Mohon tunggu...
Faisal Basri
Faisal Basri Mohon Tunggu... Dosen - Mengajar, menulis, dan sesekali meneliti.

Mengajar, menulis, dan sesekali meneliti.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Membangun Bangsa dengan Budaya Politik Sehat [1]

13 Mei 2016   19:47 Diperbarui: 13 Mei 2016   22:32 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika Presiden Abdurrahman Wahid melakukan kunjungan ketiga dan terakhir ke Washington, D.C. pada awal 2001, Presiden Clinton menyampaikan harapan kepada Gus Dus:

“Mr. President, I wish Indonesia a great success. A successful Indonesia will help to characterize the 21st century. Indonesia is now the world’s third largest democracy. Indonesia is the fourth largest-population country, with the world’s largest Moslem population. If Indonesia can prove to the world that Islam and democracy are compatible – you show us the way.”[6]

Harapan Clinton yang ditumpukan kepada bangsa Indonesia, bukan kepada negara-negara dengan pemeluk Islam sebagai mayoritas di Timur Tengah, Afrika, Turki, Pakistan atau Malaysia, tentu bukan tanpa alasan kuat. Sejarah membuktikan bumi Indonesia memancarkan kesejukan dan kedamaian bagi berbagai pemeluk agama dan kepercayaan. Toleransi di antara penduduk yang berbeda keyakinan sangat tinggi. Tidak ada penindasan oleh mayoritas atas kaum minoritas.

Memang kita memiliki catatan sejarah kelam pada tahun 1965. Sayangnya apa yang sebenarnya terjadi belum terungkap tuntas. Upaya untuk meluruskan sejarah patut dihargai, harus terungkap siapa yang bersalah dan siapa yang menjadi korban. Setelah kebenaran sejati terungkap niscaya rekonsiliasi dan saling memaafkan akan lebih mudah terwujud. Tidak ada lagi dendam. Segenap energi dan sumber daya tercurah sepenuhnya untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.

Bangsa Indonesia telah membuktikan mampu menegakkan demokrasi. Ketegangan politik menjelang hingga pasca pemilihan umum dan pemilihan presiden 2014 berakhir dengan damai. Tidak ada huru-hara. Tidak setetes darah pun menitik ke pangkuan Ibu Pertiwi akibat konflik antar pendukung kandidat presiden. Surat kabar, majalah, media sosial, televisi, radio, dan panggung orasi, bahkan surat kaleng sekalipun, berperan sebagai kanalisasi potensi konflik. Seluruh manuver pihak mana pun terbaca terang oleh publik. Tidak ada gerakan bawah tanah yang melakukan sabotase. Sekecil apa pun kecurangan terdeteksi cepat, sehingga hampir mustahil melakukan kecurangan masif. Setelah keputusan Mahkamah Konstitusi, pihak yang kalah menerimanya dengan lapang dada. Dendam teredam oleh proses konstitusional.

Sudah hampir 20 tahun reformasi bergulir. Perubahan mendasar secara simultan terjadi di bidang politik, pemerintahan, dan ekonomi. Momentum kejatuhan Orde Baru telah melumatkan sebagian lemak-lemak politik dan ekonomi yang menyumbat jantung kehidupan berbangsa dan bernegara. Proses pembakaran lemak tidak boleh berhenti dan jangan sampai muncul lemak-lemak baru yang menyumbat pembaruan tatanan berbangsa dan bernegara.

Amat disayangkan partai politik sebagai salah satu pilar utama demokrasi belum kunjung menunjukkan perubahan berarti. Perilaku partai masih jauh dari cerminan budaya politik demokrasi yang sehat. Oligarki partai tetap mencengkeram. Pratek demokrasi di dalam partai politik masih jauh dari sehat. Hari-hari ini kita menyaksikan betapa figur yang nyata-nyata tidak terpuji masih melenggang menjadi calon kuat ketua umum partai besar dan terbesar selama Orde Baru. Partai dikelola seperti perseroan terbatas atau bahkan perusahaan pribadi/keluarga.

Tidak terhitung elit politik hingga ketua umum partai yang telah masuk penjara. Tidak lagi jelas batas antara penguasa dan pengusaha. Sejumlah menteri, gubernur, bupati dan walikota pun demikian. Mereka menghalalkan segala cara untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan serta memperkaya diri sendiri dan kelompoknya.

Pertarungan politik tidak banyak mengedepankan gagasan, apalagi visi jangka panjang bagi kejayaan bangsa. Sentimen ras dan agama dijadikan alat untuk menyudutkan lawan, rasa kebencian dihembuskan untuk mengadu-domba rakyat.

Mereka lupa rakyat tidak bisa lagi dicekoki dengan kebohongan dan kemunafikan. Di alam kebebasan, kebenaran sedemikian tampak nyata dan kebusukan tidak bisa ditutup-tutupi, walaupun tak terhindarkan muncul juga ekses negatif.

Civil society dan media massa, termasuk media sosial, tumbuh menjadi pilar demokrasi pengimbang dari keroposnya partai politik sebagai pilar utama demokrasi, sehingga fungsi politik tidak dimonopoli sepenuhnya oleh partai politik. Di sinilah letak pentingnya kehadiran calon independen, walaupun masih sebatas untuk pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota). Tanpa kehadiran calon independen atau perseorangan, partai politik cenderung leluasa menentukan kepala daerah dengan topangan kekuatan pemodal kuat atau bandar. Keberadaan calon independen bukan untuk mengerdilkan keberadaan partai atau anti partai, melainkan untuk mengoreksi perilaku partai, sehingga justru meningkatkan kualitas dalam “pasar” politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun