Mohon tunggu...
Faisal L. Hakim
Faisal L. Hakim Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Penikmat harmoni

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

010 dan Pacar-pacarnya

24 April 2016   10:08 Diperbarui: 26 April 2016   07:03 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

010

Sungguh manjur anjuran teman saya waktu itu, “Jika kamu ingin dapat perempuan cantik kayak artis di teve-teve, gampang, jadilah aparat” katanya waktu itu. Ya, kira-kira lima tahun lalu ketika saya masih duduk di bangku SMA kelas dua.

Sungkan juga sebenarnya saya bercerita, tetapi mungkin, cerita saya akan menjadi inspirasi bagimu yang kesulitan memperistri perempuan sesuai dengan harapanmu, tentunya jika masih punya kesempatan untuk seleksi dan lolos menjadi aparat negara.

Saya tidak ngganteng-ngganteng amat. Buktinya, waktu SD sampai lulus SMA saya tidak pernah punya gandengan seperti teman-teman. Saya selalu sulit mendapatkan perempuan idaman saya. Saya jones menahun.  Sudah hampir putus asa.

Setelah lulus SMA saya teringat ucapan teman saya tadi. Saya pikir-pikir dulu. Dan akhirnya sepakat dengan sarannya. Bukan tanpa alasan, saya riset dahulu. Melihat tetangga kanan-kiri yang memiliki suami aparat. Meski rata-rata sudah usia kepala tiga, mereka cantik-cantik.

“Bagaimana, terbukti, kan, ucapanku?” ujar temanku beberapa hari setelah saya meminang bunga desa.

“Ya, berkat kau, saya rela mengingkari janji saya sendiri untuk tidak menjadi aparat.”

Resti dan Vina

Hari-hariku saat ini penuh dengan buaian. Mulai dari teman-teman kampus hingga teman-teman di Karang Taruna kampungku, memujiku. Betapa tidak, aku kini memiliki kekasih berpangkat dari pulau sebarang.

Ia masih seminggu di sini. Buah dari usahaku mondar-mandir di depan kamp pelatihan. Nyangkut juga parasku kepadanya. Tak rugi aku merawat diri. Bersaing dengan gadis-gadis desa lain, termasuk temanku sendiri, Vina. Betapa bahagianya bersanding dengan seorang aparat.

Tidak mudah untuk mendapatkannya. Aku harus bersaing dengan Vina, teman karibku. Sempat minder pula. Vina cantik. Tak kalah denganku. Ia seorang biduan. Suaranya bagus. Dan hanya rela dijamah oleh cowok-cowok militer. Vina kenal dia dari bbm. Entah bagaimana.

Aku berkorban dari materi hingga perasaan untuk merenggut perhatiannya. Bukan tanpa alasan, bayangkan, betapa romantisnya ketika saya mengantar suami di bandara ketika ia mau berangkat perang. Atau stasiun. Atau terminal. Lalu ia mencium keningku. Dan terabadikan di foto. Romantisme itu, begitu indah. Layaknya film-film Perang Dunia II. Atau novel-novel latar kolonial.

Pun akhirnya persahabatan kami merenggang. Vina yang menjadi teman sejak kecil terpaksa kusakiti. Salahkanlah cinta, salahkanlah takdir, Vin!

Aku coba untuk meminta maaf kepada Vina setiap hari, bagaimanapun ia sahabatku, namun ia selalu menghindar, “maaf res, aku terburu-buru,” katanya waktu terakhir kami berpas-pasan di kampus.

Kucoba kirim pesan bbm kepadanya, “Vin, maafin aku”, di-R pun tidak. Ternyata di-D lebih menyakitkan.

Tak kusangka, sakitnya tidak berhenti di situ. Pada akhirnya Vina menunjukkan betapa ia juga menyandang status yang sama denganku: pacarnya. Dengan durasi yang sama pula: hampir sembilan bulan. 

010

Jauh dari isteri adalah pengalaman baru bagi saya. Betapa cantiknya ia hingga saya rela menjadi seorang abdi negara untuk mendapatkannya. Dan, betapa cinta kami terestui semesta alam tatkala ia rela meninggalkan pacarnya yang sudah tiga tahun bersamanya. Jodoh memang tidak ke mana.

Namun setelah di tempat baru ini, betapa pula saya sangat butuh sentuhan nyata seorang perempuan. Bukan hanya suara, atau ketikan pesan pendek isteri saya yang indah. Lagi pula, hati saya hanya untuknya. Bukan yang lain.

Saya baru rasakan betapa mudahnya mendapatkan perempuan cantik. Bahkan, tidak perlu mencari. Nyata saja, siapa juga yang bodoh dan tega membiarkan orang terjamin masa depannya seperti saya, kesepian di tanah rantau.

Buktinya, seminggu setelah kedatangan saya di pulau ini sudah ada yang menawarkan cinta kepada saya. Tidak tanggung-tanggung, dua mahasiswi cantik di salah satu universitas swasta di sini. Ya, saya pantas mendapatkannya. Kalau bisa dua, kenapa harus satu. Toh, keduanya tak akan mendapatkan hati saya yang sudah dimiliki Diana.

Diana

Setiap detik saya tak habis-habisnya merinduinya. Seorang yang telah berhasil merebut hatiku yang sudah kujanjikan pada kekasihku dulu.

Memang, selain harapan orang tua, menjadi isteri seorang berpangkat adalah keinginan hati kecilku. Betapa bahagiannya saya memilikinya. Tak peduli betapa sakitnya ia yang kutinggalkan. Sudah menjadi wajar dan lumrah di mana ada kebahagiaan harus ada yang dikorbankan. Ya menyakitinya, ya menerima sumpah serapahnya. Saya memang pantas mendapatkannya.

Namun, yang harus saya khawatirkan untuk ke depannya, adalah merelakan suami saya pergi menjalankan tugas di luar pulau. Saya sendiri, di rumah seperti saat ini, sudah saya pikir sebelumnya. Resiko menjadi isterinya. Hatta, terjadi juga kecemasan itu. Belum lagi, bicara kesetiaan, saya tidak yakin bahwa kesetiaan sejujur kesan saat kami berpisah dengan lambat. Antara dermaga dan samudra, waktu itu.

Aku

Jika kau menyangkal bahwa sakit hati tidak sesakit sakit gigi, maka aku rela sakit gigi seumur hidup daripada menanggung luka sedemikian dalam. Tanpa bisa dioprasi. Tanpa bisa diapa-apakan lagi.

Luka adalah luka, biarpun senyummu menutupi. Namun kenyataannya, dengan senyum aku bisa menghibur diri. Bahkan, hingga menjadi bahan olok-olok anak kecil di gang-gang kampung. “Orang gila, orang gila, orang gila....” hingga mereka lelah.

Siapa sangka, melalui senyuman, aku bisa merubah benci menjadi pura-pura benci atau pura-pura cinta. Saya mengidap dendam kesumat, atau bisa kau bahasakan cinta kesumat.

Pada siapa lagi kalau bukan Diana. Perempuan sialan yang selalu kucintai. Sampai kini. “Ini bukan pura-pura,” sanggahku pada diri sendiri.

Untuk kali ini perasaanku tidak sepihak, sebagaimana ia memilih laki-laki keparat itu dan meludahiku begitu saja. Aku menduga ia telah menyesal sedemikian rupa sampai akhirnya ia mengirim pesan singkat kepadaku, “aku kangen kamu, mas.”

Duh Gusti, betapa senyumku kepada alam membuahkan hasil. Biarpun diiringi tangisan sesal dan sakit yang mendalam. Ia ternyata masih merindukanku.

“Begitu juga denganku, dek”, singkat saja.Untuk selanjutnya, kami tidak lagi berbalas pesan singkat, tapi bertukar suara, menuju ke sentuhan, menuju pelukan, dan menuju cakrawala cinta.

010

Beberapa bulan lagi saya pulang. Sudah rindu isteri. Apalagi, akhir-akhir ini kami jarang komunikasi. Entah mengapa, malas saja rasanya. Tapi begitu tugas saya di sini hampir berakhir, kerinduan itu muncul tiba-tiba. Saya membayangkan, isteri saya sekarang tambah cantik, lebih matang. Ya, saya ingin memeluknya erat.

Aku

Cinta kami tak terbantahkan. Dalam konteks ini, terkadang aku tidak percaya bahwa jodoh pasti tepat sasaran. Kupikir, jodoh adalah ketika cinta sejati seperti yang kumiliki bertemu. Meskipun tanpa upacara pernikahan.  

Sialnya, apa yang saya pahami terbantahkan juga. Alih-alih aku bahagia, aku sekarat ketika mendengar keparat itu mau tiba. Pasti Diana akan kembali kepadanya. Bukan hanya tubuhnya yang aduhai, melainkan juga hati dan jiwanya. Lalu aku, lenyap begitu saja.

Diam-diam aku pergi. Dan tak akan kembali. Daripada makan hati. Mati berkali-kali.

Diana

Jika kau bertanya bagaimana kabar saya hari ini, dengan maksud bahwa apakah saya riang dan bahagia menunggu kedatangan suami pulang dari tugas, maka saya jawab, tidak!

Sejujurnya hatiku sudah terenggut oleh kekasihku. Yaitu dia yang seharusnya tak kutinggalkan demi dirinya.

Sementara kini, beberapa hari lagi, suamiku pulang. Saya tidak tahu harus bagaimana. Terhimpit dalam puing-puing tajam tak berbelas kasihan. Saya tak pernah menyangka cinta sesakit ini. Film-film dan novel-novel tentang kerinduan seorang isteri menanti suaminya pulang perang hanyalah bulshit belaka. Setidaknya begitu yang kurasakan.

Bahkan, ketika mereka berhiperbola seperti “o Tuhan, betapa penantian adalah musibah para perindu stadium akhir” saya kira tak lebih dari dusta yang dibenar-benarkan.

010

Rumah itu terlihat. Tak asing bagi saya. Bahkan, dari jarak puluhan kilo, saya bisa mencium bau selokannya. Bau pesing tikus sudut-sudutnya. Juga bau sambal trasi yang dibuat oleh isteri saya.

Langkah saya semakin cepat. Ransel puluhan kilo di punggung semakin tidak terasa bebannya. Tinggal beberapa langkah lagi saya sampai di depan pintunya. Sudah tak sabar melihat ia membuka pintu sembari menampakkan cekung pipi yang menghiasi senyummnya.

“Assalamualaikum...” saya ketuk pintu itu. Satu dua kali tak berbalas. Sunyi. Terhnyak saya ketika ada sahutan, “waalaikumsalam..” suaranya sedikit lirih. Tepat di belakang saya.

Saya terpaku, terdiam sebantar. Tanpa menolehnya. “Bukan suara itu yang kuharapkan,” batinku. Pelan-pelan saya memutar badan. Terlihat seorang separuh baya. Tetangga sebelah pemilik toko kelonthong.

“ Mas Aryo?” Sapa perempuan itu.

“Oh, ibu, iya saya. Baru pulang dari tugas.”  Sahutku.

Perempuan itu memberi jawaban sunyi. Saya melanjutkan, “hmm... saya ketuk pintu dari tadi, tapi nggak ada jawaban. Ibu tahu isteri saya di mana?”

Ia menceritakan dari awal hingga akhir. Begitu dramatis. Diam-diam mata saya meneteskan air. Membasahi pipi kanan lalu kiri. Besok sudah tujuh harinya.

 

 

Surabaya 2016

 

 

 

Cerita ini hanya fiksi dan rekaan belaka. Apabila ada kesamaan peristiwa atau kejadian, itu hanya kebetulan.

Keterangan: 010—gaya rambut yang bagian samping kepala memakai clipper tanpa sepatu dan bagian atas memakai sepatu ukuran satu.

 

 

Cerpen ini juga diterbitkan di blog sastra www.sarbikita.blogspot.co.id[caption caption="Sumber Gambar: www.pulsk.com"][/caption]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun