Mohon tunggu...
Faisal Ramadhan Munsil
Faisal Ramadhan Munsil Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa Pascasarjana Magister Hukum Universitas Islam Indonesia

Aku tidak menyukai pendapatmu, tapi aku akan membela mati-matian Hak-mu dalam berpendapat -Volitaire

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Masa Depan KPK Suram: Tangis Reformis jadi Tragis?

4 Juli 2024   11:01 Diperbarui: 4 Juli 2024   11:01 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

OPINI-  Masih terekam jelas, pada saat tahun 2019 sebelum di tetapkan Undang-Undang No.19 tahun 2019 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi memicu Pro/Kontra di kalangan masyarakat, dan para akademisi. Tragedi itu juga mengakibatkan 2 mahasiswa Sulawesi Tenggara harus kehilangan Nyawa akibat bentrok dengan pihak kepolisian, dimana oknum dari kepolisian dengan gagah dan berani menembakkan peluru tajam ke arah masa aksi yang tergabung dalam Penolakan RUU KPK. Lupa, seragam yang di pakaianya adalah hasil pajak dari keluarga korban.

Reformasi terhadap polri barangkali juga perlu untuk di lakukan sebagai langkah dari evaluasi intitusi, aneh-nya belakangan ini muncul Draft RUU Polri atas inisiatif DPR.  Banyak pakar menilai membahayakan demokrasi dan kebebasan sipil dikarenakan perluasan kewenagannya, walaupun saya duga akan tetap di sahkan. Negara mencoba menormalisasi Produk hukum yang bersifat elitis dengan cara terus menerus mengeluarkan Revisi Undang-Undang, yang sebenarnya dapat dilihat dengan kasat mata hanya memangku kepentingan kekuasaan.

Sama hal dengan KPK yang secara substansi jika di tinjau dari Undang-Undang nya justru tidak membuat KPK semakin Kuat dalam pemberantasan korupsi. Bagaimana tidak, banyak para akademisi menilai bahwa substansi dari Undang-Undang KPK tersebut melemahkan KPK. Disamping itu kpk di paksa tunduk, dengan masuk ke ranah eksekutif yang jelas hal tersebut membuat KPK kini berada di ujung Tanduk. KPK harusnya menjadi anjing pengawas (Watch Dog) dalam pemberantasan Korupsi, bukan menjadi Kerbau yang seringkali harus di paksakan membajak sawah demi kepentingan “petani”.

Data Indonesia Corruption Watch sepanjang tahun 2018 negara telah dirugikan Rp 9,2 triliun akibat praktik-praktik korupsi. Citra Indonesia untuk penangan korupsi di mata dunia pun tidak menunjukkan perbaikan signifikan, Indeks Persepsi Korupsi terbitan Transparency International tahun 2019 masih menempatkan Indonesia pada peringkat 85 dari total 180 negara. Sedangkan data terbaru yang di keluarkan oleh Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Tingkat Korupsi di indonesia menempati posisi 110 dari 180 Negara, peringkat ini adalah terburuk sejak tahun 1995. Hal ini tentu tidak terlepas dari lemahnya Undang-undang No. 19 Tahun 2019 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Merujuk pada teori Lawrence M. Friedman mengatakan bahwa untuk melihat performa hukum yang efektif dalam suatu negara, paling tidak ada 3 poin untuk di jadikan sebagai parameter; Struktur hukum, Substansi hukum, dan Budaya hukum. Ketiga poin di atas dapat penulis rangkum bahwa secara budaya hukum, sebenarnya sudah dapat dilihat dari dua data yang saya paparkan sebelumnya sehingga negara masih gagal menjamin pemberantasan korupsi yang tiap tahun makin menjadi-jadi. Alih-alih menjadi penegak hukum yang ikut serta dalam pemberantasan korupsi, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) berada di peringkat pertama paling korupsi di ASEAN berdasarkan hasil survei IndexMundi.

Kedua, substansi hukum pun tak jauh berbeda. Regulasi yang dihasilkan Presiden dan DPR belum sepenuhnya menunjang kinerja pemberantasan korupsi. Contoh, rekomendasi dari kesepakatan PBB melawan korupsi (United Nation Convention Against Corruption) tak kunjung rampung diimplementasikan dalam hukum positif. Padahal kriminalisasi tindakan memperdagangkan pengaruh (trading in influence), peningkatan harta kekayaan yang tak wajar (illicit enrichment), atau suap sektor swasta (bribery in private sector) memiliki urgensitas yang amat penting.

Terakhir, Struktur hukum. Rasa-rasanya kejaksaan dan kepolisian belum begitu menunjukan performa terbaiknya dalam penanganan korupsi. Hal ini juga di dasari oleh kepercayaan publik terhadap 2 lembaga tersebut. Data Lembaga Survei sebelum di tetapkan Undang-Undang No.19 Tahun 2019 Tentang KPK Tepatnya pada tahun 2018 menhyebutkan untuk Kepolisian masih di bawah KPK. Begitupun  dengan kejaksaan tepatnya masih di bawah 70%, tentu data yang sekarang Kepercayaan publik terhadap KPK merosot hal tersebut tidak terlepas dari UU KPK yang secara substansi melemahkan KPK itu sendiri.

Upaya dari pelemahan KPK ini terbilang sudah cukup lama walaupun memakai pola yang berbeda-beda. Dalam sejarahnya pembentukan KPK pasca reformasi di tahun 2002 adalah hal yang tepat dan dapat dikatakan langkah tersebut berhasil untuk menguak kasus-kasus besar pada masanya. Masa demi masa terlewati, KPK kembali mengalami kegoncangan yang kerap terjadi. Namun yang paling kelihatan secara kasat mata di mana di tahun 2012 ketika Bambang S. Widjojanto dan Abraham Samad mengalami tuduhan kriminalisasi, hingga penyidik KPK Novel Baswedan yang hendak ‘dijemput’ oleh sekelompok oknum polisi pada awal tahun 2015 hingga insiden penyiraman air keras yang merusak satu matanya pada tahun 2017. Hal tersebut menjadi bukti bahwa Negara tidak begitu serius dalam pemberantasan Korupsi di Indonesia. Bahkan tidak sedikit yang mengatakan bahwa negara kongkalikong dengan para pemodal atau oligarki untuk membuat Jalan Tol agar memuluskan Jalan usaha mereka melalui UU yang bersifat elitis.

Lebih lanjut, bahwa secara pembentukan Undang-Undang tersebut sudah cacat secara prosedur, UU KPK tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas 2019. Hal ini terlihat dalam Keputusan DPR Nomor: 19/DPR RI/I/2018-2019 tentang Prolegnas Prioritas 2019 yang ditetapkan pada 31 Oktober 2018. Dari 55 RUU yang ditetapkan sama sekali tidak ditemui adanya RUU tentang Perubahan Kedua UU KPK. Bahkan, terhitung 4 kali evaluasi terhadap Prolegnas Prioritas 2019 tersebut baik pada tanggal 28 Mei 2019, 4 Juli 2019, 25 Juli 2019, dan 1 Agustus 2019 Perubahan Kedua UU KPK tetap tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas 2019.

Maka, perlu di duga kuat bahwa UU KPK memang sengaja di susupkan ketika ia di masukan secara tiba-tiba dalam prolegnas tanpa sepengatahuan publik pada tanggal 9 september 2019 lalu disahkan tanpa dasar urgensi yang jelas pada tanggal 17 september 2019 dengan status usulan DPR. Statment DPR ketika memasukan ke dalam proglenas secara gaib itu di dasari oleh undang-undang tersebut dinilai masuk ke dalam kategori kumulatif terbuka, yakni sebagai tindak lanjut atas Putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017. Kalau di lihat pada pasal 23 ayat (1) UU Pembentukan Perundang-undangan memang disebutkan bahwa dalam Prolegnas dapat dimuat daftar kumulatif terbuka yang dibuat berdasarkan pada:

a. Pengesahan perjanjian internasional tertentu;

b. Akibat putusan mahkamah konstitusi;

c. Anggaran pendapatan dan belanja negara;

d. Pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah provinsi dan/atau kabupaten/kota;

e. Penetapan/pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang;

Akan tetapi, dalam konteks tindak lanjut atas putusan MK misalnya, harus ada syarat-syarat yang mesti dipenuhi agar suatu undang-undang layak disebut sebagai bentuk tindak lanjut atas putusan MK. Syarat itu diantaranya, pertama, harus dicantumkan dalam bagian konsideran bahwa undang-undang yang dibentuk adalah bentuk tindak lanjut dari putusan MK. Kalau itu yang menjadi dasarnya maka jelas hal itu sudah memang mengada-ngada. Bagaimana tidak, UU tersebut tidak memasukan sama sekali frasa “tindak lanjut dari putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017 ” di bagian konsideran.

Dengan demikian, maka sulit untuk mengatakan bahwa KPK pasca Revisi undang-undang akan melaksanakan kewenangannya sesuai koridor dalam pemberantasan korupsi. Selain dengan adanya bukti kuat, masuknya lembaga KPK ke wilayah rumpun eksekutif, dan adanya dewan pengawas bukti yang cukup untuk mengatakan bahwa KPK tidak akan bekerja secara efektif. Jika kita telisik dalam Undang-Undang KPK No.30 Tahun 2002 tentang KPK. Sebelum perubahannya. dimana, pada pasal 12 A yang mengatur dengan eksplisit terkait dengan kewenangan dan fungsi dalam melakukan penyelidikan terbilang sangat independen tanpa harus ada campur tangan dewan pengawas. Kedua, dalam Undang-Undang tersebut pada pasal 3 menyebutkan bahwa KPK bekerja tanpa adanya pengaruh dari kekuasaan atau lembaga lainnya karena KPK bersifat indipenden. 

Namun, pasca Revisi mengalami perubahan bahwa KPK masuk ke wilayah atau rumpun eksekutif. Frasa “kekuasaan eksekutif” secara tidak langsung menyebabkan KPK masuk ke dalam rumpun lembaga eksekutif. Dengan demikian, maka KPK bukan lagi menjadi lembaga yang independen melainkan memiliki tanggung jawab secara vertikal kepada lembaga eksekutif diatasnya yaitu presiden dan wakil presiden sehingga eksekutif dia atasnya punya pengaruh besar terhadap kelembagaan KPK dan melunturkan sikap independensi penegakan hukum di KPK.

Pegawai KPK akan berstatus sebagai Aparatur Sipil negara (ASN). Akibatnya independensi pegawai menjadi hilang karena harus tunduk pada ketentuan yang dibuat oleh Kementerian yang menangani urusan aparatur sipil negara. Hilangnya independensi KPK dalam merekrut penyidik dan hilangnya kewenangan KPK mengangkat penyidik independen. Terganggunya independensi KPK melakukan penyadapan karena harus terlebih dahulu memperoleh izin dewan pengawas. Padahal independensi KPK melakukan penyadapan selama ini terbukti berhasil membongkar kasus-kasus korupsi yang berujung pada operasi tangkap tangan dan diputus bersalah. Jelas, Hilangnya independensi KPK dalam melakukan penuntutan karena dalam penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung.

Maka perlu adanya rekonsiliasi terhadap KPK sebagai bentuk pertanggung jawaban dan keseriusan Negara dalam menangani pemberantasan Korupsi. Legislatif dan eskekutif haurusnya juga mempertimbangkan hak Partisipatif warga negara dan para akademisi, tidak dikalahkan oleh Ego politik. Bagi saya, memang sulit untuk menyucikan diri sedang, berwudhu memakai air kencing. Bagaimana, mau melakukan pemberantasan Korupsi secara serius jika Undang-undang nya memperlemah Lembaga KPK itu sendiri.  Wakil ketua KPK juga berstatment Kemarin Di DPR bahwa selama ini dia mengaku bahwa sebagai Pimpinan KPK tidak bisa di pungkiri bahwa mereka telah gagal menjalani Tugasnya.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun