Mohon tunggu...
Faisal Basri
Faisal Basri Mohon Tunggu... Dosen - Mengajar, menulis, dan sesekali meneliti.

Mengajar, menulis, dan sesekali meneliti.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Harga Pangan (Terutama Beras) Mengancam Penduduk Miskin

1 Januari 2016   14:32 Diperbarui: 1 Januari 2016   16:38 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun 2015 ditandai oleh bencana El Niño dan kebakaran lahan terlama dan terparah. Pulau Kalimantan dan Sumatera paling menderita akibat kebakaran lahan. Perekonomian Kalimantan pada triwulan III-2015 mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif, sedangkan pertumbuhan ekonomi Sumatera terburuk kedua.

Dampak El Niño lebih merata. Berbulan-bulan tidak turun hujan menyebabkan kekeringan di seluruh Indonesia, menyebabkan gagal panen dan pergeseran musim tanam. Berbagai kalangan telah mengingatkan jauh-jauh hari.

Sayangnya, pemerintah, terutama Menteri Pertanian, tidak menggubris, bahkan sesumbar produksi pangan termasuk beras bakal naik sehingga tidak perlu mengimpor beras dan jagung.

Impor beras sampai November 2015 belum mencapai 300 ribu ton, jauh lebih rendah ketimbang selama empat tahun sebelumnya.

Tanpa El Niño dan kebakaran lahan sekalipun kondisi pangan kita tergolong rentan sebagaimana tampak dari indeks keamanan pangan yang di bawah 50 dengan peringkat yang terus turun.

Badan Pusat Statistik mengakui metode prakiraan produksi banyak mengandung kelemahan. Boleh jadi hanya data impor yang paling akurat.

Yang pasti harga beras merangkak naik. Yang mengalami kenaikan paling tajam ialah harga beras di tingkat eceran, menyusul harga beras di tingkat penggilingan. Ironisnya, di tingkat penggilingan, yang naik paling tajam adalah harga beras kualitas rendah. Apakah ini menunjukkan penyaluran raskin (beras untuk keluarga miskin) tersendat?

Kenaikan harga beras tampaknya tidak sepenuhnya dinikmati petani. Kenaikan harga gabah panen kering (GPK) ternyata paling kecil. Tengok punya disparitas harga yang relatif sangat lebar antara harga GPK, harga di tingkat penggilingan, dan harga eceran.

Perkembangan harga beras di Indonesia yang merangkak naik bertolak belakang dengan kecenderungan harga beras di pasar internasional yang terus mengalami penurunan. Perbedaan harganya pun amat kontras. Pada bulan November 2015, harga beras eceran di Indonesia hampir tiga kali lipat lebih mahal ketimbang harga beras Vietnam.

Penduduk miskinlah yang paling menderita, karena hampir sepertiga pengeluarannya tersedot untuk membeli beras. Jika ditambah dengan beberapa komoditas pangan yang dikonsumsi penduduk miskin yang mengalami kenaikan harga di atas inflasi nasional, maka porsi pengeluarannya naik menjadi 40 persen.

Perlu dicatat, pengeluaran terbesar kedua penduduk miskin adalah untuk membeli rokok kretek filter. Rokok memang memiskinkan!

Tak heran jika penduduk miskin kemungkinan besar akan terus naik. Posisi Maret 2015 saja sudah naik dibandingkan dengan September 2014.

Sesumbar dengan populisme, yang menanggung adalah penduduk miskin. Mahal sekali populisme yang menyesatkan itu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun