Manuver-manufer politik Jokowi setelah pileg semakin membuat Mega kesepian. Dengan dalih Jokowi harus mengikis isu "capres boneka", Mega dan Puan betul-betul ditinggalkan Jokowi dalam manuver politiknya.
Maka untuk pertama kalinya Nasdem mendukung Jokowi dengan misi mencawapreskan JK. Lalu disusul PKB yang juga ingin mencawapreskan JK. Sedangkan Hanura, datang belakangan karena memang tidak pernah bisa bersatu dengan Prabowo. Tidak heran jika ujungnya ketika deklarasi Jokowi-JK, Mega mengeluarkan kata hatinya yang jujur: "Jokowi... Engkau petugas partai!".
Maka jadilah Jokowi sebagai bulan-bulanan pers dengan tudingan capres boneka dengan olokan: "bungkusnya PDIP, isinya Megawati". Isu ini dibantah sekuat tenaga oleh Mega sendiri, tetapi ceritanya tidak berhenti sampai di situ saja.
Entah apa tujuannya, petinggi Demokrat mengumumkan secara terbuka bahwa SBY rindu sekali bertemu dengan Mega tetapi diharapkan Jokowi dapat menjembatani pertemuan kedua tokoh ini atau tepatnya SBY yang dibenci Megawati selama ini. Ternyata pertemuan SBY-Mega tidak pernah terlaksan sampai detik ini.
Maka bacaan politik masyarakat menjurus pada beberapa simpulan. 1). Megawati tidak mau bertemu SBY, pamor Mega jatuh sampai ke titik nadir. 2). Selain itu, fakta ini semakin mengukuhkan citra Jokowi sebagai capres "boneka" serta 3). sejauh mana Mega dengan gerbong partainya bisa "all out" memenangkan Jokowi terukur sudah. Tangkisan kubu Jokowi saat itu begini : kalau hanya bertemu untuk transaksi kursi, buat apa. Bertepatan dengan slogan yg dibangun Jokowi : koalisi tanpa bagi-bagi kursi.
Suatu hal yang saya tidak pahami juga, Demokrat menawarkan lagi kepada para capres-cawapres untuk mempresentasikan visi-misi mereka di depan DPP Demokrat. Prabowo-Hatta datang, Jokowi-JK tidak datang dengan alasan : "baca saja visi-misi kami di web KPU".
Dari kedua fakta ini betul-betul membuka mata para kaum rasional tentang bagaimana hubungan dan dukungan Mega ke Jokowi-JK serta semakin mengokohnya keyakinan bahwa Jokowi adalah capres "boneka" dengan bungkus Jokowi dan isi Megawati.
Tentu saja perkembangan situasi ini menjadi beban politik bagi Jokowi-JK. Jokowi berusaha mengatasasi citra buruk ini dengan berupaya untuk menghilangkan stempel capres-cawapres boneka ini. Caranya : (terkaan saya) seminim mungkin keterlibatan Mega-Puan dan sesedikit mungkin juga mengungkit masalah idealisme Sukarno yaitu Marhaen dan 3 ajaran Trisakti Sukarno. Padahal awalnya, Jokowi sempat menenteng ajaran trisakti Sukarno dalam tulisannya di Kompas dengan bungkus "Revolusi Mental" yang isinya adalah ajaran trisakti Sukarno.
Sampai disini, modal politik Jokowi berupa dukungan Mega- Puan terkikis di permukaan tetapi dalam hati sudah hilang.
Perjalanan politik nyata dengan basis kekuatan media ini betul-betul membuat Jokowi terhempas dari fisik Mega-Puan dan ajaran Sukarno. Sisanya yang masih ada pada Jokowi-JK tinggallah "bungkusan kosong bernama "Revolusi Mental" dan koalisi suka rela dengan dua kartu sakti Jokwi. Karena segera setelah itu, elektabilitas Jokowi terjun bebas dari 92% tinggal 40% dan terus merosot sampai hari ini.
Harapan Mega-Puan semakin tergerus manakala Jokowi yang diplot mengusung ajaran Sukarno justru secara terdesak Jokowi meninggalkannya dengan sangat kasat mata. Harapan semula bahwa Jokowi kental dengan jargon "Sukarno sentris", kini telah melenceng menjadi "Jokowi sentris".