Hart percaya bahwa hukum harus memiliki fungsi praktis dalam menjaga ketertiban dan prediktabilitas. Oleh karena itu, ia memandang bahwa hukum tidak hanya sebagai kumpulan aturan kaku tetapi sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan stabilitas dan keteraturan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun Hart memisahkan hukum dari moral, ia tetap mengakui pentingnya hukum dalam menjaga struktur sosial yang fungsional(Jurnal+Hana+Causa).
- Penolakan terhadap Teori Hukum Murni Kelsen:
Berbeda dengan Hans Kelsen yang mengusulkan Teori Hukum Murni, Hart menolak pandangan bahwa hukum harus sepenuhnya bebas dari aspek sosial dan politik. Baginya, meskipun hukum dipisahkan dari moralitas, hukum tidak sepenuhnya independen dari konteks sosial. Hart berargumen bahwa hukum berfungsi di tengah masyarakat dan harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat tersebut, namun tetap dalam kerangka aturan formal yang telah ditetapkan
Pokok pemikiran Max Weber
Pokok pemikiran Max Weber yang terutama berfokus pada hubungan antara pendidikan, budaya, dan etika. Weber memandang pendidikan sebagai sarana penting dalam membentuk individu yang kreatif serta memiliki tanggung jawab sosial. Pendidikan tidak hanya bertujuan untuk memberikan pengetahuan, tetapi juga untuk menanamkan nilai-nilai budaya dan etika yang penting bagi perkembangan sosial dan moral seseorang Dua aspek utama pemikiran Weber tentang pendidikan berbudaya adalah:
- Kreativitas dan Tanggung Jawab Sosial: Weber menekankan bahwa pendidikan seharusnya membentuk individu yang inovatif dan berperan aktif dalam masyarakat. Kreativitas dan tanggung jawab sosial dilihat sebagai landasan penting untuk kemajuan sosial dan ekonomi
- Nilai Budaya dan Etika: Weber percaya bahwa nilai budaya dan etika harus ditanamkan dalam pendidikan untuk menciptakan individu yang mampu menjalani kehidupan yang bermartabat dan memahami tanggung jawab sosial. Etika Protestan, seperti disiplin dan kerja keras, dianggap Weber sebagai faktor penting dalam pembentukan kapitalisme modern dan kemajuan ekonomi
Pemikiran H.L.A hart dan Max weber dalam masa sekarang ini
Pemikiran yang diungkapkan oleh H.L.A Hart dan Max Weber masih penting dalam konteks hukum saat ini meskipun ada tantangan baru yang harus dihadapi dalam penerapannya di era modern ini. H.L.A Hart menyoroti konsep positivisme hukum yang menekankan pentingnya pemisahan antara hukum dan moralitas serta menganalisisnya sebagai sebuah sistem aturan yang objektif dan sah secara formal. Dalam masyarakat dengan keragaman nilai seperti sekarang ini, pendekatan yang diperkenalkan oleh Hart membantu untuk menjaga keberpihakan hukum sehingga tidak dipengaruhi oleh nilai moral tertentudalam masyarakat.
Namun demikian, kritik juga diberikan terhadap pendekatan tersebut ketika sistim hukum yang bersifat formal dianggap kurang responsif terhadap tuntutan keadilan substansial. Di sisi lainnya, Max Weber memandang undang-undang sebagai komponen dari prosedur rasionalisasi masyarakat modern, dimana undang-undang yang rasional dan birokratis bertujuan untuk menciptakan keadilan prosedural dan efisiensi. Pemikiran Weber ini masih tercermin dalam sistem undang-undang yang sangat terstruktur dan berorientasi pada prosedur, membantu menjamin kepastian undang-undang dan kepercayaan publik. Walau begitu, Weber juga menunjukkan bahaya dehumanisasi ketika rasionalitas birokratis digunakan secara berlebihan, yang dapat membuat undang-undnag menjadi kaku dan kurang responsif terhadap konteks sosial yang selalu berubah.
Pemikiran Max Weber dan H.L.A hart sesuai Perkembangan hukum di Indonesia
Perspektif H.L.A. Hart
Perspektif H.L.A. Hart mencerminkan pendekatan positivisme hukum. Hart berkeyakinan bahwa hukum adalah dari moral dan berkembang dari aturan kaku dan mandiri yang terikat untuk dipatuhi semua orang. Perspektif ini jelas terwujud melalui struktur hukum formal di Indonesia, misalnya undang-undang dan peraturan daerah, yang berdasarkan sistem aturan tertulis dan prosedur legal formal. Pemisahan hukum dan moral menciptakan dasar netralitas dan kepastian aturan yang sangat dibutuhkan di Indonesia yang heterogen dalam hal etnisitas, agama, dan budaya. Namun, perspektif ini telah dikritik karena terlalu formalistik dan tidak mengakomodasi keadilan sosial. Beberapa upaya penegakan hukum mungkin lambat dan kaku karena alasan prosedural yang tidak efisien.
Perspektif Max Weber