut diklaim atas restu SBY ?. Tentu ini angin segar buat Jokowi bukan ?. Nanti dulu. Demokrat secara resmi mengdeklarasikan bahwa SBY dan gerbongnya mendukung Prabowo-Hatta. Secuil harapan yang ditiupkan Ruhut tentang "main dua kakinya" SBY kini menguap lagi laksana embun terteepa matahari pagi.
Saat ini, walau pun berbagai pihak berteriak agar Mega-Puan turun mendongkrak elektabilitas Jokowi yang kian merosot, Mega-Puan tidak bergerak. Jangankan datang ke NTT yang jauh, di Jakarta dan jawa Barat saja tdk sering kelihatan.
Jokowi-JK hanya bertumpuh pada relawan yang tidak tertib di Parkir Timur Senayan dan rusuh di Jogya pula. Jika Jokowi tidak mampu menertibkan tim relawannya, bagaimana lagi diharapkan Jokowi dapat menertibkan 150 juta rakyat Indonesia ?. Kalau kerjasama dengan Mega-Puan saja gagal, bagaimana menangani isu laut Tiongkok ?.
Modal politik Jokowi tinggal JK dan dua kartu KIS-KIP-nya serta dukunngan media. Namun, tidak disangka-sangka, setelah debat cawapres yang lalu, JK harus menginap di RS Abdi Waluyo Jakarta. Citra cawapres yang berumur 72 tahun ini menjadi turun karena kesehatannya. Walau pun JK sudah sembuh tetapi tidak bisa lagi berkeliling seperti sebelumnya. Betul-betul pada Minggu terakhir ini Jokowi kehilangan segalanya dan tinggal dua kartu dan relawan.
Jokowi mengarungi tantangan seorang diri. Beberapa kader PDIP pun mendeklarasikan dukungannya ke Prabowo-Hatta dan semakin terhimpitlah Jokowi. Memang masih ada beberapa orang dari partai pengusung yang bekerja, tetapi semangat itu tidak seperti tahun 2009 sewaktu Mega jadi Capres. Dulu, tahun 2009, jalan raya Lenteng Agung dimana kantor DPP PDIP berada sangat ramai dan jalanan menjadi macet setiap hari. Kini, saat Jokowi dicapreskan, kantor DPP itu sepi serta kemacetan tidak terasa berbeda.
Lebih menyedihkan lagi, beberapa pendukung Jokowi telah mengeluhkan tentang hilangnya keberpihakan media. Masih untung ada Metro TV yang masih menyiarkan kampanye Jokowi. Media lainnya seolah bungkam. Blog-blog yang mempromosikan Jokowi semakin tidak kelihatan. Jokowi sementara ini betul-betul kesepian.
Apa modal politik yang tersisa pada Jokowi sekarang ?. Tinggal 2 kartu KIP-KIS itu !.
Lalu, tidak berhenti sampai di situ : diisukan Puan Merapat ke Prabowo. Isu ini bukan sesuatu yang tidak mungkin terjadi.
Dari ulasan di atas, jelaslah bahwa SANGAT PATUT DICURIGAI Mega-Puan tidak rela memberikan segalanya kepada Jokowi. Sudah capres-cawapres diberikan, lalu partai PDIP mungkin akan dikuasai Jokowi.
Dalam hubungan seperti ini memang masuk akal sekali bahwa PDIP akan direbut Jokowi dan golkar direbut JK. Ini pernah terjadi pada tahun 2004 dimana JK bergabung dengan SBY dan putaran dua golkar yang jelas-jelas mendukung Mega. Namun setelah JK jadi wapres, Golkarr pun diambil JK.
Lha, tidak cukupkah pelajaran ini buat Mega ?. Dan relakah Mega demi Jokowi berkorban untuk kehilangan basis politik trah Sukarno, ajaran Trisakti Sukarno, tersingkirnya Puan dan hilangnya kendali atas PDIP ?.
Tentu saja Mega-Puan berharap Jokowi tidak terpilih dan Puan harus mencari perlindungan, yaitu Prabowo. Ini logikanya dan tidak mungkin pembelotan Puan ini dilakukan terang benderang.
Terakhir, saya bukanlah orang yang terpintar, tetapi saya juga tidak bodoh-bodoh amat. Dalam pengamatan saya seperti ini, bagaimana mungkin saya ikut mendukung Jokowi ?. Entahlah bagi orang lain. Â Salam Ind-ONE-sia: SATU Nusa, SATU Bangsa !.
Sumber :
Dikutip dari status seseorang di laman Facebook
Dengan judul asli : Menakar Sisa Modal Politik Jokowi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H