Mohon tunggu...
Faisal L. Hakim
Faisal L. Hakim Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Penikmat harmoni

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ahok vs Teman Saya

17 April 2016   15:37 Diperbarui: 17 April 2016   21:16 4280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber Gambar: KOMPAS.com/Kurnia Sari Aziza"][/caption]Jika Anda praktisi game sepak bola, PES atau FIFA misalnya, bisa jadi Anda akan sangat bosan jika terus-terusan menang melawan komputer atau seluruh gamers lain yang pernah Anda temui. Sialnya, Anda belum juga terkalahkan. Sudah tidak ada langit di atas Anda!

Saya memiliki teman yang menurut saya sangat yang bermain game bola.  Entah saya yang bodoh, atau memang teman saya yang begitu pandai, kenyataannya saya tak pernah mengalahkannya.

Kami hidup di sebuah desa yang masih menganggap Play Station II  (PS 2) sebagai mainan yang elit dan modern. Sebuah anggapan yang pantas pada waktu itu, mengingat desa saya yang sinyal HP baru masuk. Tahun 2004-an.

Hadirnya PS 2 mengharuskan saya move on dari PS 1. Awalnya masih tidak asik. Terlalu pelan untuk dimainkan. Saya coba balikan ke PS 1, namun sial mata saya menjadi tidak bersahabat. Gambarnya bergetar. Saya menduga karena beberapa hari sebelumnya telah bermain game bola di rental PS 2. Alhasil, saya harus beradaptasi dengan PS 2. Perubahan mutlak untuk diikuti.

Kembali ke teman saya. Ia adalah ikon manusia game. Rental PS yang hanya beberapa di desa dikuasainya. Bukan hanya game bola, tetapi semua game yang tersedia ia jagonya. Terpaksa saya berurusan dengannya karena kehlian bermain game bola saya selalu tumbang olehnya.

Ia adalah sosok yang, maaf, tidak kaya. Di rumahnya, hanya ada teve 14 in yang bahkan tidak bisa untuk dicolokin PS. Artinya ia menjadi jago PS bukan karena punya PS sendiri di rumah. Lantas, bagaimana ia menjadi jago PS itulah pertanyaannya.

Benar saja ia menjadi jagoan game. Setelah saya telusuri dan perhatikan, ia memiliki kedekatan emosional dengan yang punya rental. Tidak sampai di situ saja, ia bahkan memiliki kedekatan dengan para pelanggan rental. Semua rental PS yang ada.

Mudah saja baginya untuk melakukan pendekatan emosional. Dengan bakatnya itu, ia menawarkan jasa untuk memainkan game dari petualangan hingga game jenis olah raga, seperti balapan dan sepak bola. Kurang lebih redaksinya begini, “Gak ngunu maine, ndelok tak maekne, ngene lho.” (Nggak gitu mainnya, sini saya mainin, gini loh).

Dan sialnya, ia selau berhasil. Ironinya, si penyewa PS riang gembira ketika game petualangan yang dimainkan teman saya berhasil melalui rintangan. Nggak sadar, tulisan timer di pojok kiri bawah layar menunjukkan  tinggal 1 menit lagi. Kasihan deh..

Ingin Mengalahkan

Selain game petualangan yang berjenis one player, game-game arcade yang two player pun ia tuntaskan. Sebagai remaja muda yang gemar bermain game, kemampuannya yang luar biasa itu membuat saya sangat bernafsu untuk menumbangkannya. Demi kepentingan saya, saya rela mengeluarkan uang untuk menyewa PS. Dan mengajaknya bertanding. Game bola, kesukaan saya.

Pendek kata saya selalu kalah. Padahal tidak kurang saya berlatih. Dari versus komputer yang paling sulit sampai gamers lain selain dia, sudah saya tumbangkan. Sesekali saya mengalahkannya. Tapi anehnya,  selalu saja saya berpikir bahwa saya menang karena ia bosan lantas mengalah. Atau mungkin kasihan kepada saya.

Orang satu ini membuat saya gerah sepanjang hari. Hingga saat ini saya masih belum bisa puas mengalahkannya secara mutlak.

Ahok VS Teman Saya

Saya menilai antara teman saya dan Ahok tak jauh berbeda. Sama-sama pandai dan berbakat dalam permainan. Bedanya, teman saya bermain PS dan Ahok bermain politik. Namun, polanya juga nggak jauh berbeda, kok.

Jika lawan politik Ahok menghadirkan figur-figur sukses dari daerah lain. Berharap figur-figur tersebut bisa meruntuhkan populeritas Ahok di Jakarta, maka, menurut pengalaman saya nih, itu akan memakan tenaga ekstra.

Maksud saya, semakin pihak lain ingin melawan Ahok dalam perebutan kursi Gubernur, dengan cara menghadirkan jago-jago daerah lain yang lagi naik daun, maka harusnya mudah saja bagi Ahok untuk memenangkannya. Sebagaimana teman saya membuat jengkel saya hingga saat ini.

Saya menilai upaya peruntuhan kepopuleran Ahok oleh lawan-lawannya dirasuki oleh nafsu mengalahkan yang sangat luar biasa. Sebagaimana pengalaman saya ingin menumbangkan teman saya, yang walaupun saya menang tetap tidak puas.

Sayangnya, pemilihan Gubernur kan bukan untuk ajang coba-coba. Berbeda dengan pertandingan PS yang bisa diulang-ulang hingga mata bengkak. Bisa jadi senjata pembukaan kasus RS Sumber Waras dan reklamasi teluk Jakarta menjadi pilihan brilian. Namun tunggu, saya pikir tidak semudah itu.

Komunikasi politik Ahok juga keren. Dengan gaya komunikasi pembuktian terbalik ala Moh. Hatta sebagaimana diungkapkan Effendi Gazhali, Dosen UI, di laman cnnindonesia.com (1/6/2015) memberinya kekuatan argumentasi lugas, meski sedikit kasar.

Tentang korupsi misalnya, Effendi menambahkan, bahwa Ahok selalu mengatakan, “kalau tidak korupsi, tunjukkan dong dari mana penghasilan, apakah sudah bayar pajak dan sebagainya”. Dan model kayak gitu disukai publik yang haus kelugasan. Selain itu, Ahok juga news maker yang baik. Apa pun yang dilakukannya, media menyorotinya.

Saya pikir itu adalah pekerjaan rumah bagi yang ingin melawan Ahok. Semakin bernafsu mengalahkan Ahok, semakin Ahok di atas angin. Jangan berharap bahwa Ahok akan bosan dan mengalah seperti kasus kemenangan pertandingan bola saya versus teman saya.

Oke, sampai sini saya akan jujur kepada Anda bahwa saya tidak memihak siapa pun. Saya juga punya tips buat si Ahok, “Tetaplah tenang dan yakinlah bahwa kemampuan Anda tetap di atas rata-rata. Semakin Anda khawatir akan kekalahan, semakin terbuka peluang Anda untuk kalah beneran. Anda sudah keren. Ini serius.”

Dalam permasalahan ini saya sekali lagi ingin jujur kepada Anda bahwa saya ingin mem­-versus-kan Ahok dengan teman saya. Meski dalam konteks yang berbeda, setidaknya saya pahami politik sebagai permainan juga, yang pada akhirnya tamat ketika misinya selesai. Alih-alih sampai kepada kesejahteraan rakyat, frasa “misi selesai” berhenti kepada duduknya pemain di kursi kekuasaan.

Ya, saya menyimpan dendam kepada teman saya. Dendam itu kini menjelma sebagai kebanggaan karena memiliki teman jago bermain game. Dan, kebanggaan itu memotivasi saya untuk menyaksikan dua sosok hebat bertemu  dipermainan sesungguhnnya.

Saya hanya penasaran. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun