Mohon tunggu...
Fais Yonas Boa
Fais Yonas Boa Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Peneliti

Aksara, Kopi dan kepolosan Semesta

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Geotermal, Kekuasaan Adat Vs Kekuasaan Negara

24 Juli 2024   20:03 Diperbarui: 24 Juli 2024   20:13 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia adalah negara dengan cadangan geotermal terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Bahkan, sebesar 40% cadangan panas bumi di dunia ada didalam bumi Indonesia.Pada tahun 2023 kementerian ESDM mencatat potensi sumber energi yang terkandung dalam perut bumi Indonesia mencapai 23.965,5 megawatt (MW).

Potensi tersebut baru dimanfaatkan sekitar 9,8 persen dengan kapasitas pembangkit listrik terpasang sebesar 2.342,63 MW. Ini artinya cadangan panas bumi yang terkandung dalam perut bumi kita masih sekitar 90% belum dimanfaatkan. Hal ini tentu saja sangat disayangkan di tengah situasi kehidupan ekonomi masyarakat yang semakin tak menentu.

Padahal kalau dicermati secara realistis, besarnya cadangan energi panas bumi yang kita miliki sudah semestinya dijadikan harta karun kemajuan bagi negara, bukan malahan dianggap sebagai kutukan. Tidak terlepas dari itu, penting untuk disadari bahwa kebutuhan akan energi terbarukan dewasa ini semakin tinggi.

Pola kehidupan zaman yang menuntut kreativitas dan inovasi pada berbagai sektor kehidupan tentu saja berjalan seiring dengan kebutuhan akan energi. Terlebih lagi, energi panas bumi merupakan energi bersih yang ramah lingkungan karena cadangannya tidak akan habis dan selalu terbarukan. Maka dari itu, pemanfaatan energi geotermal wajiblah dimaksimalkan guna menjadi jawaban atas tuntutan stabilitas energi.

Kekuasaan Adat-Tanah Ulayat

Pemanfaatan geotermal sebagai solusi demi menjamin stabilitas energi, sekaligus meminimalisir dampak buruk bagi lingkungan, dalam pelaksanaannya akan berhadapan langsung dengan kekuasaan adat; terutama hak ulayat atas tanah. Kekuasaan adat merupakan kewenangan dari suatu masyarakat adat atas segala sesuatu yang berkaitan dengan adat setempat. Sebagaimana diketahui, tanah adat adalah objek utama dari kekuasaan adat.  

Di dalam kaitannya dengan kekuasaan adat atas tanah maka disebut hak ulayat. Hak ulayat merupakan hak atas tanah yang bersifat turun temurun dan bersifat komunal (milik bersama) pada suatu masyarakat adat. Hak milik bersama yang kultural tersebut sering kali kita jumpai pada masyarakat-masyarakat yang memang pola kehidupannya beradat. Beradat dalam hal ini bermakna menjalankan kebiasaan yang terwariskan dari leluhur dan moyang mereka secara konsisten.

Sebagai negara yang terbentuk dari beranekaragam suku bangsa dengan adat budaya berbeda, Indonesia tentunya mengayomi keberadaan segenap elemen masyarakat tersebut. Secara konstitusi ditegaskan bahwa negara Indonesia menghormati, menjamin dan melindungi segala macam adat budaya yang hidup di masyarakat; selama itu sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI.

Dalam pada itu, eksistensi hak ulayat yang melekat erat dengan masyarakat beradat secara terang diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945: Negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Ketentuan pasal ini sudah jelas memberikan legitimasi (pengakuan) konstitusional terhadap adat beserta ulayatnya.

Namun demikian, tidak boleh menolak fakta bahwa ketika bicara Pasal 18B ayat (2) di atas, pada kenyataannya kerap kali ditafsir secara serampangan. Bahkan, tidak jarang ditafsir sesuai keperluan. Itulah alasan mengapa banyak orang awam hukum tiba-tiba bicara pasal ini ketika berhadapan dengan pembangunan negara. Oleh sebab itu, mari kita memahami pengaturan pasal ini berdasarkan hukum konstitusi.

Satu kemutlakan dari pasal ini ialah memberi pengakuan dan penghormatan yang tinggi terhadap keberadaan masyarakat adat termasuk hak ulayat. Akan tetapi, pengakuan dan penghormatan demikian tidaklah bersifat mutlak alias bersyarat. Bersyarat artinya: pertama, adat-budaya yang dimiliki suatu masyarakat diakui, dilindungi dan dihormati negara sepanjang masih hidup dan dipraktekan.

Kalau dikontekstualisasikan dengan pola masyarakat beradat maka Pasal 18B ayat (2) akan berlaku ketika kelembagaan adat suatu masyarakat masih hidup; katakanlah tanah komunalnya masih ada. Selain itu, struktur kepengurusan adatnya masih jelas. Lebih dari itu, apakah acara dan ritual-ritual adat masih dipraktekan secara terus menerus. Kalau fakta beradat dalam suatu masyarakat konsisten turun-temurun dilaksanakan, maka sudah pasti pengakuan terhadap adat beserta hak ulayatnya mutlak diakui.

Kedua, selama adat-budaya tidak bertentangan dengan perkembangan masyarakat dan zaman. Kalau syarat pertama mengenai konsistensi beradat maka syarat yang kedua terkait relevansi dari keberlakuan adat terhadap tuntutan perkembangan masyarakat dan zaman. Misalkan, cara berladang yang berpindah-pindah (nomaden) yang mana masyarakat membakar hutan untuk membuka ladang baru.

Adat/budaya membakar hutan tentu sangatlah berbahaya jika dilakukan zaman sekarang karena dapat mendatangkan musibah kebakaran hutan. Sebagaimana diketahui, kasus-kasus kebakaran hutan yang disengaja atau tidak sengaja yang sering terjadi di Indonesia telah menimbulkan kerugian bagi banyak orang. Maka dari itu, adat seperti ini tidak boleh diwariskan terus menerus karena tidak lagi sesuai dengan perkembangan masyarakat dan zaman.

Kekuasaan adat-tanah ulayat sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, kerap kali dijadikan tameng untuk melawan pembangunan negara sebagaimana ketika menolak pemanfaatan energi geotermal. Padahal secara konstitusi hak ulayat tidaklah bersifat mutlak. Tidak mutlak karena nilai keadilan sosial sebagaimana diamanatkan Pancasila dan UUD 1945, menghendaki supaya segala kekayaan yang terkandung di dalam bumi wilayah NKRI (termasuk tanah ulayat) dikuasai negara untuk dipergunakan bagi kemaslahatan rakyat banyak. 

Kekuasaan Negara-Pembangunan

Ketika berbicara pembangunan dan pengembangan geotermal maka bukan hanya tentang hak ulayat masyarakat adat, tetapi juga soal kekuasaan negara. Apa itu kekuasaan negara? Kekuasaan negara adalah kewenangan negara melalui pemerintah (pusat sampai daerah) untuk mengelola dan menyelenggarakan pemerintahan.

Adapun tolak ukur pengelolaan dan penyelenggaraan pemerintahan adalah sesuai dengan cita-cita dan tujuan bernegara sebagaimana dalam Pancasila dan UUD 1945. Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 menerangkan 4 tujuan pokok bernegarayaitu:

  • Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
  • Memajukan kesejahteraan umum;
  • Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan
  • Ikut  melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Tujuan-tujuan bernegara tersebut di atas, kemudian mendorong negara supaya dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pemerintahannya wajib untuk mengupayakan tercapainya tujuan tersebut. Dengan demikian, seluruh peraturan dan kebijakan yang dibuat negara bertujuan untuk: melindungi warga negara; kesejahteraan rakyat; kecerdasan bangsa; dan menjaga perdamaian dunia.

Usaha-usaha negara dalam menggapai tujuan dan cita-cita negara, pada dasarnya menjadi kewajiban negara. Sebagai kewajiban maka itu artinya suatu keharusan bagi negara untuk melaksanakannya. Begitu pula dalam konteks pemanfaatan Energi Bersih Terbarukan (EBT) seperti geotermal. Ini merupakan salah satu upaya negara menunaikan kewajibannya memperjuangkan kesejahteraan rakyat.

Agar negara secara efektif dan efisien melaksanakan kewajibannya, konstitusi juga memberikan kekuasaan yang dominan. Dalam hal memanfaatkan sumber daya alam yang terkandung di dalam bumi Indonesia dari Sabang-Merauke; dari Miangas sampai Pulau Rote, negara diberi kekuasaan untuk mengola dan memanfaatkan kekayaan alam tersebut. Kekuasaan negara tersebut diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945:

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat

Kalau diperhatikan ketentuan Pasal Perekonomian Negara di atas, dapat dipahami bahwa negara diberi kekuasaan untuk mengelola seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah NKRI untuk digunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Hal demikian berarti segala kekayaan alam di wilayah NKRI wajiblah dikuasai negara. Kekuasaan negara atas kekayaan "isi bumi" berlaku untuk setiap jengkal tanah yang menjadi teritori NKRI. Termasuk tanah ulayat.

Sebagaimana diketahui bersama, bumi Indonesia dikaruniai kekayaan alam berlimpah termasuk panas bumi. Dengan demikian, geotermal wajiblah dikuasai negara untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, pembangunan dan pengembangan proyek geotermal yang notabene memanfaatkan energi panas bumi untuk stabilitas energi negara wajib dilakukan.

Catatan Akhir

Jika dicermati ulasan mengenai geotermal, tanah ulayat dan kekuasaan negara di atas, maka sangat perlu untuk membuat beberapa catatan.

Pertama, geotermal adalah kekayaan alam bangsa Indonesia yang semestinya dimanfaatkan untuk memajukan negara dan mensejahterakan rakyat.

Kedua, geotermal yang terkategorikan sebagai EBT adalah energi ramah lingkungan dan dapat mengurangi ketergantungan terhadap energi berbahan fosil yang berdampak buruk pada lingkungan.

Ketiga, tanah ulayat masyarakat adat wajib dihargai, dihormati dan dijamin keberadaannya oleh UUD 1945 (Pasal 18B ayat (2) ) selama tidak bertentangan dengan kebutuhan negara dan zaman. Itulah alasan mengapa hak ulayat tidak bersifat mutlak.

Keempat, negara diberi kewajiban sekaligus kekuasaan (Pasal 33 ayat (3) ) yang besar untuk memanfaatkan kekayaan alam yang ada di dalam bumi Indonesia untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun