KOMPAS.COM, Kamis, 8 November 2012 | 06:22 WIB
Kongres PKC dan Kepemimpinan China
Oleh René L Pattiradjawane
Apakah globalisasi di abad ke-21 memerlukan kebangkitan China? Bagi kebanyakan orang di kawasan Asia, China adalah bagian dari warisan sejarah panjang dalam sejumlah manifestasinya, mulai dari masa kejayaan dinasti sampai era komunisme.
Ketika roda ekonomi dan pertumbuhan China mulai melambat dan laju pertumbuhan industri manufaktur tergoyangkan karena berhenti memasok pesanan global untuk sejumlah produk konsumen, muncul kekhawatiran akan dampaknya yang bisa memengaruhi keseluruhan roda globalisasi.
Ketika kelas menengah China masih rentan, stagnasi pertumbuhan ekonomi di dalam negeri akan menghadirkan benturan sosial mencari keseimbangan baru sampai pulih dan kuatnya kelas menengah menjadi agen pertumbuhan. Para sinolog di luar China ataupun akademisi yang meneliti negara berpenduduk terbesar di dunia ini pun waswas dengan arah yang ingin ditempuh kekuasaan komunisme.
Dalam konteks ini, Kongres ke-18 Partai Komunis China (PKC) yang dimulai di Beijing, Kamis ini—melaksanakan regenerasi 10 tahunan mengikuti batas usia pensiun 68 tahun— memberi makna pemahaman pergeseran kekuasaan di dalam partai komunis tertua di Asia ini.
Kongres ke-18 PKC akan menghadirkan kepemimpinan baru komunisme China dalam tiga institusi penting, Sentral Komite (350 orang), Politbiro (25 orang), dan Komite Tetap Politbiro sebagai kepemimpinan elite PKC yang terdiri atas sembilan orang. Hasil kongres ini nantinya akan berpengaruh pada Kongres Rakyat Nasional (KRN) yang diadakan Maret 2013 untuk menentukan jabatan presiden dan perdana menteri China menggantikan Presiden Hu Jintao (juga menjabat sebagai Sekjen PKC) dan PM Wen Jiabao.
Generasi kelima
Kongres ke-18 PKC kali ini memang berbeda dengan kongres sebelumnya lima tahun lalu ketika faksionalisme di dalam tubuh partai tidak terjadi setajam dewasa ini yang mengorbankan petinggi partai dalam intrik politik modern China. Pertikaian di dalam anggota Politbiro PKC adalah warisan sejarah yang tidak terelakkan sejak masa Mao Zedong.
Kejatuhan Bo Xilai, mantan Sekretaris PKC kota Chongqing, adalah bagian menajamnya faksi yang disebut taizi (pangeran, para pemimpin aristokrasi partai) anak-anak pemimpin PKC revolusioner, berhadapan dengan kelompok tuanpai, mereka yang besar dan mencapai posisi melalui Liga Pemuda Komunis China seperti Presiden Hu Jintao.