Mohon tunggu...
Fais Yonas Boa
Fais Yonas Boa Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Peneliti

Aksara, Kopi dan kepolosan Semesta

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hukuman Mati untuk Para Koruptor

26 Agustus 2022   23:23 Diperbarui: 26 Agustus 2022   23:23 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kedua, politik yang terlalu mendominasi.

Kamu sadar gak kalau kebanyakan proses penegakkan hukum di negeri kita selalu dipengaruhi kepentingan politik? Bahkan, saking canggihnya; kepentingan politik dapat menghalang-halangi proses hukum ataupun dapat menggiring seseorang lawan politik ke penjara. Memang harus diakui, kepentingan politik di negeri kita mudah sekali menguasai hukum. Akibatnya dalam kita berhukum selalu saja kompromis karena kerap kali dipolitisir.

Padahal, terlalu dominasinya politik terhadap hukum dapat menyebabkan hukum pincang dan ketika hukum pincang maka penegakkannya pun akan ikut keok. Saya teringat kata paling sohor dari Mochtar Kusumaatmadja “politik tanpa hukum akan menyebabkan kelumpuhan, hukum tanpa politik akan menyebabkan kezaliman”. Ahli hukum ini hendak menegaskan bahwa hukum dan politik harus saling mengimbangi; harus dapat dikawinkan. Tetapi, keduanya harus memiliki garis batas masing-masing. Artinya tidak boleh dicampur-adukan satu sama lain.

Dominasi politik terhadap hukum di negeri kita kemudian menjadikan sistem penegakkan hukum yang lemah dan tidak efektif. Tarik ulur kepentingan politik para elit sering kali mempengaruhi jalur penegakkan hukum. Dari yang seharusnya hukuman mati bisa berakhir dengan penjara 12 tahun. Dari yang terbukti korupsti dapat dinyatakan bebas. Atau yang sedang di depan mata kita. Kasus Edhy Prabowo dan Juliari P Batubara sekiranya semakin terang menggambarkan bagaimana dominasi politik atas penegakkan hukum.

Gimana pemirsa, sudah lelah bacanya..*hahaha* seruput dulu kopinya...

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa 2 alasan di ataslah yang menjadi alasan mengapa hukuman mati terhadap koruptor tidak pernah dapat dilakukan, padahal penyakit korupsi sudah menjadi kanker di negeri kita. Semakin lemahnya penegakkan hukum maka semakin jauh pula mimpi “katakan tidak pada korupsi” menjadi kenyataan. Begitu pula, semakin mendominasinya kepentingan politik terhadap hukum maka semakin jauh pula tujuan hukum untuk kemajuan negara.

Penutup

Korupsi adalah tindakan yang harus dimusuhi dan bila perlu diperangi bersama. Atas dasar itu, pelaku korupsi atau koruptor sudah seharusnya dilawan dengan hukuman mati. Mari serukan “koruptor adalah hama, dan yang namanya hama harus dimusnahkan”. Ada yang berpikir hukuman mati bukan solusi. Saya katakan “bagaimna kamu dapat memanen sawah kalau hamanya kau biarkan hidup?” Pada bagian penutup ini, saya hendak mengemukakan beberapa saran kepada beberapa pihak terkait.

Pertama, kepada segenap penegak hukum (KPK, Polri, Jaksa dan Hakim) bahwasannya kalau bertugas menegakkan hukum maka tegakkanlah hukum itu setegak-tegaknya. Sadarilah bahwa tugas yang anda embani adalah tugas yang menentukan nasib ratusan juta manusia di negara ini. Sekali anda jalan di luar rel maka kereta yang ditumpangi ratusan juta orang akan anjlok. Anda adalah masinis pada kereta hukum menuju stasiun keadilan. Tetaplah pada jalurmu mas/mba bro...

Kedua, kepada pembuat dan pelaksana peraturan (legislatif dan eksekutif): kontrol dong bro naluri binatangmu yang tamak dan egois. Buatlah peraturan yang serius dan berkeadilan sehingga koruptor tidak lagi menjadi identitas lain dari para politisi dan birokrat. Revisi kembali Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU 39 1999. Pada ayat (1) disertakan hukuman mati juga sehingga menjadi Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan pidana mati, penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Pada ayat (2) frasa “dapat” harus dihilangkan sebagaimana ayat (1) sehingga menjadi (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dijatuhkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun