Mohon tunggu...
Fairuz Zain
Fairuz Zain Mohon Tunggu... Jurnalis - Reporter & HRD Koran Kampus IPB

Seorang mahasiswa yang memiliki ketertarikan di bidang pergerakan kampus dan juga lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cancel Culture, Bawa Perubahan atau Sanksi Sesaat?

24 September 2024   21:26 Diperbarui: 24 September 2024   21:26 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena cancel culture semakin mencuat, tidak hanya di negara-negara Barat, tetapi juga di Indonesia. Namun, masih banyak yang bertanya-tanya, apa sebenarnya cancel culture itu?

Sederhananya, cancel culture adalah praktik sosial di mana individu atau kelompok masyarakat memboikot atau "membatalkan" seseorang yang biasanya figur publik atau tokoh terkenal karena dianggap melakukan tindakan atau ucapan yang melanggar nilai-nilai, norma, ataupun etika. Sedangkan, secara umum fenomena ini digunakan oleh masyarakat sebagai cara untuk mengekspresikan ketidaksetujuan dan menuntut perubahan.

Cancel culture adalah respons terhadap perilaku yang dianggap tidak pantas oleh masyarakat. Biasanya, ini terjadi di dunia maya, di mana orang dengan mudah menyuarakan pendapatnya melalui media sosial. Individu atau institusi yang "dibatalkan" sering mengalami penurunan reputasi secara drastis. Fenomena ini merupakan evolusi dari tradisi boikot, namun kali ini didorong oleh teknologi internet dan kecepatan penyebaran informasi.

 

Tujuan utama dari cancel culture adalah untuk meminta pertanggungjawaban dari mereka yang dianggap melakukan kesalahan, terutama ketika sistem hukum atau sosial yang ada dianggap tidak memberikan hukuman yang sesuai. Fenomena ini memberikan kekuatan kepada masyarakat umum untuk menentukan standar moral dan sosial, serta menekan figur publik atau tokoh tertentu untuk memperbaiki kesalahan mereka. Lebih lanjut, cancel culture berperan sebagai bentuk pembalasan sosial yang singkat dan langsung.

Fenomena cancel culture meraih popularitas karena kelincahannya dan dampaknya yang langsung. Media sosial memiliki peran penting dalam mempercepat penyebaran informasi dan mencapai audiens yang lebih luas. Di samping itu, masyarakat modern kini memiliki kesadaran yang lebih tinggi terhadap isu-isu seperti keadilan sosial, hak asasi manusia, feminisme, dan isu-isu lingkungan. Dengan demikian, cancel culture sering dipergunakan untuk mengadvokasi nilai-nilai ini, mendorong masyarakat untuk lebih kritis dan bertanggung jawab terhadap tindakan mereka. 

 

Di Indonesia, salah satu contoh cancel culture yang mencolok adalah kasus beberapa selebriti yang mendapat kecaman publik akibat pernyataan atau tindakan yang dianggap kontroversial. Pada tahun 2020, seorang YouTuber terkenal diberi kritik keras karena melakukan aksi prank yang tidak pantas terkait isu sosial sensitif. Publik merespons dengan cepat, memboikot kontennya, dan ia harus meminta maaf di depan publik. Ada kasus lain di mana para tokoh politik menghadapi tekanan dari masyarakat setelah dianggap mengeluarkan pernyataan yang bersifat rasis atau diskriminatif terhadap suatu kelompok tertentu.

Fenomena ini menimbulkan tekanan signifikan bagi individu yang menjadi sasaran. Media sosial memungkinkan netizen untuk mengawasi setiap tindakan atau perkataan seseorang secara ketat. Individu yang menjadi sasaran cancel culture mungkin mengalami dampak yang signifikan, mulai dari kehilangan popularitas hingga kehilangan pekerjaan. Dalam beberapa kasus, fenomena cancel culture bahkan dapat menciptakan ruang diskusi lebih lanjut tentang isu-isu sosial. Namun, banyak yang mengkritik fenomena ini karena dapat menghasilkan bentuk "penghakiman publik" yang sering tidak seimbang.

Fenomena cancel culture di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari budaya masyarakat yang bersifat kolektif dan menekankan nilai-nilai kebersamaan. Di Indonesia, norma-norma sosial memiliki pengaruh besar terhadap perilaku individu. Jika seseorang melanggar norma tersebut, sanksi sosial bisa sangat kuat. Cancel culture di Indonesia sering kali berasal dari keyakinan bahwa tindakan yang tidak sesuai harus segera dikenai sanksi oleh masyarakat sebagai upaya mengontrol perilaku sosial. Namun, di sisi lain, budaya menghormati hierarki sosial dan kecenderungan untuk menghindari konflik terbuka juga sering membuat cancel culture di Indonesia tidak selalu berjalan secara konsisten.

 Media sosial memiliki peran yang sangat besar dalam memicu dan menyebarkan cancel culture. Platform seperti Twitter, Instagram, dan Facebook memungkinkan publik untuk dengan cepat menyuarakan ketidaksetujuan terhadap perilaku atau perkataan figur publik. Terkadang, informasi atau tudingan dapat menyebar dengan cepat sebelum diverifikasi secara tepat. Hal ini menciptakan fenomena "trial by social media", di mana masyarakat dengan cepat mengevaluasi seseorang berdasarkan pandangan kolektif yang terbentuk dari postingan media sosial.

Pemikiran wokeness atau kesadaran progresif terhadap isu-isu sosial juga memengaruhi perkembangan cancel culture. Karena itu, individu yang dianggap melakukan tindak tidak adil atau diskriminatif sering kali menjadi sasaran utama cancel culture. Di Indonesia, konsep ini terus berkembang dan pengaruhnya semakin kuat, terutama di kalangan anak muda yang aktif di media sosial. Mereka mendorong agar kesalahan-kesalahan yang bersifat struktural atau sistemik dihadapi dengan cara yang lebih kritis dan aktif.

Efektivitas cancel culture di Indonesia masih menjadi perdebatan. Di satu sisi, fenomena ini berhasil memberikan tekanan kepada figur publik atau institusi untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka. Namun, di sisi lain, cancel culture juga berpotensi sebagai alat "penghancuran" karier tanpa memberikan kesempatan untuk refleksi atau pembelajaran. Pada beberapa kasus, hukuman sosial yang diberikan bersifat sementara dan tidak mencapai perubahan jangka panjang. Lebih lanjut lagi, cancel culture dapat menjadi terlalu merusak, terutama saat tidak ada proses verifikasi yang jelas atau penyebaran informasi yang salah.

Di Indonesia, cancel culture telah mengubah cara pandang dan penilaian masyarakat terhadap perilaku publik. Namun, efektivitasnya dalam jangka panjang perlu terus dipantau, terutama untuk mencegahnya digunakan sebagai alat untuk menegakkan pola pikir yang tidak kritis atau destruktif tanpa solusi yang konstruktif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun