Tahun 2015 ditandai oleh bencana El Niño dan kebakaran lahan terlama dan terparah. Pulau Kalimantan dan Sumatera paling menderita akibat kebakaran lahan. Perekonomian Kalimantan pada triwulan III-2015 mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif, sedangkan pertumbuhan ekonomi Sumatera terburuk kedua.
Dampak El Niño lebih merata. Berbulan-bulan tidak turun hujan menyebabkan kekeringan di seluruh Indonesia, menyebabkan gagal panen dan pergeseran musim tanam. Berbagai kalangan telah mengingatkan jauh-jauh hari.
Sayangnya, pemerintah, terutama Menteri Pertanian, tidak menggubris, bahkan sesumbar produksi pangan termasuk beras bakal naik sehingga tidak perlu mengimpor beras dan jagung.
Tanpa El Niño dan kebakaran lahan sekalipun kondisi pangan kita tergolong rentan sebagaimana tampak dari indeks keamanan pangan yang di bawah 50 dengan peringkat yang terus turun.
Yang pasti harga beras merangkak naik. Yang mengalami kenaikan paling tajam ialah harga beras di tingkat eceran, menyusul harga beras di tingkat penggilingan. Ironisnya, di tingkat penggilingan, yang naik paling tajam adalah harga beras kualitas rendah. Apakah ini menunjukkan penyaluran raskin (beras untuk keluarga miskin) tersendat?
Kenaikan harga beras tampaknya tidak sepenuhnya dinikmati petani. Kenaikan harga gabah panen kering (GPK) ternyata paling kecil. Tengok punya disparitas harga yang relatif sangat lebar antara harga GPK, harga di tingkat penggilingan, dan harga eceran.
Perlu dicatat, pengeluaran terbesar kedua penduduk miskin adalah untuk membeli rokok kretek filter. Rokok memang memiskinkan!
Sesumbar dengan populisme, yang menanggung adalah penduduk miskin. Mahal sekali populisme yang menyesatkan itu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H