Adegan-adegan visual yang kental dengan bumbu-bumbu drama kemudian mendatangkan gelombang dukungan publik karena iba dengan peraga korban mereka. Saya sering katakan playing victim sebagai pola bahaya yang mengorbankan masyarakat karena akan menghalalkan segala cara untuk meraih simpati. Tindakan vulgarisme sekalipun dapat dilakukan. Bagi para pihak yang memiliki kepentingan terselubung yang kerap menjadikan masyarakat sebagai pemeran adegan, pola playing victim sangatlah manjur. Namun, tanpa disadari oleh masyarakat pelaku adegan; mereka adalah korban empuk menyukseskan agenda tolak pembangunan negara.
Ketiga, pola Cocoklogi
Kalau pola post truth dan playing victim tidak juga mampu menguasai simpati publik maka cara tidak logispun dilakukan yakni dengan cocoklogi dan isu SARA. Lihat saja argumentasi yang disuarakan kelompok penolak geotermal Poco Leok sebagaimana dilakukan oleh sebuah LSM di penghujung 2024. Argumentasi dari kelompok yang tidak kita ketahui afiliasinya mendenggungkan bahwa geotermal Poco Leok sebagai bentuk genosida sama seperti yang dialami warga Gaza oleh Israel. Kelompok ini rupanya hendak menyebarkan doktrin sesat dengan menyamakan Indonesia seperti Israel dan Poco Leok seperti Gaza.
Selain itu, kelompok yang hanya berkoar-koar dari jauh ini ingin menggalang simpati publik untuk mendukung agenda penolakan yang tidak berdasar mereka. Ironinya mereka membawa-bawa identitas SARA berupa bendera Palestina untuk menyuarakan penolakan geotermal Poco Leok. Menurut mereka, KFW (Kreditanstalt fur Wiederaufbau) yang merupakan bank pembangunan dan investasi milik negara Jerman yang berfokus pada peningkatan kondisi ekonomi, sosial dan lingkungan; sebagai penyokong utama Israel dalam memerangi Gaza. Dengan bermodalkan cocoklogi, mereka menyimpulkan bahwa proyek geotermal Poco Leok sama seperti kejahatan perang Israel di Gaza. Pertanyaan sederhananya sekarang adalah mampukah kelompok ini mempertanggungjawabkan argumentasi cocoklogi mereka?.
Post Skriptum
Pancasila sebagai pedoman kehidupan bernegara telah jelas-jelas menuntut negara Indonesia menuju kesejahteraan sosial. Hal demikian termaktub dalam Sila Kelima Pancasila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Cita-cita kesejahteraan kemudian dinormatifkan di dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 yang menegaskan bahwa negara Indonesia didirikan demi mencapai kesejahteraan sosial untuk seluruh manusia Indonesia. Cita-cita negara yang ternarasikan dalam 5 prinsip dasar bernegara, dan dinormatifkan dalam konstitusi negara tersebut kemudian dikonkretkan ke dalam peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah.
Namun demikian, kita tidak perlu malu untuk menyadari bahwa cita-cita luhur akan kesejahteraan sosial yang adil itu belum maksimal diperjuangkan oleh negara melalui pemerintah. Dalam pada itu, perlu diingat pula bahwa cita-cita itu memang secara terus menerus diusahakan oleh negara hingga saat ini. Di tengah kebutuhan akan kemajuan dan kesejahteraan dewasa ini, maka negara dikehendaki supaya semakin serius mengupayakannya. Oleh karena itu, pembangunan-pembangunan negara terutama dalam sektor pangan dan energi khususnya geotermal patutlah diselenggarakan.
Dengan demikian, menjadi suatu hal yang sangat urgensi atau mendesak bagi negara untuk segera dan serius membuat langkah-langkah demi menggapai kesejahteraan sosial. Amanah Pancasila sebagai kesepakatan final bangsa Indonesia tidak boleh mengawang di dinding istana dan instansi-instansi pemerintahan saja. Perintah konstitusi tidak boleh bernilai semantik belaka. Perintah konstitusi sudah seharusnya menjadi perintah yang bersifat mengikat dan harus dilaksanakan. Pembangunan dan pengembangan geotermal sebagai amanah dan perintah sudah sepatutnya dikerjakan.
Menolak pembangunan dan pengembangan energi bersih geotermal memang menjadi hak setiap warga negara selama itu atas dasar keadilan, HAM hingga adat istiadat. Akan tetapi, menolak geotermal sama sekali tidak boleh dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan agenda terselubung (hidden interest) pihak-pihak yang hendak memelihara kebodohan dan kemiskinan negara Indonesia; yang lazimnya bersembunyi di balik isu HAM dan lingkungan. Jangan terus biarkan negara kita hanya menjadi sapi perah negara-negara maju.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H