"Apa maksudmu, Setan busuk ?"
"Aku tahu siapa si Pencuri Kotak Amal. Dia cuma anak-anak. Dia Yatim. Kini bertambah jadi Piatu. Si Mboknya baru saja meninggal seminggu yang lalu. Tanah kuburannya masih basah lalu kini kalian mau menghabisinya ? Bagaimana bisa penderitaan anak ini luput dari jangkauan kalian ?"
Semua terdiam. Pak Haji makin jengkel.
"Tapi, bukan berarti dia boleh mencuri !"
"Kamu mengumumkan Kas Masjid yang puluhan juta itu melalui pengeras suara. Sementara anak ini kelaparan. Hidupnya kini sebatang kara ! Lalu ke mana saja Kas yang puluhan juta itu? Mengapa yang kalian pentingkan hanya Renovasi dan Perbaikan Masjid saja?"
"Kalau masjid-nya bagus dan nyaman, ibadah jadi tenang." Pak Haji masih membela diri meski nada bicaranya makin melunak.
"Masjid kalian makin megah, makin nyaman, tapi, Allah yang kalian sembah itu kelaparan, kehausan, sedang kalian tak mau menggubrisnya."
"Kurang ajar ! Beraninya kamu merendahkan Allah. Mana mungkin Allah lapar dan kehausan !" Pak Haji kembali menaikkan suara. Telunjuknya mengacung ke atas, tasbih-nya terlihat melilit di pergelangan tangan.
"Dalam setiap jiwa yang kelaparan dan kehausan, Allah begitu dekat. Apa kalian tak pernah mengasah hati nurani ?" Wanita itu kembali cekikikan.
Perkataan terakhir wanita itu membuat hati Pak Haji melunak secara Kaffah. Dahulu, di Pondok Pesantren, ia kerap mendengar Hadits Qudsi tersebut. Mengapa kini ia malah melupakannya ?Â
Tertunduk Pak Haji dalam-dalam. Betapa menyesalnya ia kini.