Harga jagung belum stabil (KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN)
Tulisan Bung Ronny Noor (Gagal Paham Faisal Basri Terkait Komoditas Pertanian) atas tulisan saya (Sesat Pikir Menteri Pertanian) patut dihargai sebagai upaya mengurai akar masalah pangan di Tanah Air agar kita bisa menemukan penyelesaian terbaik. Semoga tulisan tanggapan Bung Ronny memicu kemunculan pemikiran-pemikiran yang lebih tajam, mendalam, dan multidimensional.
Tanggapan saya terdiri dari dua bagian. Pertama aspek teknis dan kedua aspek substansi. Kutipan dari tulisan Bung Ronny saya cetak tebal, sedangkan kutipan dari tulisan saya dicetak miring.
1. Aspek Teknis
Berdasarkan pemahaman saya, maaf kalau salah, tulisan Bung Ronny menanggapi tulisan saya yang berjudul "Sesat Pikir Menteri Pertanian." Dalam tulisan itu saya membahas persoalan pangan secara keseluruhan. Ikhwal jagung dan harga ayam serta harga telur hanya satu kalimat di alinea kedua dari bawah. Kalimat "Semua dibikin repot oleh ulah Menteri Pertanian merupakan kalimat penutup dan sekaligus alinea terakhir. Tulisan Bung Ronny menggabungkan dua alinea menjadi satu. Ini kutipannya:
"Bagian tulisan Bung Faisal Basri yang paling menarik perhatian saya adalah pernyataan berikut: “………Menyelesaikan persoalan jagung tetapi menimbulkan masalah kenaikan harga ayam dan telur. Semua dibikin repot oleh ulah Menteri Pertanian.”"
Berikut saya tunjukkan dua alinea terakhir tulisan saya.
"Pemburukan pangan nasional sudah berlangsung cukup lama. Kita berharap pemerintahan Jokowi melakukan pembenahan mendasar, menohok ke akar masalahnya. Namun, sejauh ini masih bersifat tambal sulam. Menyelesaikan persoalan jagung tetapi menimbulkan masalah kenaikan harga ayam dan telur."
"Semua dibikin repot oleh ulah Menteri Pertanian."
Jadi yang bikin repot bukan saja soal jagung, melainkan kebijakan pangan secara keseluruhan.
Substansi pembahan Bung Ronny yang panjang lebar dan mengritisi cara pandang saya yang menggunakan pendekatan konvensional dan linear jangan-jangan bukanlah tanggapan atas tulisan "Sesat Pikir Menteri Pertanian" melainkan tulisan saya sebelumnya (Kisruh Melambungnya Harga Jagung).
2. Aspek Substansi
Bagi saya, substansi pembahasan tulisan Bung Ronny turut memperkaya pemahaman tentang persoalan jagung di Tanah Air.
Sebelum masuk ke konteks ekonomi politik domestik dan internasional, ada baiknya mengklarifikasi terlebih dahulu persoalan-persoalan dasar.
Pertama, banyak kalangan mempertanyakan soal data produksi pangan, termasuk jagung.
"BPS memperkirakan produksi jagung pada 2015 diperkirakan mencapai 20,67 juta ton jagung pipilan kering, atau mengalami peningkatan sebesar 8,72% jika dibandingkan dengan produksi 2014 yang mencapai 19 juta ton.
Jika sebagian besar produksi jagung nasional digunakan untuk pakan ternak, estimasi konsumsi jagung oleh industri pakan maksimal 12 juta ton, dan konsumsi langsung oleh masyarakat sebesar 6 juta ton, seharusnya Indonesia telah mengalami surplus jagung.
Faktanya ialah impor jagung pada 2014 tercatat sebesar 3,2 juta ton. Ini suatu bukti lain tentang kenyataan buruknya akurasi estimasi produksi jagung di Indonesia."
Sumber: Bustanul Arifin
Masih soal data. Untuk produksi beras, data bersumber dari BPS dan Kementerian Pertanian. BPS melakukan pengukuran produktivitas berdasarkan survei ubinan yang sudah barang tentu dengan menggunakan sampel. Pengukuran luas lahan dilakukan oleh Kementerian Pertanian berdasarkan pandangan mata. Lihat Penjelasan BPS. Angka produksi diperoleh dari perkalian antara luas lahan (berdasarkan pandangan mata) dengan produktivitas per hektar. Untuk produksi jagung sangat boleh jadi menggunakan cara seperti itu. BPS meragukan kualitas data luas panen sebagai landasan perhitungan produksi pangan yang dikumpulkan Kementerian Pertanian dan dinas pertanian di daerah (sumber: Data Pangan Tidak Akurat)
Akurasi data semakin dipertanyakan ketika muncul prediksi produksi beras, jagung, dan kedelai naik lumayan tinggi secara bersamaan di tengah ancaman El Niño. Apalagi mengingat lahan yang digunakan untuk menanam ketiga jenis pangan itu praktis sama dan digunakan secara bergantian.
Jika data produksi keliru, dalam hal ini lebih tinggi atau jauh lebih tinggi ketimbang kenyataan, tentu saja jauh-jauh hari Kementerian Pertanian memandang tidak perlu impor jagung. Akibatnya terjadi excess demand sehingga harga merangkak naik.
Kalau pendekatan sederhana dan konvensional sudah cukup memadai dan bisa menjelaskan duduk perkaranya, buat apa dibikin rumit.
Sudah merupakan rahasia umum dunia perunggasan di Indonesia sangat terkonsentrasi. Dua kelompok usaha, kelompok Charoen Pokphand dan kelompok Japfa Comfeed sangat dominan. Peternak unggas independen semakin susut dan tak berdaya. Semakin tak berdaya lagi kalau diterpa kenaikan harga jagung.
Saya sangat menyadari betapa pasar perunggasan jauh dari sempurna, karena memang struktur pasarnya tight oligopoly. Merupakan kewajiban Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) untuk mengawasi dan mengadili praktek persaingan usaha tidak sehat, khususnya penyalahgunaan posisi dominan.
Ikhwal teknologi asing, bukan hanya dalam usaha ayam ras, melainkan digunakan pula untuk banyak kegiatan. Teknologi pupuk kimia berasal dari asing, pestisida juga begitu. Bahkan bibit pun diimpor sebagai jalan pintas "swasembada". Pemurnian bibit oleh petani tak dapat subsidi tetapi pupuk dapat kucuran subsidi sekalipun teknologinya diimpor dan salah sasaran pula.
Terakhir soal harga. Faktanya harga jagung di Indonesia cenderung naik sedangkan di pasar internasional turun tajam. Tak hanya harga jagung yang mengalami anomali, melainkan juga beras, kedelai, daging sapi, dan gula. Kalau jagung sebagai pengecualian, saya bisa maklum, tetapi kalau banyak fenomena "anomali" di Indonesia, sepatutnya kita introspeksi jangan-jangan ada yang salah dengan pengelolaan pangan kita.
Harga terbentuk bukan hanya hasil dari interaksi penawaran dan permintaan sesaat. Ada unsur ekspektasi. Contoh, menjelang pencabutan sangsi nuklir Iran, harga minyak mentah di pasaran internasional naik. Harga daging sempat melonjak di masa Menteri Rachmat Gobel karena pemerintah berencana memotong kuota impor sapi secara drastis. Tentu saja dengan mudah diprediksi bakal terjadi kelangkaan sapi. Baru "bakal" harga daging sapi sudah naik tajam.
Tengok pula rencana The Fed akan menaikkan suku bunga. Muncul spekulasi berbulan-bulan sebelumnya yang membuat kalang kabut banyak negara, yang membuat lebih setengah triliun dollar AS hengkang dari negara-negara emerging markets. Menelaah soal harga memang tidak bisa statis dan sesaat. Ada ekspektasi yang turut menentukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H