010
Rumah itu terlihat. Tak asing bagi saya. Bahkan, dari jarak puluhan kilo, saya bisa mencium bau selokannya. Bau pesing tikus sudut-sudutnya. Juga bau sambal trasi yang dibuat oleh isteri saya.
Langkah saya semakin cepat. Ransel puluhan kilo di punggung semakin tidak terasa bebannya. Tinggal beberapa langkah lagi saya sampai di depan pintunya. Sudah tak sabar melihat ia membuka pintu sembari menampakkan cekung pipi yang menghiasi senyummnya.
“Assalamualaikum...” saya ketuk pintu itu. Satu dua kali tak berbalas. Sunyi. Terhnyak saya ketika ada sahutan, “waalaikumsalam..” suaranya sedikit lirih. Tepat di belakang saya.
Saya terpaku, terdiam sebantar. Tanpa menolehnya. “Bukan suara itu yang kuharapkan,” batinku. Pelan-pelan saya memutar badan. Terlihat seorang separuh baya. Tetangga sebelah pemilik toko kelonthong.
“ Mas Aryo?” Sapa perempuan itu.
“Oh, ibu, iya saya. Baru pulang dari tugas.” Sahutku.
Perempuan itu memberi jawaban sunyi. Saya melanjutkan, “hmm... saya ketuk pintu dari tadi, tapi nggak ada jawaban. Ibu tahu isteri saya di mana?”
Ia menceritakan dari awal hingga akhir. Begitu dramatis. Diam-diam mata saya meneteskan air. Membasahi pipi kanan lalu kiri. Besok sudah tujuh harinya.