Sistem hukum ini berkembang di negara-negara Eropa daratan yang sering disebut sebagai Civil Law. Sebenarnya semula berasal dari kodifikasi hukm yang berlaku dikekaisaran Romawi pada masa pemerintahan Kaisar Justinianus abad VI SM. Peraturan-peraturan hukumnya merupakan kumpulan dari berbagai kaidah hukum yang ada sebelum masa Justinianus yang kenudian disebut Corpus Juris Civils.
Dalam perkembangannya, prinsip-prinsip hukum yang terdapat pada Corpus Juris Civils dijadikan dasar perumusan dan kodifikasi hukum di negara-negara Eropa daratan, seperti Jerman, Belanda, Perancis dan Italia juga Amerika Latin dan Asia termasuk Indonesia pada masa penjajahan pemerintah Belanda.
Prinsip utama yang menjadi dasar sistem hukum Eropa Kontinental itu adalah hukum memperoleh kekuatan mengikat, karena diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang berbentuk Undang-undang dan tersusun secara sistematik di dalam kodifikasi atau kompilasi tertentu.
Prinsip dasar ini dianut mengingat bahwa nilai utama yang merupakan tujuan hukum adalah kepastian hukum. Kepastian hukum juga hanya dapat diwujudkan kalau tindakan-tindakan hukum manusia di dalam pergaulan hidup teratur dengan peraturan-peraturan hukum tertulis.
Dengan tujuan hukum itu dan berdasarkan sitem hukum yang dianut, maka hakim tidak dapat leluasa untuk menciptakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat umum. Hakim hanya berfungsi menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan dalam batas-batas wewenangnya. Putusan seorang hakim dalam suatu perkara hanya mengikat para pihak yang berperkara saja (doktrins res ajudikata).
Sejalan dengan pertumbuhan dengan negara-negara nasional di Eropa, yang bertitik tolak kepada unsur kedaulatan (sovereignty) nasional termasuk kedaulatan untuk menetapkan hukum, maka yang menjadi sumber hukum di dalam sistem Eropa Kontinental adalah undang-undang yang dibentuk oleh pemegang kekuasaan legislatif (DPR).
Selain itu juga diakui peraturan-peraturan yang dibuat pemegang kekuasaan eksekutif berdasarkan wewenang yang telah ditetapkan oleh undang-undang dan kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat selama tidak bertentangan dengan Undang-undang.
Berdasarkan sumber-sumber hukum itu, maka sistem hukum Eropa Kontinental penggolongannya ada dua yaitu dalam bidang hukum publik dan hukum privat. Dimana hukum publik mencakup peraturan-peraturan hukum yang mengatur kekuasaaan dan wewenang penguasa/negara serta hubungan-hubungan antara masyarakat dan negara.Â
Sedangkan hukum privat mencakup peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang hubungan antara individu-individu dalam memenuhi kebutuhan hidup demi hidupnya.
Sistem hukum Anglo Saxon yang kemudian dikenal dengan sebutan Anglo Amerika mulai berkembang di Inggris pada abad XI yang sering disebut sebagai sistem Common Law dan sistem unwritten Law. Walaupun disebut sebagai unwritten Law tetapi tidak sepenuhnya benar, karena di dalam sistem hukum ini dikenal pula adanya sumber-sumber hukum yang tertulis (statutes). Sistem hukum Anglo Amerika ini dalam perkembangannya melandasi pula hukum positif di negara-negara Amerika Utara, seperti Kanada dan beberapa negara Asia yang menjadi persemakmuran Inggris.
Sumber hukum dalam sistem hukum Anglo Saxon adalah putusan-putusan hakim atau pengadilan (judicial decisions). Melalui putusan-putusan hakim yang mewujudkan kepastian hukum, maka prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum dibentuk dan menjadi kaidah yang mengikat umum. Disamping putusan hakim, maka kebiasaan-kebiasaan dan peraturan-peraturan tertulis undang-undang dan peraturan administrasi negara diakui, walaupun banyak landasan bagi terbentuknya kebiasaan dan peraturan tertulis itu berasal dari putusan-putusan di dalam pengadilan.
Sumber-sumber hukum itu (putusan hakim, kebiasaan dan administrasi negara) tidak tersusun secara sistematik dalam hirarki tertentu seperti dalam sistem Eropa Kontinental. Selain itu juga di dalam sistem hukum Anglo Amerika adanya peranan yang diberikan kepada seorang hakim berbeda dengan sistem Eropa Kontinental.
Hakim berfungs tidak hanya sebagai pihak yang bertugas menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum saja, melainkan peranannya sangat besar yaitu membentuk seluruh tata kehidupan masyarakat. Hakim mempunyai wewenang yang sangat luas untuk menafsirkan peraturan hukum yang berlaku dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang akan menjadi pegangan bagi hakim-hakim lain untuk memutus perkara yang sejenis yang sering disebut hukum yurisprudensi.
Sistem hukum Anglo Amerika menganut suatu doktrin yang dikenal dengan nama the doctrine of prcedent/strate decisis, yang pada hakekatnya menyatakan dalam memutuskan suatu perkara, seorang hakim harus mendasrkan putusannya kepada prinsip hukum yang sudah ada di dalam putusan hakim lain dari perkara sejenis sebelumnya(precedent).
Dalam hal tidakada putusan hakim lain dari perkara atau putusan hakim yang telah ada sebelumnya kalau dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, maka hakim dapat menetapkan putusan baru berdasaarkan nilai-nilai keadilan, kebenaran dan akal sehat (common sense) yang dimilikinya. Dalam perkembangan sistem hukum Anglo Amerika itu mengenal pula pembagian hukum publik dan hukum privat .
Pengertian yang diberikan kepada hukum publik hampir sama yang diberikan oleh sistem Eropa Kontinental. Sedangkan hukum privat pengertiannya agak berbeda, dimana kalau di dalam sistem Eropa Kontinental hukum privat lebih dimaksudkan sebagai kaidah-kaidah hukum perdata dan hukum daganga yang dicantumkan dalam kodifikasi kedua hukum tersebut, maka bagi Anglo Amerika pengertian hukum privat lebih ditujukan pada kaidah-kaidah hukum tentang hak milik (law of property), hukum tentang orang (law of persons), hukum perjanjian (law of contract) dan hukum tentang perbuatan melawan hukum (law of torts) yang tersebar di dalam peraturan-peraturan tertulis, putusan-putusan hakim dan hukum kebiasan.
Untuk sedikit memperjelas perkembangan dan keterkaitan serta saling berpengaruhan antara sistem hukum Eropa Kontinental (statute) dengan sistem hukum Anglo Saxon (common law/unwritten law>Inggris) alangkah baiknya kita melihat kajian pemikiran sejarah hukum berikut. Sesuai dengan pendapat panutan di Inggris sampai abad XVIII dan XIX, perundang-undangan hanya menempati tempat kedua dalam urut-urutan sumber-sumber hukum Inggris setelah peradilan.
Acts of statutes (undang-undang) dipandang sebagai kekecuailian atas Common law para hakim harus menafsirkan undang-undang ini secara sempit, bahkan lebih mengindahnya kata-katanya daripada jiwanya. Pandangan ini nampaknya semakin lama terdesak dengan meluasnya peranan pembuat undang-undang terutama dalam abad XX ini.
Sedangkan Common Law tetap tradisional, konservatif, perundang-undangan lebih memperhatikan tujuan-tujuan sosial. Di bawah pengaruh pemerintahan Partai Buruh yang berkuasa di Inggris, secara berturut-turut, maka negara makin lama makin terlibat dalam permasalahan-permasalahan ekonomi dan sosial dalam arti perkembangan ke arah penciptaan sebuah welfare state (negara kesejahteraan).
Pandangan yang memberikan prioritas kepada Common law nampaknya sudah mulai luntur pada periode awal berkembangnya perundang-undangan maupun pada awal zaman moderen. Namun, bagaimanapun juga raja-raja Inggris setidak-tidaknya sudah mengeluarkan sama banyaknya undang-undang dibandingkan raja-raja Perancis selama abad-abad XIII-XVI bahkan untuk periode tertentu lebih banyak.
Misalkan Raja Edwarg I oleh beberapa penulis hukum Inggris dijuluki Justinianus Inggris karena banyak undang-undang yang mencolok selama ia berkuasa, bahkan beberapa statutes masih berlaku sampai sekarang. Aktivitas di bidang perundang-undangan terus meningkat sejak abad XIII sampai pada abad XX, seperti halnya di negara-negara Eropa Kontinental dan hal tersebut berlangsung kendatipun adanya sikap common lawyers yang menentangnya.
Suatu perbedaan penting antara Inggris dan negara-negara Eropa lainnya adalah menyangkut wewenang membuat undang-undang yang di Inggris telah jauh lebih dahulu diserahkan kepada parlemen (dewan perwakilan rakyat) daripada negara-negara Eropa Kontinental. Peranan yang dimainkan parlemen dalam bidang perundang-undangan secara berangsur-sngsur bertambah besar. Setelah terjadi begitu banyak konflik antara raja dan parlemen dan dimenangkan oleh parlemen sehingga menetapkan bahwa tidakada sebuah undang-undang bisa dikeluarkan tanpa persetujuan parlemen.
Prinsip ini baru diterima di Perancis pada saat berkobarnya revolusi Perancis. Meskipun perundang-undangan di Inggris telah sejak lama dipandang hanya sebagai tambahan pada peradilan, kendatipun susunan parlemen yang semakin lama semakin demokratis, namun dalam abad XIX dan terutama abad XX memperlihatkan suatu ekspansi yang luar biasa.
Melalui jalur perundang-undangan telah diadakan perubahan-perubahan mendasar di dalam susunan peradilan dan oleh sebab itu reformasi di dalam hukum acara dan hubungan serta perimbangan timbal balik antara Common Law dan Equity. Kendatipun peranan besar yang dimainkan perundang-undangan, namun tetap saja Inggris merupakan sebuah negara tanpa undang-undang dasar dan tanpa kitab undang-undang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI