"Berubah atau Punah, berinovasi atau tertinggal". Sebuah kalimat yang menyatakan kini dunia mengalami guncangan besar, seperti yang diilustrasikan Paul Gilding dan Francis Fukuya dalam bukunya "The Great Disruption".Â
Guncangan ini terbentuk akibat konvergensi teknologi informasi, sehingga meregenerasi setiap system yang ada dari bidang ekonomi, politik, social, dan pendidikan. Abad dimana sesuatu yang berbau zaman old diganti dengan zaman now, yang didalamnya terintegrasi dengan digitalisasi.
Inilah era disrupsi yang diyakini telah mempengaruhi setiap perubahan secara fundamental untuk memenangkan persaingan global, dengan tujuan efesiensi penggunaan sumber daya yang ada. Pertanyaan mendasar yang patut untuk untuk diketahui tentang era disrupsi ini. Â Apa sih era disrupsi itu? Apa sih akar dari munculnya era disrupsi ini? Apa sih implikasi dari era disrupsi ini? Apa yang harus dilakukan?
ERA DISRUPSI
Kasali (2017) menyebutkan bahwa disruption adalah sebuah inovasi, yang akan menggantikan cara lama dengan cara baru. Perubahan cara lama ke cara yang baru ini terjadi ketika teknologi berevolusi membentuk suatu keefisienan pada masyarakat (Lasmawan, 2018). Saya analogikan era disrupsi ini seperti film Doraemon. Pasti taukan film Doraemon??
Film yang dikarang oleh Fujiko F.Fujio yang berkisah tentang kehidupan anak pemalas yang setiap kehidupannya dibantu oleh seekor robot kucing dari abad ke-22 yaitu Doraemon dengan kantong ajaibnya. Kantong ajaib ialah kantong yang dapat mengambil alat dari abad ke-22 yang serba teknologi untuk membantu kebutuhan Nobita.Â
Seperti itulah era disrupsi, era dimana manusia ingin mengambil mengambil sesuatu yang diinginkan di era akan datang untuk digunakan pada era ini  sebagai ke-efesiensi-an atau kebutuhan manusia sendiri. Lasmawan juga menyatakan bahwa disrupsi bukan sekedar fenomena hari ini (today), melainkan fenomena hari esok (the future) yang dibawa oleh para pembaharu ke saat ini (the present).
Perlu dipahami, bahwa ketika kita sudah terlena dengan segala ke-efesiensi-an kebutuhan  yang diperlukan, maka dapat dipastikan itu juga keterpurukan kita secara perlahan. Orang bijak mengatakan hiduplah dengan rasa kecukupan, jangan terlalu berlebihan dalam berprilaku.Â
Ketika era disrupsi ini kita terlena dengan kemudahan teknologi informasi dan komunikasi, seperti kantong ajaib Doraemon, tinggal pencet aja semua langsung ada, maka akan timbul dampak negatif yang akan kita alami.
Seperti contoh konkret ketika kita ingin bertemu dengan seseorang, bisa langsung menggunakan Video Call via Whatss App, ketika kita ingin gado-gado tinggal anterin GoJek, ketika ingin belajar ada tutor online, semua tersedia lengkap di depan mata kita tanpa perlu repot-repot untuk BERUSAHA dan BERINTERAKSI SOSIAL dengan orang lain. Dianalogikan seperti pisau, pisau yang tajam akan tumpul juga tidak diasah (BERUSAHA dan BERSOSIAL).
Maka seperti itulah kita jika terlena dengan semua kelimpahan teknologi yang ada, otak kita yang terbiasa dengan berinteraksi secara langsung secara verbal nonverbal, melihat mimik wajah lawan bicara yang tidak dapat dilakukan oleh teknologi (TIDAK DIASAH), maka kemampuan kita bersosial akan terkikis juga. Rasa empati kepada orang lain, selaras dengan orang lain, peduli terhadap orang lain, semua rasa itu perlahan akan hilang.