Bahkan, 2 tahun setelahnya yakni tahun 1967 Soeharto kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 153 Tahun 1967 yang mengatur bahwa 1 Oktober diperingati sebagai hari Kesaktian Pancasila. Jadi, kesimpulan sederhananya ialah pembantian PKI atau yang dalam kamus HAM disebut genosida adalah sah demi menegakkan Pancasila.Â
Padahal, itu hanya akal busuk Soeharto yang menjadikan Pancasila sebagai tameng dan tentu untuk memuluskan rangkaian proses kedeta merangkaknya.
Acara pembantian sadis terhadap anak-anak bangsa baik PKI maupun bukan PKI tapi dilabeli PKI; kemudian menjadi-jadi setelah diterbitkannya Supersemar. Laporan Komnas HAM pada tahun 2012 mengatakan korban pembantaian PKI mencapai kisaran 500ribu hingga 3 juta jiwa.Â
Bayangkan itu...intinya kan Soeharto bisa naik tahta lah, mau 10 juta jiwa melayang bukan urusannya. Bukankah begitu Pak Harto? Hahaha...
Setelah semua yang berbau PKI selesai diembat, Soeharto dengan modal Supersemar semakin menunjukkan kekuasaannya pada jalur politik. MPRS sebagai lembaga tertinggi negara kemudian ia kuasai hingga akhirnya MPRS menarik mandat Presiden dari Soekarno.Â
Tidak heran ketika Soekarno berpidato untuk membela dirinya di hadapan MPRS pada 22 Juni 1966 tepat pada Sidang Umum Ke-IV MPRS; MPRS menolaknya.
Pidato yang terkenal dengan nama Nawaksara itu bak angin lalu bagi MPRS yang tentu saja sudah berada di barisan Soeharto. Setelah mandat yang diemban Soekarno dicabut, Soeharto yang suka senyum (sampai media-media barat menjulukinya the smiling general) tapi gemar "darah" itu tidak berhenti di situ. Ia kemudian menggunakan berbagai macam cara untuk menggalang kekuatan dan menghancurkan pengaruh Soekarno atau yang disebut desukarnoisasi.
Supersemar telah benar-benar menjadi sarana strategis Soeharto untuk mengkudeta Seokarno. Tapi, seperti yang telah saya singgung tadi bahwa sebenarnya Soeharto telah lama melakukan kudeta tetapi dengan cara yang lamban persis strategi perang gerilya alias perang ngumpet-ngumpetan.Â
Disadari atau tidak Supersemar ini tidak lain sebagai puncar dari kudeta merangkak Soeharto. Yah, ibarat perang gerilya githulah; Supersemar itu seperti pisau yang siap menikam leher dari tentara lawan. Ayo bayangin mblo...hahaha...
Jas Merah!
Saya tidak sedang membawa anda ke masa lalu, tetapi seperti kata Soekarno yang tidak lain proklamator bangsa kita; orator ulung; nasionalis sejati; sekaligus korban kudeta Soeharto bahwa "jas merah: jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah!".