Mohon tunggu...
Faisalbjr
Faisalbjr Mohon Tunggu... Dosen - hhmm

please wait...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sekarang Saatnya Menghapus Denda!

17 Mei 2021   22:30 Diperbarui: 17 Mei 2021   22:48 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggal 20. Ingatlah itu hari terakhir bayar setiap bulan kalau listrik rumahmu belum sistem pulsa. Kamu akan kena denda, malah aliran listrik bisa diputus jika tetap nunggak sampai lewat waktunya.

Masalah denda sudah tidak asing dan kita temui dalam beragam perkara. Contohnya, pengendara yang kena tilang harus membayar sejumlah uang akibat melanggar aturan lalu lintas. Terlambat membayar cicilan motor ada dendanya. Dan yang aktual, membuat kerumunan di masa pandemi juga bisa didenda.

Di perpustakaan, denda berlaku dalam transaksi peminjaman apabila pemustaka mengembalikan melewati masa yang berlaku atau merusak buku milik perpustakaan. Tentu ada aturan yang telah disosialisasikan sebelumnya.

Apa kamu tahu kenapa perpustakaan memberlakukan denda, ke mana perginya uang denda yang kamu bayarkan? Gimana wacana denda di perpustakaan bisa kita bincangkan?

Denda diterapkan agar pemustaka mengembalikan koleksi sebelum atau pada tanggal yang sudah ditetapkan, sehingga bisa secepatnya tersedia bagi orang lain yang membutuhkannya. Bayangkan, kamu sangat perlu sebuah buku untuk menggarap skripsi, tapi nunggu tiga minggu buku itu belum juga dikembalikan oleh peminjamnya. Jelas merugikan.

Denda merupakan instrumen pendisiplinan yang dijalankan oleh perpustakaan terhadap anggotanya. Dalam konteks ini terdapat kuasa perpustakaan yang berlaku melalui tata aturan layanan peminjaman.

Barangkali karya ini adalah yang pertama menggunakan teori disciplinary power untuk kasus keterlambatan pengembalian buku. Hemm, bijimana bisa begitu ya?

Katanya, denda memiliki peran guna memunculkan rasa terus terawasi dalam diri pemustaka. Uang yang harus dibayar akan terus membayangi pemustaka di mana pun mereka berada. Istilahnya panoptisisme. Yah, kayak grup WhatsApp yang serasa memantaumu tiap waktu.

Namun sebagaimana ada kuasa, ada perlawanan yang bentuknya peminjam buku memilih didenda dengan alasan dendanya murah atau malas datang ke perpus, sehingga tujuan pendisiplinan tidak tercapai.

Ada dua sisi pemikiran yang muncul dari masalah denda ini.

Pertama, menjadi pertanyaan: apa tujuan perpustakaan memberlakukan denda? Untuk mendisiplinkan anggotanya, atau untuk mengumpulkan uang?

Perpustakaan memperoleh pemasukan dari denda. Uangnya digunakan kembali untuk pembelian dan perawatan buku, untuk biaya even-even atau menyediakan fasilitas penunjang. Denda setiap keterlambatan memang sedikit, tetapi menjadi banyak dan banyak karena tidak sedikit orang yang kena denda.

Fakta makin banyaknya yang didenda menunjukkan disiplinnya rendah. Apakah ini sengaja dipelihara demi mencapai tujuan yang kedua? Jadi curiga nih kamu.

Perpustakaan jadi serba sulit. Sebab ia harus menyediakan akses yang merata, sementara ada sebagian pemustaka yang tidak mempedulikan hak orang lain. Mereka tidak segera mengembalikan pinjaman. Ada yang bilang masih membutuhkan, ada yang lupa, bahkan ada yang menganggap enteng jumlah uang dendanya.

Kedua, saat ini banyak pustakawan menganggap pembebanan denda merusak misi perpustakaan untuk menyediakan akses informasi yang gratis dan adil. Bagi yang benar-benar tidak mampu membayar akan timbul rasa malu dan enggan datang lagi ke perpustakaan. Akibatnya buku-buku yang tertahan di rumah mereka benar-benar tidak kembali ke perpustakaan.

Enggak bisa kita ingkari bahwa masyarakat yang secara ekonomi kurang beruntung akan terbebani. Sedangkan mereka adalah kelompok yang mestinya paling diuntungkan dari adanya layanan perpustakaan.

Untunglah perpustakaan tidak kejam-kejam amat. Jika peminjam datang mengembalikan buku dan meminta keringanan, biasanya tidak harus membayar semuanya yang mungkin jumlahnya ratusan ribu. Malah Perpustakaan Kota Malang pada tahun 2016 mengubah denda dari semula Rp 500 per hari untuk satu buku menjadi maksimal sebesar Rp 15 ribu. Jadi ringan banget kan, kalo maksimal 15 ribu berapa pun bukunya dan lamanya.

Di tempat lain sudah kayak di Malang juga, semoga aja. Kabar baik datangnya dari luar Indonesia, di mana perpustakaan umum berbagai kota memberikan amnesti atau pemutihan. Masyarakat diminta datang, tidak usah takut meskipun bukunya dipinjam sejak puluhan tahun. Tidak ada sanksi. Hasilnya tidak mengecewakan, ribuan buku kembali ke perpus.

Adanya denda sebenarnya menambah pekerjaan staf perpus. Mereka harus mencatat dan melaporkan setiap bulan dan mempertanggungjawabkan penggunaannya. Jumlahnya besar tapi tidak bisa asal pakai. Dan paling repot adalah menghadapi kamu yang ngeyel saat ditagih.

Pendekatan untuk memulangkan buku dari tangan peminjam dengan penghapusan denda tidak harus berlaku total. Misalnya bisa diberlakukan untuk anggota dari kalangan anak-anak atau pelajar dalam periode tertentu. Untuk kelompok lain dilakukan dalam jangka waktu yang lain pula.

Kesalahan kamu kepada perpus juga bisa diampuni tanpa bayar denda. Kamu bisa lakukan sesuatu yang bermanfaat. Umpamanya ikut dalam proyek percobaan program baru yang mereka luncurkan. Pinter menggambar desain, programming atau punya keahlian lain, ajukan saja sebagai kompensasi dari kamu. Sekalian kamu dapat pengalaman positif di situ.

Saran buat perpus, bikinlah sistem peringatan, semacam notifikasi di hape untuk pengingat kapan pemustaka harus mengembalikan pinjamannya.

Nah yang terakhir, sebuah usul. Sekarang saatnya hapus denda. Soalnya tidak ada orang yang senang didenda, mau sedikit mau banyak, enggak ada yang senang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun