Mohon tunggu...
Faisal L. Hakim
Faisal L. Hakim Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Penikmat harmoni

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cara Menghitung Anak

27 Oktober 2016   17:23 Diperbarui: 29 Oktober 2016   23:41 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Mengapa?” mereka serempak bertanya.

Barjo diam.

“Bukankah kakekmu, sudah tua renta,

tak berdaya melawan penjajah?”

Bastomi serba ingin tahu.

“Aku tak takut perang. Aku berani mati.”

“Lantas?”

“Aku lebih takut jika ayah

memukuli ibu lagi. Dan hanya

kakek yang bisa mendinginkan ayah.”

Kenaifan anak-anak, sebagaimana Barjo di atas, dikemas dengan anti-mainstream,seperti bigkisan dari setan. Abu Wafa berusaha menyampaikan sindiran sinis melalui pengetahuan anak-anak yang lugu. Ia menawarkan nostalgia psikologis: kemurnian manusia sebelum benar-benar dimasuki “pagar-pagar” kehidupan. Jika membacanya ada dua kemungkinan yang terjadi, antara terhibur dan miris. Sebuah ironi yang unik karena menyatu secara habis-habisan dengan cara memasuki kembali bagaimana cara seorang anak berpikir. Sebagaimana kata Maman S. Mahayana dalam Epilog CMA bahwa Abu Wafa lesap menjadi “aku” lirik seorang bocah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun