Mohon tunggu...
Fais Yonas Boa
Fais Yonas Boa Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Peneliti

Aksara, Kopi dan kepolosan Semesta

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hukuman Mati untuk Para Koruptor

26 Agustus 2022   23:23 Diperbarui: 26 Agustus 2022   23:23 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Alasan Hukuman Mati Susah Diterapkan?

Tahu gak mbloo..“Perdana Menteri China pada tahun 1998, Zhu Rongji pernah menyatakan, “Berikan saya 100 peti mati, 99 akan saya kirim untuk para koruptor. Satu buat saya sendiri jika saya pun melakukan hal itu”. Pernyataan Zhu Rongji ini merupakan pernyataan yang paling berani dan fenomenal. Berani karena menghapus stigma kompromis dari seorang pemimpin dan politisi sedangkan fenomenal karena prinsip hebat seperti ini amat jarang ditemui; apalagi dalam diri politisi.

China pada masa itu dinilai brutal dalam menjunjung tinggi mimpi dan cita-cita kemajuan negaranya dengan menghukum mati korupor. Tetapi perhatikan akibat yang negara itu rasakan dan nikmati sekarang. Lihatlah China sekarang, negara Komunis itu telah menjadi negara super power di bawah AS. Bukankan itu sangat mengagumkan mblo...daripada kita terjebak pada sejarah hebat China (yang mungkin diharamkan oleh kaum sumbu pendak), sebaiknya mari kita periksa; kira-kira apa alasan utama hukuman mati susah diterapkan di Indonesia, meskipun hukumnya memberlakukan itu.

Dalam ulasan kali ini, saya akan memberikan dua alasan yang tentu menjadi persoalan utama mengapa hukuman mati tidak kunjung di terapkan bagi para koruptor.

Pertama, lembeknya penegakkan hukum.

Corruption Perception Index (CPI) =Indonesia Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (IPK) harus diakui semakin membaik. Data yang dirilis Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan adanya penurunan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada tahun 2020. Pada tahun 2019 tercatat mencapai 40 poin, namun tahun 2020 turun menjadi 37 poin. Dengan angka tersebut, Indonesia sekarang menempati peringkat ke-102 dari 180 negara yang disurvei.

Dalam hal ini, tentu kita tidak boleh menafikan kinerja dari sistem penegakkan hukum kita. Dengan terus menurunnya IPK kita maka berarti penegakkan hukum semakin baik. Namun demikian, apakah berarti koruptor berkurang di negara kita? Saya pikir, tidak begitu mas bro. Koruptor masih banyak; hanya saja banyak juga yang luput dari sensor hukum, yah mungkin mereka-mereka ini mampu mempermainkan hukum kali ya mblo. Penyebabnya memang cukup ironis yakni lembeknya penegakkan hukum.

*Indeks Persepsi Korupsi merupakan parameter untuk menentukan tingkat korupsi sebuah negara yang diketahui melalui survei Transparency International (TI). Ketika sebuah negara mendapatkan nilai 0, maka negara tersebut benar-benar korup. Sedangkan, jika mendapat nilai 100, maka negara itu bebas sama sekali dari korupsi*

Kalau anda sekalian bertanya, bukankah penegakkan hukum kita semakin baik jika dilihat dari data hasil survei sebagaimana dari TII? Yah! Tetapi itu tidak berarti koruptor kita berkurang. Lihatlah politisi elit negeri kita yakni mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo dan mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari P Batubara (orang ini berpotensi dijerat hukuman mati). Dua menteri koruptor ini sangat ganas. Bagaimana tidak, mereka melakukan korupsi pada waktu negara dalam keadaan darurat yakni darurat COVID-19.

Naasnya, kasus kedua orang ini belum menemui titik terang sehingga kita sebagai rakyat pasti makin geram dengan cara kerja hukum kita. Adalah hal wajar dan logis ketika publik ramai-ramai mempertanyakan penegakkan hukum kita yang cenderung melakukan pembiaran terhadap kedua mantan anak buah presiden tersebut. Padahal, penegak hukum tidak membutuhkan pertimbangan dan penafsiran yang super ribet jika menangani kasus korupsi yang dilakukan Juliari P Batubara.

Politisi PDI Perjuangan ini, secara hukum yakni jika merunut pada UU 39 Tahun 1999 di atas sudah memenuhi unsur “keadaan tertentu” yakni korupsi anggaran negara untuk keadaan darurat (lihat kembali bagian Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No.31 Tahun 1999 Tetang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Ini artinya, Juliari P Batubara sudah memenuhi tuntutan Pasal 2 ayat (2) sehingga ia pantas mendapatkan hukuman mati. Tetapi karena penegakkan hukum kita lembek maka hingga kini mantan mensos belum jelas kelanjutan proses hukum terhadap dirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun