Pemikiran wokeness atau kesadaran progresif terhadap isu-isu sosial juga memengaruhi perkembangan cancel culture. Karena itu, individu yang dianggap melakukan tindak tidak adil atau diskriminatif sering kali menjadi sasaran utama cancel culture. Di Indonesia, konsep ini terus berkembang dan pengaruhnya semakin kuat, terutama di kalangan anak muda yang aktif di media sosial. Mereka mendorong agar kesalahan-kesalahan yang bersifat struktural atau sistemik dihadapi dengan cara yang lebih kritis dan aktif.
Efektivitas cancel culture di Indonesia masih menjadi perdebatan. Di satu sisi, fenomena ini berhasil memberikan tekanan kepada figur publik atau institusi untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka. Namun, di sisi lain, cancel culture juga berpotensi sebagai alat "penghancuran" karier tanpa memberikan kesempatan untuk refleksi atau pembelajaran. Pada beberapa kasus, hukuman sosial yang diberikan bersifat sementara dan tidak mencapai perubahan jangka panjang. Lebih lanjut lagi, cancel culture dapat menjadi terlalu merusak, terutama saat tidak ada proses verifikasi yang jelas atau penyebaran informasi yang salah.
Di Indonesia, cancel culture telah mengubah cara pandang dan penilaian masyarakat terhadap perilaku publik. Namun, efektivitasnya dalam jangka panjang perlu terus dipantau, terutama untuk mencegahnya digunakan sebagai alat untuk menegakkan pola pikir yang tidak kritis atau destruktif tanpa solusi yang konstruktif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H