Aku malu menghajat namamu dalam do'a ku.Â
Seakan-akan aku mendikte kuasa Tuhan ku.Â
Seakan tak yakin soal apa yang ia pilihkan padaku,Â
tak yakin bahwa itulah yang terbaik bagiku. Seakan memangÂ
harus engkau saja yang disanding kan dengan ku.Â
Khilaf bahwa mungkin yang dihajatkan tak lebih dari yang di takdirkan.
Karena itulah, betapa sungkan aku menagih-nagih. Tapi aku
mencoba berbaik sangka saja bahwa Allah pun tahu, sebab dia
memang akan selalu tahu yang tersembunyi atau yang di ucap oleh bibir.
Cukup lah kuhati-hatikan hajatku, agar memang nafi derita. Bukankah
banyak yang memaksa-maksa tapi akhirnya malah melodrama nasibnya.Â
Ku-Husnudzon kan saja, agar sama sekali tak kecewa bila bukan kau yang
dikabul kan tuhan terhadap ku. Agar tak ku umpat Tuhanku, agar tak terucap
bahwa ia tidak adil atau bahkan malah menafikan doa-doaku. Durhaka aku
wahai gadis, jadi biarlah sebab semua akan sempurna bila Allah yang menyempurnakan takdirnya.
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik untukmu dan boleh
jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia buruk bagimu.Â
Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui" (Al-Baqarah : 216).
Aku malu meminta namamu dalam doaku, seakan-akan aku menduakan Rabb dalam hatiku.
Bukankan hanya ia yang satu-satunya yang berhak menagih cinta ?.
Terkadang aku takut berfikir, apakah hasrat yang kucucurkan pada hatimu amatÂ
egois daripada hasrat yang kupanjatkan pada Allah ku. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H