Mohon tunggu...
faisal faliyandra
faisal faliyandra Mohon Tunggu... Dosen - Pendidikan di STAINH Kapongan Situbondo

Sebaik-baiknya manusia ialah manusia yang berdayaguna

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Kecerdasan Sosial Dibutuhkan di Era Disrupsi

18 Juni 2018   17:53 Diperbarui: 19 Juni 2018   03:03 5578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: houseofbots.com)

"Berubah atau Punah, berinovasi atau tertinggal". Sebuah kalimat yang menyatakan kini dunia mengalami guncangan besar, seperti yang diilustrasikan Paul Gilding dan Francis Fukuya dalam bukunya "The Great Disruption". 

Guncangan ini terbentuk akibat konvergensi teknologi informasi, sehingga meregenerasi setiap system yang ada dari bidang ekonomi, politik, social, dan pendidikan. Abad dimana sesuatu yang berbau zaman old diganti dengan zaman now, yang didalamnya terintegrasi dengan digitalisasi.

Inilah era disrupsi yang diyakini telah mempengaruhi setiap perubahan secara fundamental untuk memenangkan persaingan global, dengan tujuan efesiensi penggunaan sumber daya yang ada. Pertanyaan mendasar yang patut untuk untuk diketahui tentang era disrupsi ini.  Apa sih era disrupsi itu? Apa sih akar dari munculnya era disrupsi ini? Apa sih implikasi dari era disrupsi ini? Apa yang harus dilakukan?

ERA DISRUPSI

Kasali (2017) menyebutkan bahwa disruption adalah sebuah inovasi, yang akan menggantikan cara lama dengan cara baru. Perubahan cara lama ke cara yang baru ini terjadi ketika teknologi berevolusi membentuk suatu keefisienan pada masyarakat (Lasmawan, 2018). Saya analogikan era disrupsi ini seperti film Doraemon. Pasti taukan film Doraemon??

Film yang dikarang oleh Fujiko F.Fujio yang berkisah tentang kehidupan anak pemalas yang setiap kehidupannya dibantu oleh seekor robot kucing dari abad ke-22 yaitu Doraemon dengan kantong ajaibnya. Kantong ajaib ialah kantong yang dapat mengambil alat dari abad ke-22 yang serba teknologi untuk membantu kebutuhan Nobita. 

Seperti itulah era disrupsi, era dimana manusia ingin mengambil mengambil sesuatu yang diinginkan di era akan datang untuk digunakan pada era ini  sebagai ke-efesiensi-an atau kebutuhan manusia sendiri. Lasmawan juga menyatakan bahwa disrupsi bukan sekedar fenomena hari ini (today), melainkan fenomena hari esok (the future) yang dibawa oleh para pembaharu ke saat ini (the present).

Perlu dipahami, bahwa ketika kita sudah terlena dengan segala ke-efesiensi-an kebutuhan  yang diperlukan, maka dapat dipastikan itu juga keterpurukan kita secara perlahan. Orang bijak mengatakan hiduplah dengan rasa kecukupan, jangan terlalu berlebihan dalam berprilaku. 

Ketika era disrupsi ini kita terlena dengan kemudahan teknologi informasi dan komunikasi, seperti kantong ajaib Doraemon, tinggal pencet aja semua langsung ada, maka akan timbul dampak negatif yang akan kita alami.

Seperti contoh konkret ketika kita ingin bertemu dengan seseorang, bisa langsung menggunakan Video Call via Whatss App, ketika kita ingin gado-gado tinggal anterin GoJek, ketika ingin belajar ada tutor online, semua tersedia lengkap di depan mata kita tanpa perlu repot-repot untuk BERUSAHA dan BERINTERAKSI SOSIAL dengan orang lain. Dianalogikan seperti pisau, pisau yang tajam akan tumpul juga tidak diasah (BERUSAHA dan BERSOSIAL).

Maka seperti itulah kita jika terlena dengan semua kelimpahan teknologi yang ada, otak kita yang terbiasa dengan berinteraksi secara langsung secara verbal nonverbal, melihat mimik wajah lawan bicara yang tidak dapat dilakukan oleh teknologi (TIDAK DIASAH), maka kemampuan kita bersosial akan terkikis juga. Rasa empati kepada orang lain, selaras dengan orang lain, peduli terhadap orang lain, semua rasa itu perlahan akan hilang.

Untuk itu, bukan hanya medianya (teknologi informasi dan komunikasi) yang harus di upgrade, regenerasi, diperbaharui, tapi perubahan ini harus secara menyeluruh, komperhensif dan fundamental. Pemahaman persepsi yang selalu berputar-putar pada logika masa lalunya juga harus di upgred agar dapat membaur pada logika masa kini dan masa depan.

Andrias Harefa dalam bukunya Mindset Therapy, menyatakan sejatinya manusia dewasa belajar harus melibatkan tiga fase: learn, unlearn, relearn. Learn berkaitan dengan pembentukan pola pikir tertentu, unlearn adalah mendekonstruksi pola pikir yang sudah ada, sedangkan relearn berupa menata ulang alias merekonstruksi pola pikir yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman; lebih dekat dengan kebenaran. Maka dari itu selain meng-upgrade teknologi, kita juga harus meng-upgrade sikap, pengetahuan, dan karakter kita sehingga singkron dengan masa sekarang dan masa yang akan datang.

Jika kita mau menganalisis secara mendalam, keberhasilan seseorang di kehidupan mendatang, semua tertumpu pada inovasi teknologi yang terintegrasi dengan individu yang memiliki kemampuan sosial yang tinggi. Lasnawan (2018) menyebutkan lima hal penting dalam disruption salah satunya hubungan-hubungan sosial. Inilah yang diperlukan, individu pengguna teknologi harus teredukasi akan pentingnya sebuah hubungan antar manusia.

Kemampuan teknologi dan kemampuaan bersosial harus terintegrasi menjadi satu tema yang perlu diedukasikan kepada anak kita dan kita sendiri. Jika membicarakan tentang hubungan antar manusia ini sangat kompleks. Tapi ada salah satu seseorang yang mempelajari ilmu ini, yaitu Daniel Goleman dengan bukunya Emotional Intelegence dan Social Intelegence.

MENGEMBANGKAN KECERDASAN SOSIAL

Daniel Goleman dalam bukunya yang berjudul Social Intelegence mengungkapkan kedelapan indikator kecerdasan sosial yang terbagi pada dua dimensi besar, pada ilmu antar manusia ini. Ke delapan indikator tersebut bisa menjadi acuan kita untuk mengetahui, memahami, menganalisis, sekaligus mengimplementasi bagaimana cara berhubungan yang baik dengan manusia untuk menghadapi era disrupsi nantinya.

Dimensi kesadaran sosial adalah sebagai berikut:

Empati dasar; adalah hal yang paling penting dan mendasar untuk dimiliki oleh seseorang agar kecerdasan sosialnya dapat berkembang secara optimal dan juga hubungan yang dijalin seseorang akan bisa lebih dekat karena bisa saling merasakan sekaligus memahami perasaan, kebutuhan dan keadaan hati masing-masing.

Penyelerasan; yakni kemampuan untuk bisa mendengarkan dengan terbuka sehingga bisa memahami terhadap apa yang telah disampaikan oleh seseorang dengan tujuan agar kita bisa menyelaraskan diri dengan perasaan orang lain.

Ketepatan empatik; adalah tindak lanjut dari kemampuan dalam melakukan penyelarasan kemampuan untuk bisa memahami dengan baik dan tepat apa yang menjadi perasaan dan pikiran orang lain.

Pengertian sosial; berupa pengertian bagaimana seseorang bisa memahami tentang dunia sosial. Dan dapat dikembangkan kepada anak dengan cara memberikan pengetahuan tentang lingkungan sosial tertentu di tempat kita berada.

Dimensi fasilitas sosial adalah sebagai berikut:

  1. Sinkronisasi; yaitu kemampuan seseorang dalam memahami bahasa nonverbal sehinga bisa menjalin interaksi sosial dengan baik.
  2. Presentasi diri; adalah hal yang berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menampilkan diri dengan baik dan efektif ketika membangun interaksi dengan orang lain yang meliputi cara berpakaian, ekspresi wajah, gerak tubuh dan ucapan sebagai buah dari isi hati dan pikiran seseorang.
  3. Pengaruh; seseorang yang mampu memberikan pengaruh kepada orang-orang yang berinteraksi dengannya.
  4. Kepedulian; adalah sikap mengindahkan, memperhatikan atau turut memprihatinkan kebutuhan orang lain atau sesuatu yang terjadi dalam masyarakat.

Salah satu contoh ketika disrupsi "perubahan" mempengaruhi sikap individu yang kurang peduli kepada  orang lain salah satunya akibat dampak terlenanya kita dengan teknologi. Pada sudut pandang ilmu KC, orang ini membutuhkan suatu penyelasaran dengan orang lain di sekitarnya. Orang seperti ini biasanya kurang sekali untuk meluangkan waktu dari hiruk pikuk pekerjaannya yang multitasking sehingga melupakan interaksi sosial. 

Meluangkan waktu sejenak, berbicara dari hati ke hati, sehingga menyelaraskan pikiran kita dengan orang lain, maka akan timbul suatu empati tentang orang tersebut "bagaimana ketika kita menjadi mereka? Bagaimana kita ada di posisi mereka?". Itulah penyelarasan. Secara kongkret penyelarasan ini dapat dilatih ketika kita selalu berkomunikasi dengan orang lain (Goleman, 2016).

Pengembangan kecerdasan sosial pada era disrupsi memang sangatlah diperlukan. Keperluan itu menjadi sangat urgent ketika banyak jurnal-jurnal yang menyatakan bahwa sangatlah berbahaya ketika teknologi komunikasi dan informasi digunakan secara berlebihhan. Seperti buku yang masih dalam proses, saya akan mencoba memberikan sedikit cara untuk mengembangkan kecerdasan sosial anak dan bagaimana cara mengetahui berapa besar kemampuan sosial yang anak kita miliki

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun