Mohon tunggu...
Fais Yonas Boa
Fais Yonas Boa Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Peneliti

Aksara, Kopi dan kepolosan Semesta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sumpah Itu Sakral! Bukan Seremonial!

29 Oktober 2024   10:28 Diperbarui: 29 Oktober 2024   11:27 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://cdn.rri.co.id/

Bicara soal persatuan bagi bangsa Indonesia, sebenarnya memiliki runutan sejarah yang panjang. Selain meletusnya Sumpah Pemuda, bangsa manusia nusantara juga memiliki Sumpah Palapa yang diikrarkan Mahapatih Gadja Mada (1336). Di dalam sumpahnya itu, sang Mahapatih berjanji bahwa tidak akan berhenti berpuasa sebelum kerajaan-kerajaan di nusantara tunduk pada kekuasaan Majapahit.

Secara kacamata kekuasaan, Sumpah Palapa tentu sebagai suatu upaya politik demi memperluas wilayah kekuasaan atau yang dalam konteks zaman modern disebut sebagai ekspansi wilayah. 

Akan tetapi, kalau dilihat dari sudut pandang konsep bangsa dan negara maka dapat dikatakan sebagai cara untuk mempersatukan kerajaan-kerajaan lain di bawah satu naungan nusantara. 

Oleh sebab itu, Sumpah Palapa tidaklah sekadar tentang kekuasaan tetapi juga persatuan nusantara. Sumpah Palapa adalah embrio persatuan wilayah Indonesia, karena sumpah inilah yang di kemudian hari menuntun bangsa-bangsa di wilayah Indonesia untuk bersatu dan bertumbuh dalam satu payung yang bernama Indonesia.

Sejarah panjang akan persatuan Indonesia setidaknya membuka wawasan kita dewasa ini bahwasaannya negara Indonesia adalah negara yang lahir dari rahim persatuan. Persatuan adalah sumbu untuk menyalakan api perjuangan demi kebebasan. 

Namun demikian, tidak boleh menutup mata juga dengan kondisi bangsa Indonesia yang masih saja memelihara ego identitas sekarang ini. Reformasi (1998) yang diperjuangkan dengan darah anak bangsa rupanya dijadikan rumah baru bagi kelompok-kelompok "imigran" untuk memecah belah bangsa.

Agama yang seharusnya menjadi pedoman  hidup dalam memperkokoh persatuan, telah berubah wajah menjadi momok persatuan. Miris memang! Tapi inilah kenyataan hidup bersosial kita dalam 2 dekade ini. Anak-anak muda tidak lagi dipupuk untuk menyuburkan semangat persatuan, tetapi didoktrin dengan ajaran-ajaran sesat yang mengkafirkan sesama anak bangsa yang berbeda dengan kelompok picik mereka. Jangan heran, anak-anak muda kerap dijadikan babu atas nama sorga. Atas nama cucu Nabi. Padahal, Nabi selalu menjadi panutan untuk mempersatukan umat. 

Oleh sebab itu, persatuan yang sempat dirusak oleh kelompok-kelompok pedagang agama yang notabene bukan manusia asli nusantara (pribumi) dan tidak memiliki sejarah memperjuangkan kemerdekaan; haruslah segera dihentikan. Laju penyebaran benih perpecahan bangsa harus kita berantas bersama-sama. 

Sakralitas Sumpah Pemuda yang dilandasi kesadaran kolektif akan persatuan wajib selalu di tanamkan pada generasi kita; anak-anak kita; cucu-cucu kita. Kobaran api persatuan tidak boleh dipadamkan oleh kesesatan-kesesatan atas nama agama dan Tuhan.

Bangun dan Bergegaslah

Persatuan yang memang menjadi sendi utama para pemuda dalam memperjuangkan kemerdekaan, kini mengalami adaptasi kebermaknaan. Perjuangan kita sebagai bangsa tidak lagi melepaskan belenggu penindasan dan penjajahan bangsa lain, melainkan membebaskan diri dari cengkraman kebodohan dan kemiskinan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun