Mohon tunggu...
Fais Yonas Boa
Fais Yonas Boa Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Peneliti

Aksara, Kopi dan kepolosan Semesta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mencermati Gerakan Tolak Geotermal

15 Januari 2025   07:39 Diperbarui: 15 Januari 2025   07:39 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagaimana dipahami bersama, kebutuhan akan energi nasional meningkat dari tahun ke tahun. Sementara itu, pemanfaatan kekayaan energi dalam negeri cenderung tidak maksimal. Akibatnya praktik impor energi masih terus dilakukan. Kenyataan seperti ini sudah barang tentu menjadi sebuah ironi. Barang kali sadar akan ironi itu maka pemerintah dalam satu dekade terakhir mulai fokus untuk memaksimalkan pemanfaatan sumber-sumber energi yang dimiliki bumi Indonesia.

Dalam pada itu, tuntutan zaman dewasa ini menghendaki penggunaan energi-energi bersih yang notabene ramah lingkungan. Kehendak dunia internasional tersebut kemudian diejawantahkan dalam kesepakatan Paris (Paris Agreement) pada 2015. Kesepakatan ini mendorong negara-negara supaya menerapkan kebijakan lingkungan guna mengurangi emisi yang mana telah mengakibatkan perubahan iklim secara signifikan dalam 30 tahun terakhir. Indonesia telah menandatangani kesepakatan tersebut pada tahun 2016 di New York, Amerika Serikat. Indonesia juga telah meratifikasi perjanjian itu melalui UU Nomor 16 Tahun 2016.

Salah satu sumber daya energi ramah lingkungan dan diupayakan secara maksimal menurut perjanjian tersebut ialah energi panas bumi (geothermal). Pemanfaatan energi geotermal kemudian dipertegas kembali melalui kesepakatan Presidensi G20 yang dilaksanakan di Bali pada 2022. Di bawah rezim Presiden Jokowi, upaya-upaya memaksimalkan energi panas bumi melalui pembangunan dan pengembangan PLTP terus digenjot. Apalagi di bawah rezim Presiden Prabowo yang mencanangkan swasembada energi. Pemanfaatan dan pembauran energi hijau seperti geotermal diidealkan dapat mencapai 40-60% dalam jangka waktu 5 tahun pemerintahannya.

Namun demikian, idea untuk mempercepat tercapainya swasembada energi selalu mendapatkan penolakan dari kelompok tertentu dalam masyarakat. Ketika berhadapan dengan proyek geotermal, kelompok penolak selalu menjadikan isu lingkungan, adat dan HAM sebagai dalil utama penolakan. Isu-isu tersebut memang sangat relevan mengingat pembangunan dan pengembangan proyek geotermal selalu bersentuhan langsung dengan lingkungan, adat dan HAM. Tidak terlepas dari itu, pada dasarnya menolak geotermal merupakan hak konstitusional masyarakat yang terdampak proyek.

Hal yang menjadi problematik dalam kegiatan tolak geotermal sekarang ini adalah aksi-aksi penolakan yang dijamin dan dilindungi konstitusi itu kerap kali memiliki pola-pola tertentu. Kalau dicermati, pola-pola yang ada tidak lagi bertujuan untuk menjembatani kepentingan masyarakat terdampak melainkan menciptakan polarisasi di tengah masyarakat. Akibatnya terdapat kelompok pendukung dan penolak geotermal pada masyarakat terdampak. Berikut saya akan mengemukakan beberapa pola "bahaya" dalam gerakan tolak geotermal.

Pertama, pola Post truth

Pola ini rasanya tidak perlu diterangkan secara panjang lebar. Pengertian paling sederhana post truth adalah suatu karangan tentang kebenaran atau kebohongan yang disuarakan secara terus menerus akan dianggap sebagai kebenaran. Contohnya, mengatakan agama A adalah yang paling dicintai Allah dengan dibeberkan alasan-alasannya. Jika hal ini dikatakan secara masif dan terus menerus maka akan menjadi sebuah kebenaran (diakui secara umum). Akibatnya, banyak yang berpaling dari agama sebelumnya dan memeluk agama A tersebut. Padahal, kenyataannya belum tentu demikian. Pola post truth pada dasarnya mencari simpati publik untuk mengikuti kehendak mereka.

Begitu pula dalam konteks menolak pembangunan negara. Pola post truth sudah sangat tampak. Kelompok penolak melalui medianya selalu menebarkan narasi-narasi menakutkan. Misalkan dalam pembangunan energi negara melalui proyek geotermal. Dikatakan geotermal merusak lingkungan; menggagalkan hasil panen; longsor; mengabaikan hak-hak masyarakat dan adatnya; dan lainnya. Narasi-narasi tanpa pendasaran seperti ini akhirnya diinternalisasikan pada anggota kelompok penolak dan juga publik. Inilah yang kemudian mendatangkan simpati publik.

Kedua, pola Playing victim

Ketika permaian post truth dirasa kurang mendulang simpati publik maka cara lain yang kerap diterapkan adalah playing victim atau bermain sebagai korban kejahatan. Seolah-olah kelompok penolak pembangunan negara kerap mendapati intimidasi negara; hak-hak mereka dirampas; tanah adat mereka diserobot hingga lingungan mereka dirusak. Isu-isu seperti ini tentu saja dikemas dengan sangat apik melalui adegan-adegan visual yang umumnya sudah diseting sedemikian rupa. Maka dari itu, jangan terlalu heran ketika melihat aksi demontrasi yang mana menepatkan ibu-ibu renta di barisan terdepan. Bahkan sampai mengorbankan harga diri para ibu renta dengan aksi telanjang dada di depan aparat seperti yang terjadi dalam aksi tolak geotermal Poco Leok.

Adegan-adegan visual yang kental dengan bumbu-bumbu drama kemudian mendatangkan gelombang dukungan publik karena iba dengan peraga korban mereka. Saya sering katakan playing victim sebagai pola bahaya yang mengorbankan masyarakat karena akan menghalalkan segala cara untuk meraih simpati. Tindakan vulgarisme sekalipun dapat dilakukan. Bagi para pihak yang memiliki kepentingan terselubung yang kerap menjadikan masyarakat sebagai pemeran adegan, pola playing victim sangatlah manjur. Namun, tanpa disadari oleh masyarakat pelaku adegan; mereka adalah korban empuk menyukseskan agenda tolak pembangunan negara.

Ketiga, pola Cocoklogi

Kalau pola post truth dan playing victim tidak juga mampu menguasai simpati publik maka cara tidak logispun dilakukan yakni dengan cocoklogi dan isu SARA. Lihat saja argumentasi yang disuarakan kelompok penolak geotermal Poco Leok sebagaimana dilakukan oleh sebuah LSM di penghujung 2024. Argumentasi dari kelompok yang tidak kita ketahui afiliasinya mendenggungkan bahwa geotermal Poco Leok sebagai bentuk genosida sama seperti yang dialami warga Gaza oleh Israel. Kelompok ini rupanya hendak menyebarkan doktrin sesat dengan menyamakan Indonesia seperti Israel dan Poco Leok seperti Gaza.

Selain itu, kelompok yang hanya berkoar-koar dari jauh ini ingin menggalang simpati publik untuk mendukung agenda penolakan yang tidak berdasar mereka. Ironinya mereka membawa-bawa identitas SARA berupa bendera Palestina untuk menyuarakan penolakan geotermal Poco Leok. Menurut mereka, KFW (Kreditanstalt fur Wiederaufbau) yang merupakan bank pembangunan dan investasi milik negara Jerman yang berfokus pada peningkatan kondisi ekonomi, sosial dan lingkungan; sebagai penyokong utama Israel dalam memerangi Gaza. Dengan bermodalkan cocoklogi, mereka menyimpulkan bahwa proyek geotermal Poco Leok sama seperti kejahatan perang Israel di Gaza. Pertanyaan sederhananya sekarang adalah mampukah kelompok ini mempertanggungjawabkan argumentasi cocoklogi mereka?.

Post Skriptum

Pancasila sebagai pedoman kehidupan bernegara telah jelas-jelas menuntut negara Indonesia menuju kesejahteraan sosial. Hal demikian termaktub dalam Sila Kelima Pancasila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Cita-cita kesejahteraan kemudian dinormatifkan di dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 yang menegaskan bahwa negara Indonesia didirikan demi mencapai kesejahteraan sosial untuk seluruh manusia Indonesia. Cita-cita negara yang ternarasikan dalam 5 prinsip dasar bernegara, dan dinormatifkan dalam konstitusi negara tersebut kemudian dikonkretkan ke dalam peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah.

Namun demikian, kita tidak perlu malu untuk menyadari bahwa cita-cita luhur akan kesejahteraan sosial yang adil itu belum maksimal diperjuangkan oleh negara melalui pemerintah. Dalam pada itu, perlu diingat pula bahwa cita-cita itu memang secara terus menerus diusahakan oleh negara hingga saat ini. Di tengah kebutuhan akan kemajuan dan kesejahteraan dewasa ini, maka negara dikehendaki supaya semakin serius mengupayakannya. Oleh karena itu, pembangunan-pembangunan negara terutama dalam sektor pangan dan energi khususnya geotermal patutlah diselenggarakan.

Dengan demikian, menjadi suatu hal yang sangat urgensi atau mendesak bagi negara untuk segera dan serius membuat langkah-langkah demi menggapai kesejahteraan sosial. Amanah Pancasila sebagai kesepakatan final bangsa Indonesia tidak boleh mengawang di dinding istana dan instansi-instansi pemerintahan saja. Perintah konstitusi tidak boleh bernilai semantik belaka. Perintah konstitusi sudah seharusnya menjadi perintah yang bersifat mengikat dan harus dilaksanakan. Pembangunan dan pengembangan geotermal sebagai amanah dan perintah sudah sepatutnya dikerjakan.

Menolak pembangunan dan pengembangan energi bersih geotermal memang menjadi hak setiap warga negara selama itu atas dasar keadilan, HAM hingga adat istiadat. Akan tetapi, menolak geotermal sama sekali tidak boleh dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan agenda terselubung (hidden interest) pihak-pihak yang hendak memelihara kebodohan dan kemiskinan negara Indonesia; yang lazimnya bersembunyi di balik isu HAM dan lingkungan. Jangan terus biarkan negara kita hanya menjadi sapi perah negara-negara maju.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun