Mohon tunggu...
Faisal Basri
Faisal Basri Mohon Tunggu... Dosen - Mengajar, menulis, dan sesekali meneliti.

Mengajar, menulis, dan sesekali meneliti.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Beda Partai Komunis Tiongkok dan Partai Gerindra

5 Juni 2014   15:33 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:14 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Partai Komunis Tiongkok (PKT) merupakan satu-satunya partai di negara yang pada era perang dingin dijuluki Negeri Tirai Bambu. Negara tirani besar lainnya, Uni Soviet, dijuluki Negeri Tirai Besi.

Dalam "Global Democracy Ranking" yang diterbitkan oleh The Democracy Ranking Association pada tahun 2013 (lihat www.democracyranking.org), pada tahun 2011-2012, Tiongkok menduduki urutan ke-107 dari 115 negara, turun satu peringkat dibandingkan posisi tahun 2008-2009. Pada kedua periode yang sama, posisi Indonesia sama, yaitu di urutan ke-66.

Negara yang paling demokratis (urutan pertama) diduduki oleh Norwegia, baik pada 2008-2009 maupun 2011-2012. Republik Yaman selalu di urutan buncit (ke-115). Posisi Amerika Serikat pun tidak berubah, di urutan ke-15.

The Economist Intelligence Unit (EIU) mengeluarkan Democrracy Index 2012. Laporan ini mengategorikan gradasi demokasi ke dalam empat kelompok: (1) Full democracies, (2) Flawed democracies, (3) Hybrid regimes dan (4) Authoritarian regimes.

Dari 167 negara, kembali Norwegia berada di posisi puncak dengan skor nyaris sempurna, 9,93 (skor terendah nol dan tertinggi 10). Norwegia adalah salah satu dari 25 negara yang masuk kelompok Full democracy. Sementara itu, urutan paling bawah (ke-167) diduduki oleh Korea Utara dengan skor 1,08. Korea Utara dan 50 negara lainnya masuk kelompok Authoritarian regimes. Salah satunya adalah Tiongkok yang berada di urutan ke-142 dengan skor 3,00.

Indonesia masuk ke kelompok Flawed democracy (ada 54 negara) dan berada di urutan ke-53 dengan skor 6,76. Timor-Leste masuk di kelompok yang sama dengan Indonesia tetapi urutannya lebih baik, yakni ke-43 dengan skor 7,16.

Skor indeks demokrasi Indonesia mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2006 (6,41). Sedangkan Tiongkok praktis jalan di tempat. Pada tahun 2006 skor Tiongkok 2,97, lalu naik menjadi 3,04 (2008), naik lagi menjadi 3,14 pada tahun 2010 dan 2011, tetapi turun realtif tajam menjadi 3,00 pada tahun 2012.

Sekalipun satu-satunya partai di negara otoriter, PKT secara rutin setiap lima tahun menyelenggarakan kongres. Pergantian kepemimpinan terjadi secara berkala dan dilaksanakan dengan semakin demokratis intrapartai. Artikel di bawah ini menggambarkan dinamika yang terjadi di dalam PKT.

Bandingkan dengan Partai Gerindra. Kita tidak pernah mendengar partai itu menyelenggarakan kongres. Tak terjadi mekanisme demokratis di dalam partai dalam memilih pemimpin dan kepengurusan.

Bakal seperti apa jadinya penyelenggaraan pemerintahan jika petinggi partai itu memimpin Indonesia. Bakal ke arah mana angin demokrasi bertiup di Bumi Pertiwi yang kita cintai? Konsolidasi demokrasi jadi taruhan.

****

KOMPAS.COM, Kamis, 8 November 2012 | 06:22 WIB

Kongres PKC dan Kepemimpinan China

Oleh René L Pattiradjawane

Apakah globalisasi di abad ke-21 memerlukan kebangkitan China? Bagi kebanyakan orang di kawasan Asia, China adalah bagian dari warisan sejarah panjang dalam sejumlah manifestasinya, mulai dari masa kejayaan dinasti sampai era komunisme.

Ketika roda ekonomi dan pertumbuhan China mulai melambat dan laju pertumbuhan industri manufaktur tergoyangkan karena berhenti memasok pesanan global untuk sejumlah produk konsumen, muncul kekhawatiran akan dampaknya yang bisa memengaruhi keseluruhan roda globalisasi.

Ketika kelas menengah China masih rentan, stagnasi pertumbuhan ekonomi di dalam negeri akan menghadirkan benturan sosial mencari keseimbangan baru sampai pulih dan kuatnya kelas menengah menjadi agen pertumbuhan. Para sinolog di luar China ataupun akademisi yang meneliti negara berpenduduk terbesar di dunia ini pun waswas dengan arah yang ingin ditempuh kekuasaan komunisme.

Dalam konteks ini, Kongres ke-18 Partai Komunis China (PKC) yang dimulai di Beijing, Kamis ini—melaksanakan regenerasi 10 tahunan mengikuti batas usia pensiun 68 tahun— memberi makna pemahaman pergeseran kekuasaan di dalam partai komunis tertua di Asia ini.

Kongres ke-18 PKC akan menghadirkan kepemimpinan baru komunisme China dalam tiga institusi penting, Sentral Komite (350 orang), Politbiro (25 orang), dan Komite Tetap Politbiro sebagai kepemimpinan elite PKC yang terdiri atas sembilan orang. Hasil kongres ini nantinya akan berpengaruh pada Kongres Rakyat Nasional (KRN) yang diadakan Maret 2013 untuk menentukan jabatan presiden dan perdana menteri China menggantikan Presiden Hu Jintao (juga menjabat sebagai Sekjen PKC) dan PM Wen Jiabao.

Generasi kelima

Kongres ke-18 PKC kali ini memang berbeda dengan kongres sebelumnya lima tahun lalu ketika faksionalisme di dalam tubuh partai tidak terjadi setajam dewasa ini yang mengorbankan petinggi partai dalam intrik politik modern China. Pertikaian di dalam anggota Politbiro PKC adalah warisan sejarah yang tidak terelakkan sejak masa Mao Zedong.

Kejatuhan Bo Xilai, mantan Sekretaris PKC kota Chongqing, adalah bagian menajamnya faksi yang disebut taizi (pangeran, para pemimpin aristokrasi partai) anak-anak pemimpin PKC revolusioner, berhadapan dengan kelompok tuanpai, mereka yang besar dan mencapai posisi melalui Liga Pemuda Komunis China seperti Presiden Hu Jintao.

Kongres PKC kali ini pun akan menentukan deretan generasi kelima pemimpin komunis yang baru sama sekali, dipilih dari jenjang senioritas dan dipilih melalui keanggotaan dalam Komite Tetap Politibiro PKC. Seperti pada pergantian generasi sebelumnya di bawah Jiang Zemin, generasi pemimpin China baru ini akan menjadi inti kepemimpinan kolektif partai di bawah Wakil Presiden Xin Jinping yang akan menjadi Presiden RRC dan Wakil PM Li Keqiang yang akan menjadi PM China.

Sebenarnya, posisi kepemimpinan baru China ini sudah selesai dibicarakan pada pertemuan tahunan di Beidahe pada musim panas lalu. Kongres PKC yang resmi biasanya mengukuhkan pilihan yang sudah ditetapkan melalui pemungutan suara, tradisi yang coba diteruskan untuk menjunjung apa yang disebut sebagai demokrasi proletariat.

Siapa yang akan berkuasa di China pasca-Kongres ke-18 PKC akan ikut menentukan arah dan perkembangan yang akan dihadapi China paling tidak untuk 10 tahun yang akan datang. Banyak pertanyaan bermunculan terkait kelangsungan proses kebangkitan China, nasib laju pertumbuhan ekonominya, serta pengejawantahan politik luar negerinya. (Sumber: diunduh dari http://internasional.kompas.com/read/2012/11/08/06222827/Kongres.PKC.dan.Kepemimpinan.China)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun