Mohon tunggu...
Faisal Ramadhan Munsil
Faisal Ramadhan Munsil Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa Pascasarjana Magister Hukum Universitas Islam Indonesia

Aku tidak menyukai pendapatmu, tapi aku akan membela mati-matian Hak-mu dalam berpendapat -Volitaire

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Menakar Politik Gentong Babi dalam Arena Pertarungan Pilkada

3 Juni 2024   13:57 Diperbarui: 3 Juni 2024   14:46 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

OPINI- Dalam waktu belakangan ini, sikap politik pemerintah baik dari kebijakan maupun programnya banyak melahirkan dinamika, terlebih dalam dinamika pemilu kemarin. Tentang politik gentong babi ala jokowi. Sebelumnya, penulis ingin menuliskan terlebih dahulu pengertian terkait dengan istilah Pork Barrel Politics atau biasa dikatakan Politik Gentong Babi. 

Hal tersebut belum mempunyai pengertian konkret dalam literatur-literatur indonesia atau bahkan susah di dapatkan. Namun saya coba meminjam pengertian yang di kemukakan oleh Susan carol seorang pakar ilmu politik asal amerika yang mengemukakan bahwa politik gentong babi adalah; usaha petahana dalam mempertahankan kekuasaannya.

Pengertian tersebut dalam belakangan ini semakin menemukan konteks nya, dalam pemilu 2024 kemarin yang diawali dengan dramatis di akhiri dengan tragis. Hal tersebut di dasari oleh MK yang saat itu di Pimpin oleh anwar usman yang kebetulan juga mempunyai hubungan keluarga dengan Gibran Menetapkan putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang secara substansi meloloskan gibran rakabuming pada pertarungan pilpres.

Banyak pakar hukum dan politik yang menilai, Hal tersebut tidak terlepas dari peran Presiden jokowi yang cawe-cawe dengan tujuan ingin mempertahankan kekuasannya lewat anaknya yakni gibran rakabuming raka. Hingga pada saat itu, gibran mendapat julukan dari media internasional yaitu; Baby Nepo. 

Tentu pasca putusan itu keluar, melahirkan dinamika baik di kalangan elitis maupun masyarakat. Menurut Denny " Hasil dari Putusan Nomor 90 tersebut terindikasi merupakan hasil kerja yang terencana dan terorganisir, planned and organized crime". karena di dasari dengan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang menyatakan bahwa anwar usman terbukti melanggar kode etik.

Kaburnya elektabilitas Prabowo -- gibran saat itu, pork barrel politics atau politik gentong babi menjadi pilihan yang instan untuk kembali mengambil hati masyarakat. Bagi-bagi bansos di depan istana adalah bentuk nyata dari politik gentong babi. Sebenaranya hal tersebut sudah lama di terapkan oleh rezim sebelumnya, yakni SBY pada kala itu dengan menggunakan pola yang sama dengan hasil popularitas SBY kembali naik setelah sebelumnya habis di salib megawati. 

Perlu kita refleksikan, bagi-bagi bansos di depan istana negara adalah hal yang cukup menjanggal karena yang pertama, tidak tepat sasaran. Yang kedua, APBN yang di gelontorkan terbilang cukup fantastis. Bayangkan, angka nya hampir sama dengan Bantuan yang di gelontorkan saat pandemi covid kemarin. 

Sehingga, kita wajar menduga hal tersebut hanya menjadi program dan kebijakan yang bersifat populis dengan kepentingan terselubung di dalamnya.  Hal tersebut memang secara hukum susah di yakini bahwa terjadinya pelanggaran. Namun secara etika politik jelas hal ini bermasalah.

Tetapi, kali ini penulis hanya memberikan gambaran umum yang mencuat pada pemilu kemarin, tidak ingin terlalu jauh masuk kepada problematika tersebut. Mengingat Prabowo-Gibran sudah menjadi Presiden dan Wakil presiden terpilih 2024-2029. Penulis ingin  membawa konteks politik gentong babi ke dalam arena pertarungan Pilkada secara spesifik, yang sebentar lagi pertarungan itu kembali di mulai di tiap daerah.

Politik Gentong Babi adalah hal lazim juga terjadi dalam pemilihan kepala daerah. Mengutip Leo Agustino Oneil, dalam bukunya yang berjudul "Pilkada dan dinamika politik Lokal" yang ,menyatakan 'all politics is Local'. Artinya, demokrasi nasional akan tumbuh berkembang dengan mapan dan dewasa apabila nilai-nilai demokrasi di tingkat lokal sudah berakar dengan baik terlebih dahulu. Melihat dinamika politik lokal di tiap daerah masih jauh dari kata dewasa dalam menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.

Bagaimana tidak, hampir tiap pejabat petahana daerah di masa menjelang pilkada, tiba-tiba mengeluarkan program dan kebijakan yang bersifat populis untuk mengangkat kembali kredibilitas diri sendiri yang berimbas kepada komponen belanja meningkat, yang berarti potensi terjadi defisit anggaran. 

Anggaran publik yang di gunakan dalam kampanya terselubung  ini bak pisau bermata dua. Di sisi lain menguntungkan bagi sekelompok masyarakat ke bawah tapi secara bersamaan tidak begitu produktif sama sekali. Adapun program populis yang menyangkut kepentingan publik tergambar dari hasil riset Power, Walfare and Democracy (PWD) di tahun 2014 hasil risetnya menunjukkan program terkait dengan Pelayanan publik 55% di samping pembangunan ekonomi 28%, Hak kewarganegaraan 14% dan lain-lain 3%.

Untuk pelayanan publik saya menduga persenan nya akan terus meningkat karena itu, program mudah yang di buat petahana di daerah. Saya beri contoh kasus yang kerap terjadi; yakni pelayanan kesehatan gratis. Pelayanan kesehatan gratis dengan memukul rata tanpa memandang stratifikasi ekonomi, masyarakat yang tergolong kelas atas yang sebenarnya mampu untuk membayar biaya kesehatan, jadi ikut dalam mendapatkan pelayanan gratis. 

Apa pentingnya itu semua bagi petahana yang hanya ingin mendapatkan popularitas semata untuk mempertahankan kekuasaan berikutnya. Jelas hal tersebut tidak Fair dalam pertarungan malah mengunggulkan petahana dalam pemilihan kepala daerah, bahkan tidak perlu mengularkan dana pribadi atau melakukan money politik. Ironisnya, memakai dana publik yang di dapat dari pajak kita.

Seharusnya, ada Undang-Undang yang mengawasi terkait dengan  politik gentong babi ini, karena akan berimbas pada sistem demokrasi yang kehilangan substansinya sebagai bentuk kedaulatan berada di tangan rakyat, justru akan menjadikan pembodohan massal mengatasnamakan pro-rakyat untuk menjaga kekuasaanya. 

Mengklaim program populis seperti pelayanan kesehatan gratis dan pendidikan gratis, yang seharusnya itu urusan program pemerintah secara nasional bukan daerah. Dampaknya lagi, kurangnya calon figur yang muncul dengan membawa gagasan dalam membangun daerah tanpa memperhitungkan modal besar, tidak dapat bertarung dalam arena pertarungan pilkada walaupun itu jauh lebih krusial dan layak. 

Harusnya politik gentong babi di sama haramkan dengan money politik dalam pilkada, karena itu harus di masukkan dalam undang-undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum atau aturan yang secara spesifik mengatur politik gentong babi yang semakin masif terjadi sebagai bentuk pengawasan. Dengan tujuan kedewasaan yang mapan dalam beretika politik untuk menjaga nilai-nilai demokrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun