Terdakwa kasus korupsi Surya Darmadi divonis 15 tahun penjara. Vonis dibacakan pada sidang hari ini, Kamis (23/2/2023).
Selain vonis, Surya Darmadi juga dijatuhi pidana uang pengganti Rp 2,2 triliun dan kerugian ekonomi Rp 39,7 triliun subsider 5 tahun penjara. Maka total nilai ganti rugi yang bisa 'ditukar' dengan kurungan badan ini mencapai Rp 41,9 triliun.
Uang Rp 2,2 triliun itu merupakan kerugian negara akibat tindakan korupsi. Sedang nilai Rp 39,7 triliun merupakan kerugian perekonomian negara yang muncul akibat perusakan lahan dan imbas lainnya.
Menyatakan terdakwa Surya Darmadi telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang sebagaimana dalam dakwaan kesatu primair dan ketiga primair. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Surya Darmadi dengan pidana penjara selama 15 tahun dan denda Rp1 miliar. Menjatuhkan pidana uang pengganti sebesar Rp2,2 triliun dan Rp39,7 triliun subsider lima tahun penjara," ujar Ketua Majelis Hakim Fahzal Hendri saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat
Hakim turut mempertimbangkan keadaan yang memberatkan dan meringankan dalam menjatuhkan putusan ini. Hal memberatkan adalah tindakan Surya tidak membantu program pemerintah dalam memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. Perkebunan kelapa sawit Duta Palma belum menerapkan plasma kemudian terjadi konflik antara perusahaan dengan masyarakat setempat.
"Sedangkan hal meringankan sudah lanjut usia, bersikap sopan selama persidangan, dalam kegiatan perkebunan perusahaan terdakwa melaksanakan CSR, membantu karyawan, membangun sekolah, tempat ibadah, membantu biaya pendidikan. Mempekerjakan 21 ribu karyawan," ujarnya.
Surya dinilai terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 Jo Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Kemudian Pasal 3 ayat 1 huruf c UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) serta Pasal 3 UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Vonis ini lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum yang ingin Surya dipidana penjara seumur hidup dan denda sebesar Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan.
Sebelumnya, kasus Surya Darmadi disebut sebagai kasus korupsi terbesar di Indonesia. Kerugian negara disebut mencapai Rp100 triliun.
Kasus ini bermula ketika Bupati Indragiri Hulu tahun 1999-2008 Raja Thamsir Rachman menerbitkan izin lokasi dan izin usaha perkebunan (IUP) kepada empat perusahaan PT Duta Palma Group.
Keempat perusahaan tersebut adalah PT Banyu Bening Utama pada tahun 2003, seta PT Panca Argo Lestari, PT Palma Satu, dan PT Sebrida Subur pada tahun 2007.
Perizinan itu berada di lahan kawasan hutan yakni di hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK), hutan penggunaan lainnya (HPL) maupun hutan produksi terbatas (HPT) di Kabupaten Indragiri Hulu.
Kendati demikian kelengkapan perizinan lokasi dan usaha perkebunan dibuat secara melawan hukum tanpa adanya izin prinsip dengan tujuan agar izin pelepasan kawasan hutan bisa diperoleh.
sampai saat ini PT Duta Palma Group tidak memiliki izin pelepasan kawasan hutan atau HGU.
Tak hanya itu, PT Duta Palma Group juga tidak pernah memenuhi kewajiban hukum untuk menyediakan pola kemitraan sebesar 20 persen dari total luas areal kebun yang dikelola.
Para hakim, jaksa, polisi harus berani membaca teks hukum dengan makna yang lebih luas secara progresif, yaitu menempatkan pada konteks sosial dan tujuan sosial masa kini.Â
Tidak sedikit teks undang-undang yang malah bisa mengganggu rasa keadilan di masyarakat apabila tidak dibaca dan dimaknai secara progresif.Â
Atas kenyataan itulah disadari benar oleh pembuat undang-undang di negeri ini sehingga diberlakukan UU pasal 2 ayat 1 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1)yang menentukan bahwa (1) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilanyang hidup dalam masyarakat.
Laporan penelitian M. Syamsuddin menyatakan bahwa pola pikir yang bercorak positivistik dan yang non-positivistik pada tatanan praksisnya melahirkan kecendrungan hakim yang berbeda dalam melakukan pemaknaan atau penafsiran hukum dalam memutus perkara korupsi.Â
Hasil penelitian membuktikan tipe pertama adalah tipe hakim tekstual dan tipe keduaadalah tipe hakim yang kontekstual. Implikasinya sering kali hakim tipe pertama menjadi sulit atau gagal dalam membuktikan unsur-unsur tindak pidana korupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H