Disadari atau tidak, hingga kini masih terjadi yang namanya pertentangan antara adat dengan negara. Pertentangan ini lazim terjadi ketika keduanya berhadapan muka dalam suatu kepentingan semisal pembangunan. Persoalan yang selalu timbul adalah mengenai eksistensi adat dengan negara. Kerap kali terjadi adat merasa disisihkan eksistensinya ketika ada pembangunan negara. Begitu pula negara merasa diacuhkan ketika berjumpa dengan adat.
Lalu, bagaimana supaya masalah eksistensi adat dengan negara dapat diseimbangkan? Kunci utama menciptakan keseimbangan adalah menempatkan eksistensi adat dengan negara secara proporsional. Proporsional maksudnya sesuai dengan kedudukan masing-masing. Adat sebagai organisasi kesukuan penting untuk menempatkan diri di dalam kehidupan bernegara. Begitu pula negara sebagai organisasi besar harus selalu menghormati eksistensi adat.
Secara kesepakatan tertinggi rakyat Indonesia sebagaimana tertuang dalam konstitusi negara (UUD 1945), kedudukan proporsional adat dengan negara sebenarnya sudah jelas. Eksistensi adat dijamin dan dilindungi konstitusi. Hal demikian termaktub jelas dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Ketentuan konstitusi di atas, menegaskan bahwa eksistensi adat di negara Indonesia sangatlah terjamin dan terlindungi. Namun demikian, persoalannya sekarang ialah pengakuan dan penghormatan terhadap adat belumlah dikonkretkan ke dalam peraturan perundang-undangan yang sifatnya teknis. Katakanlah UU tentang Masyarakat Adat yang hingga kini masih bersifat rancangan. Padahal, RUU Masyarakat Adat sangatlah penting untuk menguatkan eksistensi adat dihadapan negara.
Selain itu, harus jujur diakui bahwa eksistensi adat kerap kali diperjuangkan masyarakat hanya ketika berhadapan dengan proyek-proyek pembangunan negara yang notabene untuk kepentingan umum. Artinya, masyarakat beradat seringkali memperjuangkan eksistensiya secara aksidental saja sehingga menimbulkan adu kuat dengan negara. Upaya memperjuangkan eksistensi adatpun hanya dilakukan dalam urusan dengan tanah.
Sementara itu, terkait eksistensi negara diatur jelas dalam konstitusi negara terutama dalam Pasal 33 UUD 1945 mengenai Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Nasional. Dalam hal pembangunan negara untuk kepentingan umum diterangkan dalam Pasal 33 ayat (3): Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Ketentuan konstitusi Pasal 33 ayat (3) kemudian kita kenal dengan istilah kekuasaan negara. Kekuasaan negara ini mencakup kuasa atas tanah, air dan segenap kekayaan alam yang terkandung di wilayah NKRI. Kekuasaan negara di sini dalam artian negara berhak dan wajib untuk mengelola segala kekayaan alam yang ada di wilayah NKRI. Tujuannya jelas yakni demi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Mengenai eksistensi negara melalui kekuasaannya atas tanah, air dan kekayaan alam kemudian ditekniskan ke dalam peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945. Lihatlah UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. UU ini secara konkret mengatur soal peran penting negara dan warga masyarakat dalam membangun negara demi kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Satu hal yang paling unik dari pengaturan UU Agraria nasional tersebut ialah diperkenalkannya asas fungsi sosial tanah (Pasal 6 UU PA).
Asas fungsi sosial tanah mengukuhkan kekuasaan negara atas tanah demi menggapai kemakmuran melalui pembangunan-pembangunan negara. Katakanlah pembangunan jalan raya, pemanfaatan geotermal dan pemanfaatan sumber daya alam yang terkandung di dalam tanah. Asas ini menghendaki supaya setiap jengkal tanah di wilayah NKRI memiliki nilai sosial-kepentingan umum. Begitu pula bagi tanah-tanah milik pribadi ataupun komunal.
Namun demikian, tidak boleh kita nafikan bahwa asas fungsi sosial tanah inilah yang kerap kali memunculkan konflik eksistensi antara adat dengan negara. Adat dalam hal ini kerap kali enggan menyerahkan tanah untuk kepentingan umum karena merasa hak adat atas tanah mutlak adanya. Begitu pula negara yang seringkali menggunakan kekuasaannya untuk melanggengkan pembangunan kepentingan umum. Padahal kalau direnungkan, nilai sosial pada hak-hak atas tanah toh untuk memajukan perekonomian dan kemaslahatan bersama.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa menempatkan eksistensi adat dengan negara secara proporsional bukanlah perkara mudah. Oleh sebab itu, perlu dilakukan upaya-upaya serius supaya dapat menempatkan eksistensi adat dan negara secara proporsional. Ada 3 upaya yang wajib diperjuangkan.
Pertama, membentuk kesadaran kolektif.
Kesadaran kolektif adalah kesadaran bersama mengenai sesuatu hal terutama yang berkaitan erat dengan kebaikan bersama. Kesadaran kolektif yang dikehendaki dalam hal menyeimbangkan eksistensi adat dengan negara adalah kesadaran akan persatuan dan kesejahteraan sosial.
Sebagai warga negara Indonesia sebaiknya menyadari nilai hakiki persatuan bahwa persatuan Indonesia bukanlah persatuan wilayah administatif belaka, melainkan persatuan karena senasib sepenanggungan. Terlebih lagi persatuan untuk menggapai kemakmuran bersama. Atas dasar persatuan itulah, pemerintah dan masyarakat bersama-sama berpartisipasi aktif dalam membangun negara.
Di dalam usaha bersama membangun negara itu pula, kesadaran kolektif kita sebagai satu bangsa hendaknya dapat terwujudnyatakan di dalam usaha-usaha pembangunan untuk kepentingan umum. Misalkan pembangunan jalan raya ataupun pemanfaatan sumber daya alam semacam geotermal. Eksistensi adat sebaiknya senantiasa mendukung negara. Begitu pula eksistensi negara seharusnya selalu memperhatikan kepentingan adat. Kesadaran kolektif akan persatuan niscaya menjembatani kita pada keadilan sosial.
Kedua, kepatuhan hukum.
Kepatuhan hukum adalah sikap taat terhadap perintah aturan/hukum. Sederhananya melaksanakan ketentuan yang tertuang dalam hukum semisal peraturan perundang-undangan. Kepatuhan hukum dalam menyeimbangkan eksistensi adat dengan negara sangatlah dibutuhkan karena akan dengan mudah menempatkan kedudukan keduanya secara proporsional. Terkait kepatuhan hukum, sebenarnya kita hanya perlu menaati ketentuan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 33 UUD 1945 *beserta peraturan turunannya*.
Kapatuhan hukum terhadap Pasal 18B ayat (2) mendorong adat untuk menjalankan eksistensinya, sekaligus menuntut negara untuk menghormatinya. Terutama sekali mewajibkan negara untuk menjamin dan melindungi eksistensi adat. Sementara itu, kepatuhan hukum terhadap Pasal 33 mewajibkan negara untuk secara aktif mengelola kekayaan-kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia untuk digunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat.
Pasal ini tentu saja memperkuat eksistensi negara. Bersamaan dengan itu, seluruh rakyat Indonesia termasuk adat wajib mendukungnya. Dukungan adat terhadap eksistensi negara dapat dilakukan dengan cara bersedia mengalihkan hak atas tanah demi terlaksananya pembangunan untuk kepentingan umum. Kepatuhan hukum juga menuntut adat untuk menjalankan asas fungsi sosial tanah.
Ketiga, kepastian hukum.
Selain membangun kesadaran kolektif akan makna persatuan Indonesia demi kemakmuran bersama dan kepatuhan hukum, diperlukan juga yang namanya kepastian hukum. Kepastian hukum merupakan kejelasan terhadap suatu peristiwa hukum, mulai dari kejelasan status, larangan hingga sanksi. Dalam kaitannya dengan menyeimbangkan eksistensi adat dan negara, maka wajiblah memberi kepastian hukum yang jelas; tidak ambigu, terhadap keduanya.
Sebagaimana telah disampaikan bahwa eksistensi adat yang secara jelas diakui keberadaannya oleh konstitusi negara (Pasal 18B ayat (2) ), sebenarnya masih belum memberikan kepastian hukum. Mengapa demikian? Karena belum ada peraturan perundang-undangan yang menjadi turunan dari ketentuan UUD tersebut. Sudah sebaiknya Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU Masyarakat Adat) segera disahkan menjadi UU. RUU tersebut sangatlah penting untuk menjamin eksistensi adat.
Kepastian hukum terhadap adat semisal disahkannya RUU Masyarakat Adat menjadi UU kelak menyeimbangkan eksistensi adat dengan negara. Eksistensi negara yang sudah berkepastian hukum sudah seyogyanya beriringan dengan eksistensi adat yang berkepastian hukum.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI