Mohon tunggu...
Fais Yonas Boa
Fais Yonas Boa Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Peneliti

Aksara, Kopi dan kepolosan Semesta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengapa Masyarakat Menolak Geotermal

12 Juli 2024   07:44 Diperbarui: 16 Juli 2024   07:19 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.jatam.org

Sebagai negara dengan cadangan panas bumi (geotermal) terbesar kedua di dunia, Indonesia tentu wajib mengupayakan kekayaan alam tersebut diniscayakan berguna bagi kemakmuran rakyat. Energi terbarukan yang notabene terkategorisasi ramah lingkungan itu layak untuk dimanfaatkan demi mendongkrak kesejahteraan masyarakat.

Meski demikian adanya, pemanfaatan energi geotermal tetap saja selalu menghadirkan gejolak di tengah masyarakat; mendukung-menolak sudah pasti tak terhindarkan. Dalam konteks menolak geotermal, lazimnya ada 4 aspek kehidupan yang paling ditakutkan berdampak buruk akibat geotermal yakni: lingkungan, bencana, kesehatan dan hak ulayat.

Pertama, lingkungan. Rasa-rasanya, setiap kali ada perencanaan hingga pengembangan geotermal, lingkungan menjadi issue yang paling getol disuarakan. Didengungkan bahwa ketika ada proyek geotermal maka akan berdampak buruk pada lingkungan sekitar: tanaman-tanaman sekitar akan selalu gagal panen; tanaman kerdil; ekosistem sungai akan mati; dan lainnya.

Kedua, bencana. Hal yang tidak kalah penting ditakutkan berdampak adalah terjadinya bencana, katakanlah terjadi longsor. Lazimnya logsor memang disebabkan oleh bencana alam, akan tetapi tidak menutup kemungkinan juga terjadi akibat pengerjaan ataupun pengoperasian energi geotermal.

Ketiga, kesehatan. Selain berdampak pada alam, kehadiran geotermal juga ditakutkan berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat sekitar. Issue kesehatan yang paling sering dibicarakan adalah infeksi saluran pernapasan (ispa) dan kudis. Kandungan gas alami yakni H2S tidak jarang ditakutkan menjadi lebih buruk akibat pemanfaatan energi geotermal.

Keempat, tanah ulayat. Tidak saja ditakutkan berdampak buruk bagi alam dan manusia, pembangunan dan pengembangan geotermal juga ditakutkan merusak tanah ulayat masyarakat adat. Tanah ulayat merupakan tanah yang status kepemilikannya secara turun temurun dan bersifat komunal (milik bersama) dari suatu masyarakat adat. Kehadiran proyek geotermal dianggap merusak tanah ulayat dan terutama akan dapat memarjinalkan masyarakat adat.

Suara penolakan yang dilandasi ketakutan-ketakutan di atas, haruslah dihargai dan dihormati. Terutama sekali, wajib dianggap sebagai masukan-masukan konstruktif yang akan berguna bagi keamanan dan kenyamanan hidup masyarakat. Dalam pada itu, kita juga perlu realistis untuk melihat alasan-alasan dibalik suara penolakan yang selalu bergema ketika berhadapan dengan pembangunan dan pengembangan geotermal.

Mari kita bersama-sama dengan pikiran dan hati terbuka untuk melihat beberapa faktor yang melandasi penolakan tersebut.

Pertama, kesadaran

Kesadaran masyarakat dalam hal ini lazimnya lahir dari informasi dan pengetahuan mereka tentang dampak-dampak destruktif dari sebuah pembangunan. Artinya, nurani dan pikiran masyarakat memang benar-benar paham alasan dibalik mereka menolak geotermal. Katakanlah mereka tolak karena sudah tahu bahwa ketika proyek geotermal dilaksanakan maka tanaman mereka akan gagal panen secara terus menerus.

Pengetahuan masyarakat terkait dampak buruk seperti ini tentu saja lahir dari informasi-informasi valid semisal dari buku ataupun hasil penelitian yang berkaitan dengan panas bumi dan lingkungan hidup. Ataupun berdasarkan hasil pengamatan mereka di lokasi PLTP yang telah beroperasi. Jika faktor kesadaran seperti ini menjadi landasan tolak geotermal, maka perusahaan negara seperti PLN wajib mengedepankan pendekatan akademis dan sosiologis.

Pendekatan akademis dalam artian "beradu" data dan fakta untuk meyakinkan masyarakat bahwa secara konsep dan teknis serta fakta lapangan, proyek geotermal tidaklah berdampak buruk pada lingkungan katakanlah tanaman. Pendekatan sosiologis berarti meyakinkan masyarakat dengan cara-cara kultural; sesuai adat budaya masyarakat tersebut.

Kedua, mentalitas oportunis

Pada kenyataannya, penolakan geotermal tidak saja lahir dari kesadaran masyarakat terhadap dampak-dampak buruk yang akan terjadi. Mentalitas masyarakat yang hanya berorientasi pada keuntungan diri sendiri juga dapat saja menjadi alasan dibalik penolakan.

Mentalitas seperti ini disebut mentalitas oportunis. Misalkan, jika proyek itu menguntungkan saya maka saya dukung; meskipun akan merugikan banyak orang. Begitu pula jika proyek itu tidak menguntungkan saya maka saya tolak; meskipun akan menguntungkan banyak orang. Mentalitas yang sangat egois seperti ini dapat dilihat secara gamblang semisal dalam urusan penetapan lokasi.

Jika lahan saya ditetapkan sebagai lokasi proyek yang mana nilai kompensasinya "menggiurkan" maka saya akan mendukung proyek geotermal. Bila perlu pasang badan. Tetapi jika lahan saya tidak menjadi lokasi maka saya harus menolak proyek geotermal. Alasannya jelas "pokoknya tolak". Kenyataan seperti ini tidak jarang akan kita temui di lapangan. Mentalitas oportunis semacam ini memang akan sangat merugikan semua pihak.

Ketiga, doktrinasi-cuci otak

Kalau kesadaran dan mentalitas oportunis lebih bersifat inheren dalam diri masyarakat maka faktor yang satu ini datang dari luar. Kita mau jujur atau tidak, tidak dapat dipungkiri bahwa selalu ada invisible hands (orang-orang di belakang layar) yang ikut "bermain" dalam agenda penolakan proyek geotermal. Pihak-pihak seperti inilah yang kerap kali menggunakan doktrinasi guna "mencuci otak" masyarakat.

Biasanya dilakukan dengan cara menebarkan narasi-narasi menakutkan terkait geotermal. Misalkan, kampung sekitar proyek akan rata dengan tanah; ayat suci melarang pengeboran; berbagai macam penyakit kulit akan muncul; tanah akan tandus; tanah adat akan dicaplok dan lainnya. Masyarakat yang sudah terdoktrin mudah sekali diperhatikan dari pola pikir dan pola bicara mereka yang sama antara yang satu dengan lainnya. Kalau pada titik tertentu mereka lupa dengan narasi-narasi yang telah diframing maka prinsip "pokoknya tolak" jalan pamungkasnya.

Keempat, SDM

Ketiga faktor yang menjadi latar belakang masyarakat menolak geotermal di atas, harus jujur dikatakan bahwa sangat dipengaruhi oleh Sumber Daya Manusia (SDM). Disadari atau tidak, SDM masyarakat sangat menentukan keputusan mereka dalam hal mendukung-menolak pembangunan dan pengembangan geotermal yang notabene proyek strategis nasional.

Narasi-narasi yang menghantui mereka dalam agenda tolak geotermal, lebih dominan sebagai internalisasi informasi semisal dari media-media sosial yang validitasnya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, doktrinasi yang mereka peroleh dari pihak-pihak yang "bermain" di belakang juga sangat berpengaruh.

Berkaitan dengan SDM terutama mengenai geotermal, harus pula diakui bahwa PLN sangat lalai untuk menyebarluaskan informasi dan pengetahuan tentang geotermal. Seharusnya kegiatan-kegiatan sosialisasi geotermal (daring dan lapangan) dilakukan secara berkesinambungan supaya masyarakat memiliki informasi dan pengetahuan yang baik dan benar terkait geotermal.

Pada akhirnya, harus dikatakan bahwa menolak pembangunan negara seperti geotermal adalah hak masyarakat yang harus dijamin dan dilindungi. Begitu pula, geotermal sebagai energi terbarukan menjadi kewajiban negara untuk memanfaatkannya demi kemakmuran bersama.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun