Sebelum kamu membuntuti dasar hukum dari hukuman mati mbloo, kamu sangat perlu paham bahwa hukuman mati di dalam hukum nasional Indonesia masih berlaku. Jelas ya..jadi kalau kamu misalkan membaca “hukum mati dihapuskan” di beberapa negara (Kenya, Bhutan, Khazakstan dll) maka tidak dengan Indonesia. Mari kita lihat KUHP. Pasal 10 KUHP mengatur tentang jenis hukuman pidana yakni pidana pokok dan pidana tambahan, sebagai berikut:
a. Pidana Pokok:
1.Pidana Mati
2.Pidana penjara
3.Kurungan
4.Denda
b. Pidana Tambahan:
1.Pencabutan hak-hak tertentu
2.Perampasan barang-barang tertentu
3.Pengumuman putusan hakim.
Githu ya mbloo, artinya pidana mati atau umumnya disebut hukuman mati masih relevan dalam sistem hukum kita. Dengan demikian, tidak ada pembenaran yang mengatakan hukuman mati melanggar HAM selama hukuman mati itu menjadi hukum positif (hukum yang berlaku pada ruang dan waktu tertentu; sedang berlaku). Lalu, gimana dengan hukuman mati bagi para koruptor? Mari kita simak rangkaian pernjelasan menurut peraturan perundang-undangan berikut:
Hukuman mati bagi koruptor diatur dalam Pasal 2 UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
*catatan untuk Pasal 2 ayat (1): kata “dapat” yang diberi tanda coret di atas telah dihilangkan melalui putusan MK dalam pengujian Pasal 2 dan 3 UU ini. MK menjelaskan frasa 'dapat' dalam pasal 2 (1) dan pasal 3 UU tipikor dinyatakan inkonstitusional. Jadi, frasa “dapat” sudah dihapus dalam bunyi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 tersebut. Pertimbangan MK waktu itu bahwa dengan kata “dapat” dalam bunyi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 maka pejabat-penegak hukum dikwatirkan terjadinya satu fakta yang mana “hukum memperlakukan tindakan atau kebijakan yang berbeda atas perbuatan yang sama”. Selain itu, MK juga menerangkan bahwa dengan dihapusnya frasa “dapat” maka hukum dapat menjangkau banyak perbuatan yang diduga merugikan kerugian negara, termasuk terhadap kebijakan atau keputusan diskresi yang diambul bersifat mendesak dan belum ditemukan landasan. Seringkali terjadi kriminalisasi dengan dugaan terjadinya penyalahgunaan wewenang*
Nah..mari menuju Pasal 2 ayat (2). Dalam bagian Penjelasan dari UU No.31 1999 ini, dijelaskan bahwa: Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Dalam perkembangannya, Penjelasan terhadap frasa “keadaan tertentu” dalam Pasal 2 ayat (2) di atas kemudian ditambahkan melalui UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No.31 Tahun 1999 Tetang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal I dalam UU perubahan ini mengatur: Beberapa ketentuan dan penjelasan pasal dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diubah sebagai berikut: 1. Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan pasal diubah sehingga rumusannya sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal Demi Pasal angka 1 Undang-undang ini.
Lalu dalam bagian Penjelasan terhadap Pasal 2 ayat (2) dari UU perubahan ini dijelaskan: Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
*catatan dari saya terhadap Pasal 1 UU No.20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No.31 Tahun 1999 di atas ialah terkait frasa “substansi tetap”. Menurut saya, substansinya sudah berubah yakni ditambah pengulangan tindak pidana korupsi. Kalau substansinya tetap maka pidana mati terhadap koruptor hanya dapat dijatuhkan kepada koruptor yang melakukan korupsi uang negara yang diperuntukkan untuk keadaan darurat. Tetapi dengan ditambahkan frasa pengulangan tindak pidana korupsi, maka substansinya sudah berubah karena sudah ditambahkan dengan substansi baru. Frasa pengulangan tindak pidana korupsi, bukan “keadaan darurat” melainkan keadaan biasa. Jadi, kalau ada koruptor yang telah dihukum dan melakukan korupsi lagi maka dapat dijatuhi hukuman mati. Ini artinya, sebenarnya tindakan korupsi yang dapat dijatuhi hukuman mati tidak hanya ketika dilakukan dalam “keadaan tertentu” tetapi juga dalam keadaan biasa yakni korupsi yang dilakukan berulang kali*
Jelas ya mbloo...landasan hukum dari hukuman mati bagi koruptor masih berlaku dan tidak ada pembenaran hukum lain sebelum Pasal 10 KUHP dan Pasal 2 UU No.31 Tahun 1999 diubah dan atau dicabut. Seperti yang telah dikemukakan bahwa obat anti hama yang paling tepat adalah hukuman mati.