Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia
"Kami Putra dan PutriKami Putra dan Putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia
Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia"
Makna yang Sakral
3 pernyataan yang diikrarkan para pemuda Indonesia jauh sebelum kemerdekaan dikenal dengan nama Sumpah Pemuda (1928). Yah, namanya sumpah saudara-saudara...bukan janji! Mari kita mulai dari satu pertanyaan sederhana; mengapa namanya Sumpah Pemuda bukan Janji Pemuda? Menurut KBBI, sumpah adalah:Â
1. pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci (untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhannya dan sebagainya);Â
2. pernyataan disertai tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenarannya atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar; 3. janji atau ikrar yang teguh (akan menunaikan sesuatu).
Makna yang melekat dalam kata sumpah sangatlah sakral. Sumpah itu tentang Tuhan; tentang tekad yang kokoh; dan tentang sesuatu yang harus dilakukan. Begitu pula dengan Sumpah Pemuda.Â
Sumpah yang dilakukan Putra dan Putri Indonesia di masa perjuangan tersebut tentu saja mengenai Tuhan yang diandalkan dalam perjuangan; itikad dan tekad yang tak goyah untuk bangsa; dan perjuangan tanpa syarat demi Ibu Pertiwi
. Ini artinya sakralitas Sumpah Pemuda, bukan semata-mata karena mengandalkan Tuhan. Akan tetapi, tekad yang kuat dan kesadaran untuk berjuang tanpa dongeng kekuasaan; juga menjadi nilai mulia.
Semangat mulia yang berkobar-kobar dalam"ikrar suci" para pemuda Indonesia hendaknya senantiasa membangunkan kesadaran manusia Indonesia untuk mengobarkan semangat bertanah air satu; berbangsa satu; dan berbahasa satu.Â
Oleh karena itu, Sumpah Pemuda tidak boleh menjadi seremoni tahunan belaka. Sumpah yang berenergi sakral itu tidak boleh dijadikan seremonial kenegaraan yang tujuannya hanya untuk hingar bingar di aula masing-masing instansi . Barang kali juga untuk menghamburkan uang negara.
Kira-kira inilah alasan fundamental mengapa "ikrar suci" para pemuda pada 28 Oktober 1928 namanya Sumpah Pemuda bukan Janji Pemuda. Janji lazimnya berupa pernyataan akan kesanggupan melakukan sesuatu; persetujuan antarpihak. Sumpah Pemuda tidaklah sekadar pernyataan sanggup ataupun persetujuan antara putra dan putri Indonesia. Janji memang ada yang suci yakni janji kawin...hahaha
Kesadaran Kolektif
Kesakralan makna Sumpah Pemuda tidaklah terjadi begitu saja. Putra-putri Indonesia tentu tidak asal merajut dan membenamkan nilai-nilai sakral kalau tanpa digugah oleh kesadaran kolektif.Â
Para pahlawan muda bangsa Indonesia mengacu pada satu perasaan yang sama yang kita sebut senasib sepenanggungan. Bahwasannya semua rakyat Indonesia memiliki nasib dan masa lalu yang sama yaitu sama-sama dijajah dan ditindas oleh bangsa kolonial.
Tidak sampai disitu, kesadaran bersama akan merdeka hanya dapat dicapai oleh persatuan berperan penting dalam melahirkan sumpah yang luhur tersebut. Bersatu untuk merdeka tampaknya telah melekat dengan erat pada pikiran pemuda waktu itu.Â
Para pemuda sadar betul akan keberanekaragaman identitas (SARA) masyarakat Indonesia. Jika setiap identitas tersebut berjuang sendiri-sendiri maka dapat dipastikan kemerdekaan makin sulit diraih.
Kesadaran kolektif yang kelak menjadi imajinasi kolektif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pada dasarnya menjadi tonggak Sumpah Pemuda itu bernilai mulia dan luhur.
Semuanya Tentang Persatuan
Kesadaran kolektif paling fundamental dari para pemuda ialah persatuan. Kelompok usia yang masih dapat dikategorikan labil tersebut tampaknya betul-betul paham bahwa tanpa persatuan, tujuan bersama akan kebebasan dan kemerdekaan tidak mungkin dapat digapai. "
Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh" kira-kira inilah semboyan yang pantas dilekatkan pada semangat para pemuda waktu itu. Pada akhirnya, persatuan itulah yang memungkinkan kita dapat terlepas dari belenggu penindasan dan penjajahan.
Bicara soal persatuan bagi bangsa Indonesia, sebenarnya memiliki runutan sejarah yang panjang. Selain meletusnya Sumpah Pemuda, bangsa manusia nusantara juga memiliki Sumpah Palapa yang diikrarkan Mahapatih Gadja Mada (1336). Di dalam sumpahnya itu, sang Mahapatih berjanji bahwa tidak akan berhenti berpuasa sebelum kerajaan-kerajaan di nusantara tunduk pada kekuasaan Majapahit.
Secara kacamata kekuasaan, Sumpah Palapa tentu sebagai suatu upaya politik demi memperluas wilayah kekuasaan atau yang dalam konteks zaman modern disebut sebagai ekspansi wilayah.Â
Akan tetapi, kalau dilihat dari sudut pandang konsep bangsa dan negara maka dapat dikatakan sebagai cara untuk mempersatukan kerajaan-kerajaan lain di bawah satu naungan nusantara.Â
Oleh sebab itu, Sumpah Palapa tidaklah sekadar tentang kekuasaan tetapi juga persatuan nusantara. Sumpah Palapa adalah embrio persatuan wilayah Indonesia, karena sumpah inilah yang di kemudian hari menuntun bangsa-bangsa di wilayah Indonesia untuk bersatu dan bertumbuh dalam satu payung yang bernama Indonesia.
Sejarah panjang akan persatuan Indonesia setidaknya membuka wawasan kita dewasa ini bahwasaannya negara Indonesia adalah negara yang lahir dari rahim persatuan. Persatuan adalah sumbu untuk menyalakan api perjuangan demi kebebasan.Â
Namun demikian, tidak boleh menutup mata juga dengan kondisi bangsa Indonesia yang masih saja memelihara ego identitas sekarang ini. Reformasi (1998) yang diperjuangkan dengan darah anak bangsa rupanya dijadikan rumah baru bagi kelompok-kelompok "imigran" untuk memecah belah bangsa.
Agama yang seharusnya menjadi pedoman  hidup dalam memperkokoh persatuan, telah berubah wajah menjadi momok persatuan. Miris memang! Tapi inilah kenyataan hidup bersosial kita dalam 2 dekade ini. Anak-anak muda tidak lagi dipupuk untuk menyuburkan semangat persatuan, tetapi didoktrin dengan ajaran-ajaran sesat yang mengkafirkan sesama anak bangsa yang berbeda dengan kelompok picik mereka. Jangan heran, anak-anak muda kerap dijadikan babu atas nama sorga. Atas nama cucu Nabi. Padahal, Nabi selalu menjadi panutan untuk mempersatukan umat.Â
Oleh sebab itu, persatuan yang sempat dirusak oleh kelompok-kelompok pedagang agama yang notabene bukan manusia asli nusantara (pribumi) dan tidak memiliki sejarah memperjuangkan kemerdekaan; haruslah segera dihentikan. Laju penyebaran benih perpecahan bangsa harus kita berantas bersama-sama.Â
Sakralitas Sumpah Pemuda yang dilandasi kesadaran kolektif akan persatuan wajib selalu di tanamkan pada generasi kita; anak-anak kita; cucu-cucu kita. Kobaran api persatuan tidak boleh dipadamkan oleh kesesatan-kesesatan atas nama agama dan Tuhan.
Bangun dan Bergegaslah
Persatuan yang memang menjadi sendi utama para pemuda dalam memperjuangkan kemerdekaan, kini mengalami adaptasi kebermaknaan. Perjuangan kita sebagai bangsa tidak lagi melepaskan belenggu penindasan dan penjajahan bangsa lain, melainkan membebaskan diri dari cengkraman kebodohan dan kemiskinan.Â
Tidak perlu data untuk mengatakan kebodohan masih menjajali bangsa Indonesia. Lihatlah masyarakat kita yang gemar sekali meributkan urusan keyakinan dan kepercayaan. Kesulitan ijin pembangunan tempat ibadah; pembubaran pengajian; pengkafiran sesama; mudah didoktrin dan lainnya.
Dalam konteks memajukan negara juga demikian. Menolak pembangunan negara tanpa alasan yang waras; menuding pelanggaran HAM oleh negara karena tak dapat jatah uang pembebasan lahan; gampang digoreng isu palsu (hoax) dan lainnya.Â
Kebodohan masyarakat kita memang akibat negara yang tidak pernah sungguh-sungguh memperjuangkan sektor pendidikan. Gaji guru yang tidak manusiawi; guru yang bermutu rendah yang mengabdi hanya untuk gaji bulanan; sistem pendidikan yang tidak beridentitas; keluarga yang tidak pernah mendidik anak-anak mereka dan lainnya.
Tidak perlu melihat data BPS untuk menyadari kemiskinan bangsa kita. Mari kita sadari dengan akal dan hati kita terhadap kehidupan ekonomi di lingkungan kita sendiri. Ataupun pada diri kita sendiri. Rasa-rasanya, jargon peyoratif "yang kaya makin kaya; yang miskin makin miskin"Â tidak dapat dipungkiri oleh angka dan data statistik.Â
Benar kata Presiden Prabowo bahwa kita tidak boleh terlena dengan data-data dan penghargaan-penghargaan, sementara di lapangan faktanya tidak begitu. Sama halnnya dengan kebodohan, kemiskinan juga akibat dari negara yang memang tidak serius menjalankan Pasal 33 UUD 1945.
Pemanfaatan sumber daya alam kita masih jauh terpanggang dari api kemajuan. Lihat saja dalam bidang pertanian, potensi sektor pertanian kita sebagai wilayah tropis seharusnya menjadi lumbung pangan dunia. Namun, kebiasaan pemerintah dalam mengimpor pangan membuat pertanian kita kerdil.Â
Begitu pula dalam sektor energi, terutama energi terbarukan yang cadangannya sangat melimpah tapi pemanfaatannya sangat minim. Seperti pangan, kebiasaan impor energi juga membuat bangsa kita terlelap untuk memanfaatkan energi-energi yang terkandung pada bumi Indonesia dengan baik.
Perhatian data energi terbarukan alias energi hijau berikut:
Bangun dan bergegaslah wahai para pemuda. Kebodohan dan kemiskinan bangsa kita sekarang dan di masa depan ditentukan oleh keberadaan kita sekarang ini. Mari berani untuk melepaskan diri dari penjajahan dan penindasan oleh kebodohan dan kemiskinan. Mari kita jadikan Sumpah Pemuda yang sakral itu menjadi nafas untuk menggali potensi diri kita melalui kreatifitas dan inovasi kita pada berbagai sektor kehidupan sosial.Â
Lebih dari itu, mari bersama-sama mengupayakan kemajuan bangsa dan negara kita. Pendidikan kita tidak boleh untuk mengejar ijazah saja. Pendidikan harus mampu membebaskan kita.
Bangkitlah wahai para pemuda...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H