“Mengapa?” mereka serempak bertanya.
Barjo diam.
“Bukankah kakekmu, sudah tua renta,
tak berdaya melawan penjajah?”
Bastomi serba ingin tahu.
“Aku tak takut perang. Aku berani mati.”
“Lantas?”
“Aku lebih takut jika ayah
memukuli ibu lagi. Dan hanya
kakek yang bisa mendinginkan ayah.”
Kenaifan anak-anak, sebagaimana Barjo di atas, dikemas dengan anti-mainstream,seperti bigkisan dari setan. Abu Wafa berusaha menyampaikan sindiran sinis melalui pengetahuan anak-anak yang lugu. Ia menawarkan nostalgia psikologis: kemurnian manusia sebelum benar-benar dimasuki “pagar-pagar” kehidupan. Jika membacanya ada dua kemungkinan yang terjadi, antara terhibur dan miris. Sebuah ironi yang unik karena menyatu secara habis-habisan dengan cara memasuki kembali bagaimana cara seorang anak berpikir. Sebagaimana kata Maman S. Mahayana dalam Epilog CMA bahwa Abu Wafa lesap menjadi “aku” lirik seorang bocah.