Mohon tunggu...
Fais Yonas Boa
Fais Yonas Boa Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Peneliti

Aksara, Kopi dan kepolosan Semesta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fenomena Bunuh Diri

25 Agustus 2022   01:01 Diperbarui: 25 Agustus 2022   01:13 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Masalah hidup yang diciptakannya sendiri kemudian membawanya pada kebuntuan dan ketakberdayaan. Dalam keadaan pasrah dan putus asa itulah ia mengambil jalan pintas dengan mengakhiri hidupnya. Seolah-olah ia melawan takdir kematian, oleh kebebasan atas hidupnya. Ia lupa bahwa sebagai sebuah pemberian, hidup juga butuh pertanggungjawaban.

Angka dan Data

Bunuh diri berasal dari kata bahasa Latin suicidium, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris yakni suicide yang berarti membunuh diri sendiri atau yang lebih akrab disebut bunuh diri. Bunuh diri merupakan sebuah tindakan sengaja bahkan terencana yang menyebabkan kematian diri sendiri. Tindakan mengakhiri hidup dapat dilakukan melalui berbagai macam cara; mulai dari gantung diri, meminum racun, menabrakan diri, menembak diri sendiri, membuang diri dari gedung ataupun jembatan hingga melakukan aksi bom bunuh diri.

Kasus bunuh diri semakin hari semakin menjadi fenomena peradaban manusia, dari tingkat global sampai lokal daerah. Berdasakan data WHO pada 2019, lebih dari 700.000 orang meninggal dunia karena bunuh diri. Di tahun-tahun selanjutnya terus meningkat. Pada tahun 2021 lebih dari 800.000 orang bunuh diri. Bahkan WHO menyatakan setiap 40 detik ada orang yang melakukan bunuh diri. WHO juga mencatat 75-78% kasus bunuh diri terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Di Indonesia sendiri tren bunuh diri terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Statistik Potensi Desa Indonesia dan Data Penduduk Indonesia pada tahun 2014 terjadi 4.002 orang bunuh diri. Pada tahun 2018 angka meningkat menjadi 4.560 orang. Pada tahun 2020 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sebanyak 5.787 orang. Ini artinya kasus bunuh diri di Indonesia mengalami kenaikan secara terus menerus. 

Mencermati angka dan data di atas, seharusnya menyadarkan kita semua bahwa fenomena bunuh diri bukanlah hal sepele. Tindakan mengakhiri hidup oleh diri sendiri semestinya menjadi perhatian serius dan berkesinambungan oleh seluruh pihak; dari pemerintah, masyarakat hingga keluarga. Terutama sekali, oleh kita semua yang memang sudah memiliki kesadaran diri sebagai manusia.

Kebuntuan dan Ketakberdayaan

Kepahitan hidup yang tak lagi mampu dihadapi membawa seseorang pada kebuntuan dan ketakberdayaan. Di dalam situasi itulah ia akan memilih pilihan sadis yakni mengakhiri hidupnya.

Mengapa orang bunuh diri? Pertanyaan ini pasti selalu terniang dibenak kita ketika membaca-menonton pemberitaan ataupun melihat langsung aksi bunuh diri. Secara ilmu pengetahuan, seseorang bunuh diri lazimnya dilatarbelakangi situasi kijiwaan yang menggejolak yakni depresi. Depresi biasanya disebabkan oleh banyak situasi, seperti akibat terlilit utang, faktor genetik, perundungan (bullying) hingga masalah percintaan.

Tidak terlepas dari anggapan ilmiah yang menyatakan depresi sebagai penyebab seseorang mengakhiri hidupnya sendiri, tetapi mari mencoba bicara fenomena bunuh diri secara lebih mendalam. Pertama-tama, kita bicara kemungkinan seseorang untuk bunuh diri. Terkait kemungkinan, kita wajib paham bahwa setiap orang memiliki kemungkinan untuk bunuh diri. Artinya, siapapun sangat mungkin untuk mengakhiri hidupnya dengan sengaja dan terencana. Karena kemungkinan itu ada, maka selanjutnya tinggal bagaimana setiap orang menggunakan kemungkinan itu.

Setelah faktor kemungkinan, kita menuju pada unsur kebuntuan. Suka atau tidak, kebuntuan akan keadaan hidup sangat berpotensi untuk bunuh diri. Bayangkan ketika anda terlilit utang akibat anda meminjam uang  dibanyak tempat dalam waktu bersamaan, semisal kredit di bank, pinjam di koperasi serta melakukan pinjaman online (pinjol); sementara anda tidak memiliki pemasukan yang jelas?

Ketika anda tidak lagi mampu membayar cicilan dari berbagai pintu pinjaman itulah yang membuat anda berada dalam kebuntuan; situasi yang mana anda seperti mentok dengan keadaan. Begitu pula dengan masalah lain seperti percintaan. Ketika anda terjebak di dalam situasi yang mana anda tidak lagi dapat menghadapi kenyataan bahwa putus cinta sebagai konsekuensi logis dalam hubungan percintaan, maka anda berada dalam kebuntuan.

Situasi dan keadaan kita yang mentok tersebut kemudian membuat kita pasrah dengan keadaan. Kepasrahan ini kemudian membawa kita pada ketakberdayaan. Ketakberdayaan merupakan keadaan diri yang mana kita tidak lagi mampu melakukan apapun untuk bisa keluar dari kenyataan pahit yang dihadapi. Dalam keadaan seperti ini, sikap putus asa pasti tak terhindarkan lagi. Rangkaian keadaan-keadaan seperti inilah yang membuat seseorang memilih jalan pintas untuk bunuh diri.

Takdir dan Kebebasan

Kematian adalah sebuah kepastian, meski waktu kematian adalah misteri yang kita sebut sebagai takdir (ketetapan ilahi). Namun, bagaimana kalau kita menentukan takdir kita sendiri dengan bunuh diri?Apakah itu sebagai bentuk melawan takdir?

Setiap manusia tahu dan sadar bahwa takdir melekat dalam dirinya sejak ia memiliki kesadaran akan keberadaannya sebagai manusia. Takdir dapat dikatakan sebagai sesuatu kenyataan yang tidak dapat dielak; ketetapan yang tidak direncanakan. Bicara takdir selalu berkaitan dengan kehidupan yakni soal hidup dan mati. Banyak dari kita yang berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan kita merupakan ketetapan ilahi. Tidak heran ketika kita melihat seseorang sukses maka kita katakan itulah takdir hidupnya.

Begitu pula ketika seseorang mati karena konsumsi narkoba maka kita katakan itulah takdirnya. Sebenarnya bicara takdir cukup absurd kalau menggunakan kacamata kuda akal sehat. Akan tetapi, hal yang wajar jika menggunakan berbagai sudut pandang; agama, adat dan budaya. Kejadian bunuh diri akan menjadi ujian bagi keyakinan kita akan takdir kehidupan. Mengapa dikatakan demikian? Bunuh diri adalah kematian yang direncanakan dan bukan ketetapan ilahi. Pertanyaannya sekarang adalah apakah bunuh sebagai bentuk melawan takdir?

Menurut keterbatasan pengetahuan saya, bunuh diri bukanlah upaya untuk melawan takdir kehidupan. Kematian dengan membunuh diri sendiri adalah atas kehendak bebas atau kebebasan manusia atas hidupnya. Seperti yang dikatakan seorang filsuf eksistensialisme Prancis, Jean Paul Sartre “manusia dikutuk untuk bebas”. Akibatnya manusia selalu bebas untuk melakukan apa saja atas dirinya sendiri. Barangkali juga untuk bunuh diri.

Kebebasanlah yang membuat pelaku bunuh diri merencanakan dan mewujudnyatakan tindakan mengakhiri hidupnya. Jadi, di dalam kebuntuan dan ketakberdayaannya pelaku bunuh diri akan menggunakan kebebasannya untuk menyudahi segala macam problematika hidup dengan mengakhiri hidup yang ia miliki. Bukankah tindakan seperti ini sebagai bentuk mensia-siakan hidup?

Hidup Butuh Pertanggungjawaban

Bunuh diri adalah tindakan pengecut yang dilakukan oleh seseorang yang sadar bahwa hidup sebagai sebuah pemberian. Lebih dari itu, ketika kita bunuh diri maka itu karena kita tidak mau bertanggungjawab atas hidup yang kita miliki.

Saya menganggap sebagian besar dari kita sepakat untuk menyatakan hidup adalah pemberian. Tentu juga kita sepakat bahwa setiap pemberian pasti menuntut pertanggungjawaban. Begitu pula soal hidup yang kita miliki. Sebagai sebuah pemberian maka sudah sepatutnya kita bertanggungjawab atas hidup kita. Terutama pula, pertanggungjawaban atas hidup kita sebenarnya semata-mata untuk diri kita sendiri. Atas dasar itu, mengakhiri hidup dengan bunuh diri bukanlah bentuk tanggung jawab.

Kalau memang manusia bertanggungjawab atas hidupnya, maka ia akan menghadapi setiap kenyataan hidup yang dialaminya. Sekalipun itu menyakitkan. Begitu pula dalam kaitannya dengan masalah terlilit utang ataupun putus cinta, maka ia wajib menghadapi kenyataan tersebut. Lagipula semua kenyataan hidup yang kita hadapi adalah resiko dari perbuatan-perbuatan kita. Kita terlilit utang karena perbuatan kita yang suka berutang; kita putus cinta karena kita menjalin hubungan percintaan.

Padahal kalau kita menjadi manusia yang bertanggungjawab atas hidup kita, maka kita akan berusaha mencari jalan keluar terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Oleh sebab itu, jikalau kita tidak menginginkan beban hidup yang berat, alangkah baiknya selalu berusaha menjalani kehidupan yang sesuai batas kemampuan kita. Jangan memaksa diri untuk berhutang, kalau memang tidak akan mampu membayarnya. Jangan memaksa diri untuk menjalin hubungan asmara, jika tidak mampu untuk menerima putus cinta.

Pada akhirnya, saya ingin memberi pesan kepada kaum muda bahwa situasi anda yang labil cukup potensial melakukan tindakan bunuh diri. Menurut data, rentang usia pelaku bunuh diri adalah pada usia 15-29 tahun. Maka dari itu, kepada seluruh kawula muda bertanggungjawablah atas hidupmu. Terutama atas segala pilihan dan keputusan yang kamu buat. Mengambil jalan pintas dalam menghadapi masalah hidup bukanlah solusi, melainkan pelarian yang sia-sia.

Hargai hidupmu dan bertanggungjawablah atas hidupmu itu!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun