Mohon tunggu...
Faisal L. Hakim
Faisal L. Hakim Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Penikmat harmoni

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Gaya Rambut dan Subjektivitas Kepala

26 Mei 2016   14:45 Diperbarui: 27 Mei 2016   00:14 904
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: hairstyle-designs.com

Makan hati. Sekali lagi saya harus relakan ilmu yang saya pelajari berbuah perang dingin. Saya punya peralatan tajam yang bisa saja merobek urat nadi. Tapi mereka punya senjata penumpul perkakas tajam yang saya miliki.

Bayangkan, setahun lebih dua belas hari saya berlatih menggunakan senjata. Gunting. Mulai dari memegang, menggerakkan ibu jari, menduetkannya dengan suri, dan menggasak rambut orang-orang dekat saya yang tak jarang berakhir dengan umpatan geli.

Bahwa kemampuan dan kesaktian saya tidak berlaku justru bagi lawan yang awam. Yang memiliki pandangan dan referensi aneh tentang gaya rambut.

Memang, saya percaya bahwa rambut adalah organ vital manusia. Bicara keindahan, salah satunya kau akan menemukannya di sana. Di setiap helainya adalah pundi-pundi estetika. Tentu saja tidak begitu saja adanya, namun pastikan setiap helai rambutmu jatuh ke pemilik gunting dan suri yang tepat.

Rambut mungkin bukan prioritas utama saat ini, tapi percayalah, bahwa pada akhirnya nanti engkau akan berada pada titik di mana rambut menjadi pusat perhatianmu. Ya, estetika, saya tahu kau sudah menebak sebelumnya. Bahwa estetika adalah tahap tertinggi dari sebuah proses.

Jika telah melakukan apa yang seharusnya, maka kau akan melakukan yang sepantasnya, selanjutnya kau akan melakukan yang selarasnya. Keselarasan adalah penyatuan. Semacam harmoni. Sangat indah. Jika di musik, Mozart adalah contoh yang baik.

Maka tak heran bahwa beberapa pemain bola dunia menjadi kiblat gaya rambut dunia. Salah satunya adalah David Beckam. Letak keindahan Beckam tidak hanya di skill bermain bolanya, tetapi juga di dalam sosok raganya, maksud saya rambutnya. Atau Zain Malik, musisi ganteng itu, dengan rambut spike-nya boleh juga jadi contoh.

Tidak ingin terlalu lebar membahas potensi estetika rambut. Kalau dijelaskan, ujung-ujungnya kau akan kubawa ke hayalan yang tak pernah habis. “Hingga bila-bila”, kata sastrawan Melayu kuno.

Barbershop Menjamur

Kita tahu betapa menjamurnya barbershop saat ini. Polesan interior ala Perng Dunia II hingga model satanic ala neraka-nerakaan gitu. Tak jarang, tempat-tempat pemotong bulu tersebut disandingkan dengan kafe berlampu kekuning-kuningan.

Referensi-referensi yang dibawa pun impor. Jika dulu kita puas dengan model kuncung, cepak, dan rapi, maka sekarang model-model begitu sudah terlalu usang. Kecuali ada faktor-faktor tertentu, misalnya seorang aparat yang wajib punya kepala kotak. Dalam hal estetika tubuh, inilah kategori “seharusnya.”

Itulah barbershop,tempat cukur pria yang menjual tren gaya masa kini dengan prinsip “keluar dari barber konsumen menjadi lebih ganteng”. Namun, hak prerogratif konsumen adalah segalanya, bukan?

Mengikuti estetika kepala impor dari eropa, perubahan sosial-budaya pun terjadi. Tapi tidak masalah, keindahan memang harus diperjuangkan secara terbuka nan dinamis.

Permasalahannya, mencapai puncak keindahan tidak segampang membalik telapak tangan. Saya sudah katakan, sebelum mencapai “selarasnya”, bicara estetika, lampaui dulu “seharusnya” dan “sepantasya”.

Lantas, jika contoh kategori manusia dalam konteks estetika tubuh yang “seharusnya”, seperti, maaf, kepala kotak aparat, maka kelompok “sepantasnya” lebih dalam, yaitu menyertakan unsur proporsional bentuk kepala. Misalnya, kepala benjo(cekung) di daerah belakang agak ke atas kepala, maka area situ lebih pantas tidak terlalu tipis rambutnya.

Kekurangan kategori “sepantasnya”, adalah tidak mengenal gaya dan tren. Yang penting pantas, ya sudah. Namun, tak jarang juga, beberapa orang di dalam kategori ini pantas dengan gaya rambut yang ada dalam referensi keilmuan rambut, lantaran bentuk kepala, wajah, dan tipe rambutnya yang proposional dari lahir. Saya pikir itu anugrah Tuhan yang harus disadari.

Berbeda dengan kelompok terakhir, yaitu kategori “selarasnya”. Kelompok tersebut sadar akan harmoni. Ya, “harus”, “pantas”, dan “indah”. Ketiga unsur tersebut nyatanya memang bisa diimplementasikan secara bersamaan. Apa dan bagaimanapun bentuk kepala dan tipe rambutnya. Namun tidak mudah, ada beberapa sayarat yang harus dilewati untuk menuju keselarasan: low ego,dinamis, dan tentu saja keselarasan antara hati dan pikiran.

Mengapa potong rambut menjadi begitu rumit? Mungkin itu pertanyaan yang baik. Tetapi, dari situ tercermin cara pandang kehidupan seseorang. Apakah orang tersebut naif atau visioner dan dinamis. Artinya, subjektivitas ketika potong rambut harus ditekan sembari diimbangi implementasi harmoni hati dan pikiran. Satu lagi, pengetahuan.

Cara Pandang

Saya sendiri hanyalah kapster yang jauh dari justifikasi pro.Namun saya tahu bagaimana seharusnya, sepantasnya, dan selarasnya rambut diolah.

Tak jarang, hingga kini masih sering adu mulut dengan beberapa pelanggan. Namun, ya begitu, saya selalu mengalah. Rupanya mereka tidak takut kalau saya pegang benda tajam. Mereka punya uang.

Beberapa orang memiliki cara pandang tradisional, beberapa lainnya modern, dan beberapa juga anti-mainstream.

Saya tidak menyukai semuanya. Sebab, bagi saya, gaya rambut ideal adalah yang selaras. Kalau dengan tradisional lebih selaras, kanapa dipaksa moderen? Jangan berpikir bahwa pandangan saya kategori “sepantasnya”. Ini beda. Sebab, penautan saya terhadap rambut lebih kepada estetikanya yang tentu saja membawa kepantasan dengan sendirinya.

Subjektivitas dan cara pandang memang berpotensi konflik jika tanpa diimbangi kedinamisan, keselarasan hati dan pikiran, dan pengetahuan.

Beberapa orang datang dengan subjektivitas terlalu akut untuk kepalanya. Ilmu yang saya pelajari pun ditolak. Penawaran tulus saya pupus. Saya bisa apa?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun