Ada pepatah yang mengatakan "sejarah pasti akan terulang". Pepatah itu kini memberikan bukti kepada kita semua dalam kehidupan bernegara sekarang ini bahwa sejarah memang senantiasa terulang kembali.Â
Tinta sejarah bangsa kita telah menuliskan fakta sejarah tentang rezim Soeharto yang menetapkan PKI sebagai organisasi terlarang di bumi Indonesia. Sudah barang tentu di era reformasi kita membungkus tinta sejarah itu di dalam bingkai kenangan berupa cerita sejarah, buku sejarah hingga analisa sejarah.
Namun demikian, laju perkembangan bernegara kita ternyata membuka kembali bingkai kenangan sehingga tinta sejarah itu kembali menuliskan cerita. Lihatlah sekarang ini di bawah rezim Jokowi tinta sejarah kembali menuliskan terjadinya pelarangan terhadap ormas HTI dan FPI. *gimana mblo, kece apa kacau rangkaian kalimat sastranya nih*hahaha*
Jenis Produk Hukum Pelarangan
Nahh, kali ini saya akan mengulas organisasi terlarang (PKI, HTI dan FPI) dalam sudut pandang hukum. Tepatnya secara logika peraturan perundang-undangan. Oke kita mulai...sebagaimana kita ketahui bersama, sepanjang sejarah dari rezim Soeharto yang dikenal sebagai orde baru hingga kini di bawah rezim Jokowi; sudah ada 3 organisasi yang ditetapkan sebagai organisasi terlarang yaitu PKI, HTI dan FPI. Dari ketiga organisasi ini, jenis produk hukum pelarangannya berbeda-beda.
Pelarangan terhadap PKI di bawah rezim Soeharto dilakukan melalui Ketetapan MPR yakni Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Diseluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia Dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.
Lalu, pelarangan terhadap HTI di bawah rezim Jokowi dilakukan melalui Keputusan Menteri yakni Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-30.A.01.08.Tahun 2017 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: AHU-00282.60.10.2014 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia.
Sementara itu, pelarangan terhadap FPI di bawah rezim Jokowi (lagi) melalui Surat Keputusan Bersama yakni Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. SKB ini tidak lain tentang tentang larangan kegiatan penggunaan simbol dan atribut serta penghentian kegiatan Front Pembela Islam.
Kalau diperhatikan secara hukum yaitu secara logika peraturan perundang-undangan, produk hukum dari pelarangan organisasi di atas berbeda-beda. Di bawah rezim Soeharto, produk hukum yang digunakan adalah Ketetapan MPR/MPRS sedangkan di bawah rezim Jokowi menggunakan Keputusan Menteri dan Surat Keputusan Bersama. Sekilas dilihat, jenis produk hukum yang digunakan dalam pelarangan ketiga organisasi di atas biasa-biasa saja. Toh, intinya PKI, HTI dan FPI telah dinyatakan sebagai organisasi terlarang.
Akan tetapi, sebagai bentuk tanggung jawab keilmuan saya (ilmu hukum) *hahaha*maka penting menurut saya untuk kembali mencermati sifat daripada produk hukum di atas.Â
Perlu saya tegaskan bahwa maksud dari  kekuatan produk hukum adalah mengenai daya ikat dan daya berlaku dari jenis produk hukum tersebut. *sebelum lanjut, ingat ya daya ikat dan daya berlaku produk hukum ditentukan oleh status kedudukan atau dalam bahasa hukumnya tata urutan dari produk hukum tersebut* Saya juga merasa penting untuk menjelaskan kepada anda sekalian alasan mengapa kekuatan dari produk hukum perlu ditelaah. Alasannya ialah supaya kita semua tidak kaget jika di masa mendatang terjadi peristiwa yang terbalik semisal dihidup kembalinya organisasi terlarang gegara produk hukum yang tidak kuat daya ikat dan daya berlakunya. Maka dari itu, mari kita lihat sifat atau kekuatan dari produk hukum yang menjadi acuan pelarangan PKI, HTI dan FPI.
Daya Ikat dan Daya Berlaku TAP MPR/MPRS dan Keputusan Menteri serta SKB
Pertama, Daya Ikat dan Daya Berlaku TAP MPRS dalam pelarangan PKI
Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011Â Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur tentang tata urutan atau hierarki peraturan perundang-undangan: Ayat (1)Â Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;Â b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c.Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Ayat (2)Â Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ohh ya, sekadar informasi UU telah diubah menjadi UU No.15 Tahun 2019 tetapi Pasal 7 tidak mengalami perubahan.
Jelas ya...TAP MPR/MPRS berada langsung di bawah UUD NRI Tahun 1945. Maka dari itu, jika membicarakan kekuatan dari produk  hukum yang bernama TAP MPR maka kita harus pahami bahwa daya ikat dan daya berlakunya sangat kuat. Saya katakan sangat kuat karena TAP MPR/MPRS adalah satu-satunya jenis peraturan perundang-undangan yang tidak dapat diubah/diamandemen/direvisi; apalagi diuji materikan. Mengapa demikian? Apakah TAP MPR/MPRS lebih kuat dari UUD NRI Tahun 1945 yang berada di puncak peraturan perundang-undangan? Jawaban atas pertanyaan ini adalah karena tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perubahan TAP MPR/MPRS! UUD NRI Tahun 1945 dan segala jenis peraturan perundang-undangan di bawah TAP MPR/MPRS dapat diubah/diamandemen/direvisi.
Saya berani bertaruh atas nama keilmuan saya bahwa memang tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur soal perubahan apalagi pengujian TAP MPR/MPRS. Padahal, setiap peraturan perundang-undangan di bawah UUD NRI Tahun 1945 dapat diubah dan diujimaterikan. Terkait tindakan mengubah atau menguji TAP MPR/MPRS maka itu bukanlah pada peraturan perundang-undangan melainkan pada kebiasaan umum ketatanegaraan yang bernama asas a contrario aktus yakni pengujian atau perubahan terhadap peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh lembaga yang membuat peraturan tersebut. Ini sama seperti seorang yang melakukan pembunuhan dan hakim yang menghakiminya di pengadilah adalah dirinya sendiri. Jadi, dengan pelarangan PKI diatur dalam TAP MPRS maka pelarangan tersebut menjadi sangat kuat daya ikat dan daya berlakunya.
Kedua, Daya Ikat dan Daya Berlaku Keputusan Menteri dan Surat Keputusan Bersama dalam pelarangan HTI dan FPI
Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur tentang: ayat (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Ayat (2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Pasal ini juga tidak diubah ya mblo...
Jelas ya...Keputusan Menteri dan ataupun SKB tidak ada dalam tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) di atas. Namun demikian, sebagaimana pengaturan Pasal 8 ayat (1) di atas, daya ikat dan daya berlaku produk hukum dari institusi-institusi negara status dan kedudukannya sesuai dengan kedudukan lembaga yang mengeluarkan produk hukum. Dalam konteks Keputusan Menteri dan ataupun SKB dapat dipahami kedudukannya di bawah Peraturan Presiden dan di atas Peraturan DPRD. Tentu tidak seperti TAP MPR/MPRS yang tidak dapat ganggu gugat, Keputusan Menteri dan ataupun SKB termasuk jenis peraturan perundang-undangan yang dapat dengan mudah diubah dan diganti!
Jadi, Keputusan Menteri dan ataupun SKB dapat dibatalkan atau dicabut. Sebagaimana alur penyelsaiannya secara hukum, Keputusan Menteri dan ataupun SKB dapat diuji/diubah/dibatalkan melalui 2 jalur yakni jalur PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) dan jalur Keputusan Menteri dan ataupun SKB. Jalur PTUN dilakukan apabila organisasi yang dilarang menggugat Keputusan Menteri dan ataupun SKB. Sedangkan, jalur Keputusan Menteri dan ataupun SKB dilakukan oleh Menteri yang baru atau Menteri pada rezim yang lain.
Penutup
Sebagai penutup ulasan ini, saya ingin menyampaikan bahwa jenis produk hukum yang paling kuat daya ikat dan daya lakunya (bahkan rasa-rasanya susah untuk diganggu gugat) adalah TAP MPRS yang mengatur tentang pelarangan PKI. Paling kuat, tentu selama TAP MPR/MPRS masih dimasukkan ke dalam tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana pada Pasal 7 UU 12 Tahun 2011.
Lalu, bagaimana dengan Keputusan Menteri dan ataupun SKB? Jika dilihat dari daya ikat dan daya berlakunya dapat dipahami bahwa Keputusan Menteri dan ataupun SKB sangat berpotensi untuk diubah/dicabut. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa 2 jalur menggugurkan Keputusan Menteri dan ataupun SKB tetap melekat pada Keputusan Menteri dan ataupun SKB tersebut.
Dalam hal pelarangan HTI dan FPI, PTUN mungkin saja memperkuat Keputusan Menteri dan ataupun SKB tetapi bagaimana jika rezim yang akan datang mencabut kembali Keputusan Menteri dan ataupun SKB yang melarang HTI dan FPI? Di dalam politik tidak ada yang mustahil. Kepentingan dan kekuasaan akan memungkinkan segala hal!
Jangan lupa seruput...
Segar dan waraskan nalar dengan aksara mblooo...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H