Seorang pemuka agama ditanya, apakah sama pahala membaca al-Qur'an lewat handphone dengan pakai mushaf. Memangnya dalam bentuk apa kitab suci itu Tuhan turunkan, apakah Tuhan perlu membedakan ayat-ayat suci, pada yang tertulis di atas kertas, dengan yang terpasang pada gawai elektronik, apakah pahalanya bisa tidak sama?
Di zaman kiwari, handphone tidak hanya sebagai alat komunikasi, namun telah menjelma menjadi alat yang pintar - karena itu kita sebut juga smartphone. Di dalamnya terpasang berbagai aplikasi termasuk yang berhubungan dengan agama. Aplikasinya tersedia untuk semua agama, yang gratisan sudah cukup untuk keperluan sehari-harimu. Menggunakan handphone, sumber-sumber dalam beragama jadi gampang diakses.
Umpama nih kamu yang Islam mau baca al-Qur'an, tinggal buka hape. Ada versi digitalnya yang dilengkapi terjemah dan audio bacaan para syaikh ternama. Di situ juga bisa mengetahui waktu salat, arah kiblat dan bacaan doa. Mau ikut pengajian, di kanal YouTube banyak sekali videonya, tinggal menyimak, tidak repot datang ke masjid.
Bagi pemeluk agama, kitab firman Tuhan dipandang sakral. Yang sakral juga meliputi tempat, bangunan dan benda-benda lain berwujud fisik. Ada pula waktu dan hari-hari yang diistimewakan misalnya hari raya. Semuanya itu kita anggap suci, mulia dan kita istimewakan di atas hal-hal yang lain.
Dalam menjaga kesakralan, kita mengikuti sejumlah aturan. Ada suruhan dan larangan yang membatasi, misalnya dalam berpakaian, bertutur kata dan bertingkah laku.
Ambil contoh lagi cetakan al-Qur'an yang disebut mushaf itu, tidak boleh diperlakukan bagai sembarang buku. Jika kita menyusun buku-buku, letakkan mushaf di tempat paling atas, di bawahnya kumpulan hadis, seterusnya buku-buku pengetahuan agama, lalu kemudian yang tidak terkait dengan agama.
Kitab suci secara fisik bisa difungsikan sebagai ikon atau simbol. Dalam praktiknya, seperti sumpah jabatan dilakukan di bawah kitab suci. Kaligrafi ayat al-Qur'an dipajang di rumah-rumah. Barangkali sebagai klaim akan keterikatan dengan yang sakral. Keterikatan itu juga menyebabkan orang tidak terima apabila tulisan ayat-ayat suci ada yang merobek atau membakarnya.
Oh ya secara fisik, kitab suci itu punya fungsi tidak sebagai ikon semata. Setidaknya kita diberitahu dimensi atau fungsi dari kitab suci. Ini lain waktu bisa dibahas. Sekarang bagaimana kala kitab suci yang sakral itu sudah masuk ke alam digital?
Hingga hari ini, handphone, tablet dan laptop yang memuat kitab suci versi digital belum dipakai untuk sumpah jabatan di Indonesia, entah kalau di luar sana. Tidak ada orang yang menjadikan aplikasi al-Qur'an untuk seserahan nikah. Pun tidak terdengar protes karena ayat-ayat suci dihapus dari gawai elektronik. Urusan-urusan tersebut berhubungan dengan yang fisik, tidak merambah yang digital.
Balik lagi kepada orang yang membaca al-Qur'an digital. Kamu sadar enggak, ngajinya kok sambil rebahan, sambil minum jus, makan cemilan. Ndak ada bedanya kayak dirimu lagi nonton film. Coba kalau ngaji yang normal, dimulai dari kesucian: suci badan, suci pakaian dan suci tempat. Wuduk dulu, ambil al-Qur'an, menghadap kiblat, terus membacanya dengan khusyuk karena kegiatan itu merupakan ibadah. Pokoknya ada adab yang harus kita perhatikan.
Wajar saja ada pertanyaan tentang pahala, sebab kita menghadapi tulisan dalam media yang sangat berbeda. Semula berwujud benda, di atas kertas dan buku. Jika kita memegang, membaca dan menyimpannya harus dengan etika yang mulia. Yang sakral kita pisahkan dari yang duniawi, dari segi waktu dan tempatnya. Dan itu gampang saja, seperti kamu tidak ngaji sambil makan minum, tidak juga sambil mondar-mandir, iya kan.
Hape kamu yang canggih itu punya karakteristik yang beda. Saat ayat-ayat suci beralih ke ruang digital, kesuciannya dapat ternoda. Ah, masa iya gitu sih.
Gawai di tangan kita terasa semakin penting lantaran kemampuannya melayani kebutuhan kita dalam berkomunikasi, berbisnis, belajar bahkan beragama. Karena volume penyimpanan besar dan menerima format beragam maka materi agama mungkin saja tersimpan bersama konten sensual pada satu tempat.
Please jangan marah, adakah di hape kita tersimpan gambar-gambar saru, ada gak di situ video seronok. Pernahkah hape kita terpakai untuk percakapan vulgar? Oh kamu ndak begitu, kamu selalu yang baik-baik. Tapi sungguh, media digital memungkinkan bercampurnya macam-macam konten, maka bercampurlah yang sakral dan yang duniawi.
Baiklah, al-Qur'an digital itu lengkap. Ada murottal, arah kiblat, azan, kalender hijriyah, asmaul husna, sampe info masjid terdekat. Lha, kalau koleksi saru-saru ada di hape yang sama, bagaimana?
Kamu kalau lagi online sering dapat iklan, yang barangkali satu dua cocok dengan kebutuhanmu. Nah, aplikasi ayat-ayat suci juga ada yang beriklan. Pas lagi ngaji muncul berkali-kali, ya jadi menganggu. Kadang yang sangat tidak berkaitan bahkan tidak pantas macam iklan "cari pasangan." Ini menunjukkan bahwa materi agama menjadi tumpangan orang berdagang.
Demikianlah kesakralannya terancam setelah didigitalkan. Karena campur-campur itu tadi, ditambah soal etika membacanya. Saking praktisnya, mungkin kita lupa untuk ambil wudu dulu sebelum ngaji, padahal berwudu itu menyucikan diri, untuk memasuki kesakralan. Hape pun mungkin terbawa ke toilet, atau tergeletak di tempat sembarangan. Sedangkan hal semacam itu tidak kita lakukan pada buku biasa apalagi terhadap mushaf yang mulia.
Bagaimana sikap terhadap persoalan semacam itu sebenarnya tergantung kepada diri kita sendiri. Namun media digital telah membentuk budaya baru dan mempengaruhi praktik kita beragama. Handphone itu fleksibel, instan dan multitasking, sampai bikin kita lupa waktu, lupa ada di mana dan tidak menyadari bahwa kita sedang mendegradasi perkara yang sakral.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H